Oleh: Al Mahfud
Setiap 16 November, dunia memeringati Hari Toleransi Internasional (National Day for Tolerance). Peringatan ini dideklarasikan oleh United Nations Educational, Scientific dan Curtural Organization UNESCO dan ditetapkan pertama kali pada 16 November 1995. Tujuannya untuk menyerukan dan deklarasi bagi seluruh warga dunia akan pentingnya menjamin toleransi antar sesama manusia, serta mengakui, menghormati, dan menghargai segala perbedaan yang ada.
Di Indonesia, memeringati Hari Toleransi Internasional dapat diekspresikan dalam berbagai hal untuk terus merekatkan kerukunan dalam tubuh bangsa. Misalnya, penggerak aktivitas lintas iman dan budaya se-Indonesia tahun ini menyelenggarakan karnaval lintas iman (Indonesia Interreligious Carnaval) di Klaten Jawa Tengah. Even tersebut salah satunya diisi acara Temu Nasional Lintas Iman dan budaya se-Indonesia yang berisi dialog dan diskusi dari puluhan tokoh lintas iman dan budaya dari berbagai daerah untuk saling berbagi pengalaman selama berjuang menumbuhkan kesadaran toleransi antar-umat beragama.
Tentu, acara tersebut sangat positif dalam konteks merekatkan persaudaraan dan toleransi antar tokoh lintas agama di Tanah Air. Diskusi dan dialog adalah cara terbaik untuk meluaskan pandangan dan melapangkan hati untuk menyadari indahnya persaudaran dalam perbedaan yang ada dalam bangsa ini. Diskusi yang dilakukan antar tokoh lintas agama diharapkan bisa menghasilkan gagasan atau ide-ide segar untuk terus merekatkan hubungan antar agama dan budaya, untuk selanjutnya ditularkan pada masyarakat di daerah masing-masing. Kita tahu, komunikasi merupakan hal pokok untuk membangun suatu hubungan yang harmonis.
Makna paling mudah dari toleransi adalah menghargai. Namun, toleransi ternyata tak sekadar tentang menghargai. Toleransi adalah suatu sikap tenggang rasa, batas ukur untuk penambahan atau pengurangan yang masih diperbolehkan, kesabaran, ketahanan emosional, dan kelapangan dada, sifat menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasan, kelakuan, dan sebagainya) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri (Sulchan Yasin: 1995).
Dalam konteks bangsa kita, tole-ransi menjadi syarat tegaknya semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Artinya, semboyan tersebut tak akan bisa tegak dan menjadi spirit kehidupan berbangsa tanpa adanya toleransi antar sesama warga bangsa.
Jika kita perhatikan, pengertian toleransi tak sekadar memuat sikap menghargai, namun juga sampai pada sikap tenggang rasa, ketahanan emosional, bahkan kelapangan dada. Artinya, toleransi bukan hanya tentang bagaimana kita membiarkan perbedaan itu ada di sekitar kita, namun lebih jauh adalah bagaimana kita bisa mengedepankan rasa kemanusiaan kita dalam kehidupan bersama. Bisa dikatakan, toleransi mengisyaratkan sebuah sikap yang sampai pada hal-hal yang lebih mendalam: tentang tenggang rasa, ketahanan emosional, dan ke lapangan dada.
Dalam kehidupan berbangsa, adanya sikap-sikap seperti tenggang rasa, ketahanan emosional, bahkan kelapangan dada tersebut akan memupuk tali persaudaraan antar elemen bangsa. Sikap tenggang rasa akan menghindarkan kita dari saling menyakiti, ketahanan emosional akan menghindarkan kita dari amarah dan benci, sedangkan sikap lapang dada akan menciptakan kehidupan yang lebih bermartabat meski dalam perbedaan.
Toleransi dan perdamaian
Melihat kondisi belakangan ini, pemaknaan yang lebih mendalam tentang toleransi, sebagaimana diulas di atas menjadi penting. Gejala menyebarnya kebencian dan permusuhan menandakan kesadaran akan persaudaraan yang memudar. Kata-kata penuh amarah pada saudara sendiri yang beterbaran, terutama di dunia maya, menggambarkan ketidakmampuan kita mengendalikan diri atau menahan emosi, padahal “menahan emosi” sendiri merupakan salah satu unsur dari toleransi.
Hati yang sempit dan rasa ingin dipandang paling benar sama sekali tak dibutuhkan untuk hidup bersama dalam perbedaan. Sebab yang lebih dibutuhkan adalah kelapangan hati dan kearifan untuk lebih mementingkan persaudaraan dan kepentingan bersama. Jika kita masih memelihara rasa curiga dan kebencian pada sesama, bisa dikatakan kita belum mampu secara penuh menghayati toleransi.
Gejala kebencian dan permusuhan dengan sesama saudara sebangsa bisa jadi menjadi bibit-bibit tindakan kekerasan atau radikalisme. Ketika amarah sudah menguasai seseorang atau kelompok, kemudian diumbar dan dipropagandakan sehingga mendapat-kan dukungan massa yang lebih besar, hal ini akan berbahaya dan mengancam kerukunan yang selama ini kita bangun bersama. Sebab, bukan tak mungkin, hal tersebut akan dimanfaatkan kelompok-kelompok tertentu yang memang memiliki misi memecah-belah dan mengubah bangsa ini menjadi seperti yang mereka inginkan.
Hal yang juga perlu ditekankan adalah, bahwa toleransi bukan sikap pasif. Meskipun “membiarkan” merupakan salah satu unsur yang ada pada pengertian toleransi, namun dalam konteks mengupayakan kerukunan bangsa dan menjauhkan kita dari keterpecahan, kita perlu aktif menebarkan benih-benih perdamaian lewat kepedulian dan kasih sayang pada sesama. Di saat bersamaan, kita mesti menangkal segala bentuk propaganda yang memecah-belah: kebencian, hasutan, menyalahkan, dll.—yang bisa memantik rasa saling curiga, iri, dengki, pertikaian, dan lebih jauh perpecahan dalam tubuh bangsa.
Karena perbedaan adalah sunnatullah, maka toleransi adalah keniscayaan. Kita sadar toleransi di sini bukan berarti membiarkan orang melakukan apa saja yang mereka inginkan sampai-sampai mengganggu yang lain. Sebab kita memiliki hukum, undang-undang yang harus dijadikan patokan hidup berbangsa. Akhirnya, momentum Hari Toleransi Internasio-nal menjadi saat tepat bagi kita untuk kembali mendalami makna toleransi agar persaudaraan dan kerukunan dalam tubuh bangsa ini terajut kembali. Karena tanpa kerukunan dan kedamaian, bangsa ini akan sulit melangkah ke depan.***
Penulis bergiat di Paradigma Institute Kudus, Aktif menulis artikel, esai, dan ulasan berbagai genre buku di media massa, baik lokal maupun nasional.***