Wig Menjadi Fashion Sejak Mesir Kuno

RAMBUT palsu yang lazim disebut Wig telah menjadi ba­gian dari dunia fashion. Berda­sarkan sejarah wig pada masa lampau, penggunaannya terkait dengan posisi kekuasaan.

Penggunaan wig telah ada sejak zaman Mesir kuno. Bagi bangsa Mesir kuno, penampilan menjadi hal penting karena menunjukkan status sosial, peran dalam masyra­kat dan kedudukan dalam politik.

Seperti halnya masyarakat se­ka­rang, gaya rambut bangsa Me­sir kuno bervariasi sesuai de­ngan usia, jenis kelamin, dan status sosial. Pada masa itu, seluruh penduduk Mesir baik laki-laki atau perempuan harus mencukur ram­but kepala mereka hingga botak dan menggantinya dengan wig.

Menggunduli kepala memi­liki sejumlah manfaat. Pertama, iklim Mesir yang panas sehingga me­mi­liki kepala yang gundul akan lebih nyaman. Kedua, untuk menjaga kebersihan serta mencegah da­tang­nya kutu ram­but kepala.

Ketiga, alasan faktor usia. Se­makin tua usia seseorang maka masalah kerontokan ram­but tidak bisa dihindari, semen­tara itu mereka ingin tetap mem­pertahan­kan pe­nam­pilan muda mereka selama mungkin. Meskipun demi­kian, orang Mesir Kuno tidak suka tampil di muka umum de­ngan tampilan kepala botak. Wig sangat popu­ler dipakai oleh seluruh tingka­tan usia, termasuk anak-anak. Mereka membuat wig dari ram­but manusia atau wol domba yang kemudian dirangkai de­ngan cara dianyam atau dike­pang.

Wig digunakan di dalam mau­pun luar rumah. Orang Me­sir meng­gunakan wig baru setiap hari dengan gaya wig yang ber­variasi. Oleh sebab itu fungsi utama wig berubah sebagai hia­san kepala untuk acara khu­sus, seperti upacara dan perja­muan.

Zaman Romawi, wig digu­nakan oleh perempuan sebagai bagian akesoris yang modis. Oleh karena perempuan yang berambut pirang dianggap can­tik, maka wig yang terbuat dari rambut pirang harganya sangat mahal pada masa itu. Para pro­dusen mendapatkan bahan po­kok wig pirang dari    orang-orang utara yang ditaklukkan oleh Kekaisaran Romawi.

Menonjol

Hingga abad ke-16 peng­gu­naan wig menonjol dalam cat­a­tan seja­rah di Inggris. Pada paruh kedua abad ini, baik laki-laki maupun perempuan mulai me­ng­­­gunakan wig. Para perem­puan pada masa itu sering mengecat rambut mereka dengan warna me­rah atau emas agar dapat meniru wig yang dike­nakan oleh Ratu Elizabet I yang dikabarkan memiliki koleksi wig sebanyak 100 buah.

Restorasi Inggris pada tahun 1660 yang dilakukan oleh Char­les II setelah masa pembuangan­nya di Pe­rancis, berdampak juga terhadap per­kembangan fashion periwigs atau rambut palsu. Mulai tahun 1665 orang-orang mulai menggu­nakan wig pirang, coklat atau hitam.

Mereka bahkan rela mencu­kur rambutnya agar dapat meng­ako­modasi wig yang panas dan tidak nyaman agar dapat dipakai di kepala. Wig yang panjang dan keri­ting, pakaian yang penuh akan bau parfum serta bedak yang penuh di wajah, semua ini merupakan ciri dari model fashion masa itu. Sam­pai akhir abad ke-17 gaya wig laki-laki seperti rambut perempuan.

Selain itu wabah sifilis me­micu lonjakan penggunaan wig. Kor­ban menyembunyikan kebo­ta­kan me­­­re­ka, serta luka ber­darah yang menjelajahi wajah mereka, de­ngan wig yang terbuat dari kuda, kambing, atau rambut manusia.

Wig juga dilapisi dengan bubuk beraroma lavender atau­warna  oranye untuk menyem­bunyikan aroma busuk. Perkem­bangan selanjutnya, pada tahun 1730 wig atau rambut palsu ini digunakan ber­baur dengan ram­but asli. Bah­kan pada tahun 1795 dikenankan pajak bagi bubuk rambut.

Pada abad ke-19 orang-orang hampir berhenti untuk memakai wig dan mereka mulai memakai rambut asli mereka meskipun dipotong pendek. Perempuan terus menggunakan hiasan rambut untuk accessoris gaya rambut mere­ka dan hal ini masih dilak­u­kan hingga hari ini. (rfi/idc.uk/shc/ar)

()

Baca Juga

Rekomendasi