Intimidasi Jurnalis, Efek Pemberitaan

Oleh: Dedy Syahputra

Perkembangan media massa dalam menyuguhkan informasi yang akurat dan faktual semakin dibutuhkan di te­ngah-tengah masyarakat. Kebutuhan tersebut diiringi dengan semakin me­ningkatnya partisipasi masyarakat dalam mengikuti dinamika sosial dan politik di Indonesia dalam menggu­nakan teknologi modern.

Salah satu bentuk penyajian informasi yang disajikan oleh media saat ini adalah pemberitaan. Berita merupakan suatu fakta atau ide atau opini aktual yang menarik dan akurat serta dianggap penting bagi sejumlah besar pembaca, pendengar maupun penonton.

Berita menjadi hal mendasar dalam memberikan informasi berupa fakta-fakta yang terjadi baik secara lokal, nasional maupun internasional. Peranan berita da­lam menggiring wacana di dalam ma­sya­rakat sangatlah besar dan cenderung dominan dalam membentuk opini publik terhadap isu-isu tertentu. Besarnya peranan tersebut terlihat melalui tingginya respon masyarakat dalam mengikuti perkemba­ngan berita di tanah air baik yang disajikan oleh media cetak maupun elektronik.

Terkait intimidasi yang diterima oleh jurnalistik ketika melakukan pekerjaan di lapangan oleh sekelompok masyarakat yang memprotes kepada jurnalistik bahwa pihak perusahaan media jurnalistik tersebut dalam menyampaikan informasi kepada publik dianggap tidak independen dengan fakta yang sebenarnya. Kepemilikan media massa saat ini memiliki pengaruh yang kuat terhadap tayangan media massa tersebut. Bagaimana kecenderungan tayangan televisi lebih keberpihakan dengan koalisi yang terbangun dari perusahaan media dibandingkan objektif dalam penyampaian.

Apalagi ketika pemilik media tersebut berkecimpungan di ranah politik, maka bisa dilihat bagaimana tayangan yang disajikan ke masyarakat. Paradigma kelompok masyarakat yang keberatan atau tidak setuju atas pemberitaan yang dilakukan sebuah media, atau sering disebut sengketa media yang menjadikan para jurnalistik selalu mendapat perlawanan di lapangan. Apakah hal tersebut meru­pakan intimidasi jurnalistik atau efek pemberitaan?

Intimidasi

Iklim demokratisasi Indonesia tidak terlepas dengan keterlibatan jurnalis. Bukti sejarah telah tercatat dengan tinta jurnalis menceritakan kebobrokan pemerintahan rezim Soeharto yang berpusat sentralistik, pelanggaran HAM, hingga kebebasan berpendapat dalam menyampaikan berita. Lahirnya Undang-Undang No. 40 Tentang Pers di tahun 1999, sebagai kecerahan kebebasan dalam memberitakan segala hal, termasuk mengkritik negara, kontrol sosial, pendidikan dan hiburan bagi masyarakat.

Pengusiran adalah pelanggaran serius terhadap UU Pers dengan ancaman hukuman pidana dan atau denda, bahkan juga berusaha merusak alat kerja, ini pelanggaran serius terhadap kerja jurnalistik dan perbuatan pelanggaran hukum, layak untuk dipidanakan dan proses hukum. Menurut Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Intimidasi dan kekerasan terhadap jurnalis yang sedang menjalankan di halaman Masjid Istiqlal menuai beberapa kasus diantaranya:

Pertama, Mengecam keras intimidasi dan kekerasan yang dilakukan oleh massa demo 212 terhadap jurnalis Metro TV dan oleh anggota kepolisian terhadap jurnalis RCTI. Selain bisa dijerat dengan pasal pidana KUHP, intimidasi dan kekerasan tersebut bisa dijerat Pasal 18 Undang-Undang Pers karena mereka secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalang-halangi kemerdekaan pers dan kerja-kerja jurnalistik.

Ancamannya hukuman dua tahun penjara atau denda Rp 500 juta. Kedua, mendorong manajemen Metro TV dan RCTI untuk mela­porkan kasus intimidasi dan kekerasan ini kepada kepolisian agar pelaku diadili. Selama ini, kekerasan terhadap jurnalis kerap berulang karena korban enggan melaporkan kasusnya ke kepolisian dan pada saat yang sama laporan yang sudah masuk jarang ditindaklanjuti oleh kepolisian.

Karena itu, kami mendorong kepolisian untuk segera mengusut kasus-kasus kekerasan terhadap jurnalis dan membawa pelakunya sampai pengadilan. Proses hukum ini penting agar ada pembelajaran bagi masyarakat bahwa mengintimidasi dan kekerasan terhadap jurnalis adalah melawan hukum.

