Mengenang Guru SM3T di “Batu Katak”

Oleh: Dede Harison. MUNGKIN belum luntur dari ingatan kita, kecelakaan kapal di Su­ngai Tamiang di kawasan Batu Katak, Kecamatan Simpang Jernih, Aceh Timur, 26 November 2012.

Kapal yang ditumpangi serom­bong­an guru program Sarjana Men­di­dik di Daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal (SM3T) terbalik saat mela­wan arus sungai saat mereka kembali ke tempat tugas di Se­kolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) 2 Simpang Jernih, Desa Melidi. Seluruh penum­pang dan barang di atas kapal jatuh ke sungai. Akibatnya, empat orang tewas terseret arus sungai yang tengah meng­ganas.

Jumlah penumpang kapal naas itu enam orang, terdiri atas empat guru dan dua warga lokal. Keempat guru tersebut yaitu Geugeut Zalu­dio Sanua Anafi dan Winda Yulia (asal Jawa Barat), Hanafi (asal Blangkejeren, Gayo Lues, Aceh) dan Irma Yuna (asal Medan, Su­ma­­tera Utara). Dua warga lokal, yaitu Rahmad (tekong) dan Mantani, yang hendak pergi ke Melidi untuk menanam karet.

Kecamatan Simpang Jernih terdiri atas delapan desa, yakni Sim­pang Jer­nih, Batu Sumbang, Pante Kera, Melidi, HTI Ranto Naru, Ran­tau Pan­jang, Tampur Bor dan Tampur Paloh. Sejumlah desa di kecamatan ini dipi­sahkan aliran Sungai Tamiang yang mengalir dari Pinding, Gayo Lues hing­ga melintasi kota Kualasim­pang dan bermuara di Seruway, Aceh Ta­miang.

Simpang Jernih merupakan wilayah pedalaman Kabupaten Aceh Timur yang umumnya dihuni masyarakat su­ku Gayo. Dengan geo­grafis berbukit-bukit, tebing batu menjulang tinggi, dan hutan, men­jadikan panorama desa ini sangat indah dan asri.

Sayangnya, akses menuju Simpang Jernih kontras dengan peman­dangan alam itu. Jika hendak keluar, masya­rakat delapan desa itu harus melalui sungai dengan menggunakan perahu tradisional. Risi­ko­nya tinggi karena arus sungai tak tertebak, bisa mem­besar di saat alirannya terlihat kecil. Arus kian tak bersahabat saat hujan di hulu sungai.

Desa lain seperti Tampur Bor, Tam­pur Paloh dan Melidi, juga ter­isolir karena dipisahkan aliran sungai. Me­lewati jalur ini membuat jantung ber­debar, terutama saat sampai di pusaran Batu Katak.

Terbalik

Sabtu (26/11), genap em­pat tahun insiden di Batu Ka­tak. Perahu bermesin yang me­ngangkut rombongan gu­ru SM3T terbalik setelah takluk melawan derasnya arus Sungai Tamiang yang sedang banjir.

Ketua Satuan Tugas (Sat­gas) SAR Aceh Tamiang, Syaiful Syah­putra, dalam perbincangan dengan Ana­lisa, di Karang Baru, belum lama ini, mengakui tragedi itu masih membekas di be­naknya karena korbannya adalah pahlawan pendidikan yang bertugas di daerah ter­pencil.

“Senin petang itu mereka baru pulang rapat perdana an­targuru program SM3T di Langsa. Mereka berangkat ke Langsa, Sabtu, 24 November 2012,” katanya yang ikut mencari korban.

Dari enam penumpang, dua di antaranya selamat, yak­ni Irma Yuna dan Hanafi. Mereka mengajar di SMPN 2 Simpang Jernih. Keduanya selamat karena berhasil meng­gapai jeriken bahan bakar minyak (BBM).

“Sementara, jasad korban tewas, yaitu Winda Yulia dite­mukan tiga hari dan jasad Geugeut ditemukan 11 hari pasca kejadian. Keduanya mengajar di sekolah yang sa­ma. Jasad Rahmad dan Man­tani ditemukan puluhan kilometer dari lokasi kejadian,” tambahnya.

Memang tragis musibah atas rombongan guru SM3T ini. Kendati mesin kapal sudah dipacu untuk melewati pusaran Batu Katak, namun badan kapal justru mundur terdorong arus. Sampai akhir­nya terhem­pas, meng­hantam batu besar di tengah sungai dan hanyut di antara bukit cadas.

Kawasan rawan

Warga sekitar menamai­nya “Batu Katak” karena me­mang ada bong­kahan ba­tu besar di tengah sungai mirip katak. Titik ini sulit dilalui kapal. Ada aliran su­ngai yang berputar (Muriuk, Mujening, bahasa Gayo-red). Tak jarang, saat kapal melintas, ikut berputar juga, membuat nakhoda mesti li­hai meng­endalikan kapalnya.

Kawasan ini dikenal ra­wan karena arus sungainya yang tidak normal akibat di­pecah batu raksasa itu. Debit air sungai juga sulit dipre­diksi. Air tiba-tiba bisa naik dan keruh saat turun hujan di hulu.

Siapapun yang melintasi Batu Katak diminta ekstra waspada dan hati-hati. Ba­dan sungai di titik ini tampak agak gelap karena di kedua sisi­nya terdapat dua tebing batu menjulang dan hutan rimba. Nyaris membentuk terowo­ng­an. Warga selalu menya­rankan agar jangan melintasi kawasan ini di malam hari.

Meski Simpang Jernih adalah wilayah Aceh Timur, tapi untuk ke sana harus melalui Kualasimpang, Aceh Tamiang. Baik lewat darat maupun sungai. Jika mele­wati jalur sungai, dibutuhkan waktu 7-8 jam untuk sampai ke dermaga Simpang Jernih.

Masyarakat lebih memilih menggunakan jalur sungai karena jalan darat melalui Aceh Timur masih mempri­hatinkan.

Dari ibukota Kecamatan Simpang Jernih ke Melidi dan Tampur Paloh, tak ada akses lain kecuali sungai. Ke­dua desa ini benar-benar terisolir tanpa jalan darat. Desa di lereng Gunung Leu­ser itu belum tersentuh listrik negara.

Namun, saat ini, Tampur Paloh sudah mulai bisa menikmati listrik. Pertamina EP Field Rantau, melalui dana tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility/CSR) yang dikucurkannya.

Di desa ini, Pertamina EP Field Rantau juga tengah melakukan riset pengemba­ngan energi baru dan terba­ru­kan dari zat asam pohon ke­dondong hutan atau sering di­sebut warga Aceh pohon kuda-kuda pagar. Pohon kedondong itu ditanam untuk dimanfaatkan menjadi energi listrik alternatif bagi warga di pedalaman Aceh Timur tersebut.

()

Baca Juga

Rekomendasi