Oleh: Kuncara Yuniadi
Menjelang akhir tahun 2016 sebuah peristiwa pidana mengagetkan masyarakat. Rasa aman masyarakat kembali terguncang. Sebuah pembunuhan sadis kembali terjadi. Sebelas orang ditemukan terkunci di dalam kamar mandi rumah milik Dodi Triono (59), 6 orang di antaranya tewas, sedangkan lainnya dilarikan di rumah sakit. Pembunuhan yang terjadi di Jalan Pulomas Utara, Kelurahan Kayu Putih, Kecamatan Pulogadung, Jakarta Timur itu menyisakan tanda tanya besar.
Apakah kejahatan tersebut murni pembunuhan berencana, pembunuhan berencana dengan motif balas dendam, perampokan disertai pembunuhan, atau ada motif lain seperti persaingan bisnis, ekonomi, dan semacamnya? Siapa pembunuhnya yang begitu tega menghabisi nyawa korbannya? Mengapa pelaku menghabisi nyawa korbannya yang kebetulan menjabat sebagai ketua rukun tetangga (RT) di lingkungan rumahnya?
Bagaimana sistem keamanan lingkungan (Siskamling) perumahan saat itu?Sudahkah peran petugas keamanan setempat menjalankan tugas dengan semestinya? Sederet pertanyaan masih menari-nari di benak kita dan masih menjadi misteri.
Hingga saat ini, polisi belum mengetahui motif pembunuhan sejumlah orang di Pulomas, Jakarta Timur itu. Dugaan sementara polisi, kejadian tersebut bukan perampokan karena belum ditemukan benda berharga yang hilang dari rumah korban.
Meski motif dendam pelaku mungkin lebih dominan dalam kasus ini, namun pengungkapan kasus ini tergantung dari proses penyelidikan dan penyidikan polisi termasuk menunggu hasil dari otopsi korban, pemeriksaan saksi-saksi dan barang bukti, pelibatan ahli forensik dan penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi terkini secara ilmiah (scientificcrimeinvestigation).
Dilihat dari waktu kejadian (temposdelicti), penulis menduga pelaku mengetahui secara persis situasi dan kondisi rumah korban, mengingat pada saat kejadian lingkungan rumah dalam keadaan sepi sehingga tidak ada tetangga yang mengetahuinya. Pelaku juga profesional karena short circuittelevision (CCTV) yang berfungsi sebagai perekam gambar yang terpasang di rumah korban hilang dan tidak ditemukan di tempat kejadian perkara (TKP). Pelaku juga sempat mengambil telepon seluler milik korban untuk mencegah korban melakukan komunikasi dengan orang lain.Pelaku sempat mematahkan gagang pintu kamar mandi agar korban tidak meloloskan diri karena pintu menjadi sulit untuk dibuka baik dari luar maupun dari dalam. Dilihat dari jumlah korban, tindak kejahatan ini diduga dilakukan lebih dari satu orang dan dengan pembagian tugas yang jelas. Siapa berbuat apa, bertanggung jawab kepada siapa dan bagaimana cara melakukannya telah tergambar dan terencana sebelumnya.
Siskamling di mana korban tinggal juga dipertanyakan dan terkesan tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Biasanya perumahan menerapkan sistem tertentu seperti patroli keliling dari aparat keamanan setempat secara reguler. Patroli keliling dilaksanakan oleh petugas pada jam-jam tertentu dengan sistem shift secara bergantian. Di setiap pintu masuk perumahan biasanya terpasang portal atau CCTV dan tamu diminta menaruh identitas di penjagaan.
Siskamling adalah bentuk perpolisian masyarakat yang mengutamakan pencegahan dan penangkalan ancaman dan gangguan Kamtibmas di lingkungannya masing-masing.
Kesadaran masyarakat dalam berpartisipasi bidang keamanan dan ketertiban, merupakan potensi pengamanan swakarsa yang perlu dilestarikan dan ditumbuhkembangkan guna mengembangkan sensitivitas, sikap mental, dan daya tanggap setiap warga masyarakat.
Untuk melaksanakan Siskamling biasanya warga masyarakat tergabung dalam suatu wadah dan berkumpul di suatu tertentu yang khusus untuk melaksanakan tugas ini yakni Poskamling.
Poskamling atau biasa dikenal sebagai Pos ronda atau Pos jaga sebenarnya merupakan sistem yang telah ada sejak jaman kolonial. Pada zaman itu Posrondasebagai perpanjangan dari menara-menara dari kekuasaan kolonial untuk mengekang gerak pribumi. Fungsinya, untuk mengawasi gerak orang yang melewati daerah itu.
Dalam perkembangannya, Posronda disesuaikan dengan kondisi sosial masyarakat setempat. Posronda sebagai tempat berkumpulnya warga masyarakat yang mendapat giliran jaga dan piket guna melaksanakan Siskamling secara bergantian dengan cara berkeliling di sekitar lingkungan sekaligus menyambangi warga. Siskamling ini dapat dimaknai sebagai sarana silaturahmi secara fisik dengan cara tatap muka (face to face communication).