Ketiga, mengimbau Metro TV, yang menggunakan frekuensi publik, untuk tetap memproduksi siaran berita yang independen, berimbang, akurat, dan berpegang teguh kepada kode etik dan Standar Program Siaran (P3 dan SPS) Komisi Penyiaran Indonesia.

Dalam kasus Metro TV, pada unjuk rasa 4 November lalu, ada juga jurnalisnya yang diintimidasi oleh demonstran yang tidak senang dengan berita televisi ini. Karena itu, redaksi Metro TV perlu juga introspeksi mengapa menjadi sasaran kemarahan demonstran. Pengelola televisi perlu diingatkan bahwa jurnalisme bertumpu kredibelitas media dan kepercayaan penonton. 

Keempat, mengimbau semua pemim­pin redaksi dan petinggi media untuk memperhatikan keselamatan dan keamanan jurnalisnya di lapangan yang meliput unjuk rasa atau liputan di daerah yang berpotensi konflik.

Para reporter dan juru kamera adalah garda terdepan dalam proses produksi berita. Keamanan dan keselamatan mereka harus diutama­kan. Manajemen media harus bertang­gungjawab terhadap keselamatan dan keamanan jurnalisnya yang sedang bertugas. Kelima, mendesak Dewan Pers dan KPI untuk lebih ketat mengawasi dan menegur stasiun televisi yang beritanya dinilai menabrak kode etik dan pedoman penyiaran (resistnews.com). 

Efek Pemberitaan

Efek pengusiran yang dilakukan oleh sekolompok masyarakat terhadap jurnalis media ibarat seperti kata pepatah “tidak ada asap kalau tidak ada api”. Objektivitas media dalam menyiarkan beri­ta ­bergantung pada sang pemiliknya. Sebab terkadang media tidak mampu berdiri sendiri atau netral dalam menyiarkan berita ataupun menyampaikan pesan politik, gerak-gerik media diatur berdasarkan perintah sang pemilik, tidak bisa media itu megeluarkan berita atau pesan yang berdasarkan fakta atau adanya keberpihakan media dalam menyampaikan berita terhadap individu, kelompok dan unsur ketidak independenan.

(Nurudin, 2007) mengatakan independensi media massa adalah sebuah konsep tentang kebebasan media dari pengaruh atau campur tangan pihak manapun, tidak terkecuali pemilik media tersebut. Media yang bebas merupakan sesuatu yang penting dalam kehidupan politik di suatu negara, karena dengan media yang bebas, kontrol politik dan pendidikan politik yang jujur dan apa adanya dapat dija­lankan. Hal ini berpengaruh kepada pemberitaan yang ditayangkan kepada ma­syarakat, dimana berita yang ditayangkan cenderung tidak berimbang atau tidak netral.

Westerstahl (McQuail, 2000), pernah menyatakan bahwa yang dinamakan objektif setidaknya mengandung faktualitas dan imparsiali­tas.  

Faktua­litas berarti kebenaran yang didalamnya memuat akurasi (tepat dan cermat), dan mengkaitkan sesuatu yang relevan untuk diberitakan. Sementara itu, imparsialitas mensyaratkan adanya keseimbangan (balance) dan kenetralan dalam mengungkap sesuatu.

Dengan demikian, informasi yang objektif selalu mengandung kejujuran, kecukupan data, benar, dan memisahkan diri dari fiksi dan opini. Dan menghindarkan diri dari sesuatu yang hanya mengejar sensasional semata.

Apa yang dikemukakan oleh Westerstahl tersebut di atas dalam praktiknya tidak mudah untuk diwujudkan. Sehingga jurnalis menjadi penyebab dilapangan yang tidak tahu menahu permasalahannya.

Tugas jurnalis hanya mencari sebuah berita yang objektif untuk diberikan kepada redaktur atau atasannya agar masyarakat mendapat informasi tentang keadaan yang terjadi. Jadi apabila masyarakat menilai ketidakindependennya media bukan di salahkan kepada jurnalis, tetapi kepada petugas yang mengedit berita tersebut secara tidak objektif. Persaingan media massa terlihat seperti persaingan pemilik media pula dalam rangka mencari dukungan kepada khalayak kita.

Saat ini masyarakat Indonesia tidaklah bodoh, sebagian besar masyarakat kita sudah dapat membedakan mana berita yang fakta dan mana berita yang hanya sebuah opini karena banyak faktor yang mempengaruhi khalayak mengenai pemberitaan yang diberikan oleh media.

Peran pemerintah dalam hal ini Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Dewan Pers Indonesia (DPI) sangatlah dibutuhkan guna mengontrol seluruh tayangan media yang dianggap tidak netral, serta dapat memberikan tindakan yang tegas kepada media tersebut.***

Penulis adalah mahasiswa asal Kelurahan Pekan Gebang

()

Baca Juga

Rekomendasi