Namun, seiring dengan modernisasi kota yang semakin individualistis, Siskamling dan bentuk-bentuk sispamkota lainnya dalam bentuk sambang warga cenderung terabaikan. Komunikasi dan silaturahmi antartetanggasecara tatap muka menjadi semakin berkurang dengan derasnya perkembangan teknologi gawai. Komunikasi cukup melalui berbagai aplikasi media sosial seperti WhatsApp, Line, Path, Short Message Service, Facebook, dan lain-lain.
Padahal, silaturahmi dan sambang tatap muka antarwarga melalui medsos ini tidak dapat mengetahui secara persis situasi dan kondisi serta apa yang dialami warga.
Bagaimanapun,tindak kejahatan yang terkait dengan nilai-nilai kemanusian seperti pembunuhan, perkosaan, penganiayaan, penculikan dan kejahatan yang tergolong ke dalam jalanan (streetcrime) hingga menghilangkan nyawa orang lain adalah tindakan sadis dan tidak dapat dibenarkan dengan alasan apapun.
Meski terkategori kejahatan konvensional, namun perilaku menyimpang secara hukum yang menimbulkan korban jiwa, pasti mendapat perhatianpublik dan menarik sisi emosionalmasyarakat luas. Karena, selain merupakan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat, juga menimbulkan ketakutan masyarakat terhadap kejahatan (fearofcrime).
Masyarakat menganggap lingkungan sekitarnya tidak aman dan nyaman. Padahal menjadi hak masyarakat, sebagaimana teori motivasi menurut hirarki kebutuhan, Abraham Maslow, akan terpenuhinya kebutuhan rasa aman (securityneeds).
Masyarakat kini mempertanyakan peran dan kehadiran negara di tengah masyarakat.Sudahkah negara hadir dalam rangka memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat (ordermaintenance)? Sudahkan negara hadir untuk melindungi, melayani dan mengayomi masyarakat (to serve and to protec)?Ini tentu menjadi kasus atensi yang mau tidak mau, suka atau tidak suka, menjadi skala prioritas polisi. Pembunuhan yang menewaskan nyaris satu keluarga tersebut merupakan kasus menonjol (crimeindex) dalam kamus kepolisian.
Kecepatan dan ketepatan mengungkap kasus ini akan mengeskalasi kepercayaan masyarakat terhadap polisi, dan menaikkan kepuasan publik terhadap kinerja polisi, sebaliknya, keterlambatan polisi menangani kasus ini akan menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap petugas Bhayangkara negara. Jangan sampai publik menganggap polisi tebang pilih dalam menangani kasus.
Bila polisi dapat mengungkap kasus-kasus besar seperti terorisme, korupsi, narkotika,penodaan agama dan kejahatan lintas negara, dalam waktu relatif singkat, berdasarkan pengalaman polisi tentu tidak sulit untuk mengungkap kasus pembunuhan sadis ini. Siapa pembunuhnya dan apa motifnya diharapkan dapat segera terungkap sehingga masyarakat tidak bertanya-tanya lagi dengan apa yang terjadi. Itulah harapan masyarakat.
Apalagi berdasarkan hasil sebuah survei media massa nasional juga mendukung lembaga penegak hukum ini. Mayoritas publik (71,7 persen) mengapresiasi kinerja Polri tahun ini. Keberhasilan aparat keamanan melakukan tindakan preventif melalui penangkapan sejumlah terduga teroris yang berencana melakukan pengeboman di sejumlah wilayah menyiratkan bahwa ancaman teror di Indonesia setidaknya telah diantisipasi kepolisian.
Keberhasilan kepolisian melakukan deteksi dini terhadap ancaman teroris inilah yang banyak menuai apresiasi publik. Sementara dalam peningkatan peristiwa intoleransi, kepolisian tetap memegang peranan penting. Belum lama ini, petugas kepolisian menunjukkan ketegasan dalam menghadapi aksi organisasi kemasyarakatan tertentu yang ingin menyisir pusat-pusat perbelanjaan terkait pemaksaan pengenaan atribut agama tertentu kepada pekerja yang berbeda agama. Publik melihat Polri hadir menjalankan kewenangannya sesuai koridor hukum dalam melindungi rakyat Indonesia.
Di sisi lain, pengungkapan kasus ini tentu tidak semudah membalik telapak tangan. Selain, kerja keras dari aparat, dibutuhkan partisipasi aktif semua pihak sekaligus menyadarkan kepada kita bahwa kejahatan adalah musuh kita bersama dan tanggung jawab semua pihak baik perorangan maupun kelembagaan. ***
Penulis adalah praktisi hukum, pemerhati Kamtibmas.