Oleh: Darwin Putra Sitepu, S.Pd
Belum lama ini, persoalan aturan berhenti dan parkir menjadi viral di media sosial. Peristiwa itu bermula dari tersebarnya video perdebatan soal parkir dan berhenti oleh polisi lalu lintas dan sopir taksi saat berhenti dikawasan larangan parkir. Peristiwa tersebut mulanya diunggah ke Youtube dengan judul “Polisi Tegas Masuk TV vs Supir Mengerti Undang-Undang, Berhenti atau Parkir?” video ini beredar luas sejak Jumat (22/01/2016). Lantas bagaimana kita seharusnya memahami aturan tersebut? Apakah supir taksi itu benar ataukah polisi itu juga benar?
Jika dicermati dengan baik, tidak dapat dipastikan bagaimana jalan cerita yang utuh dari peristiwa tersebut. Sebab video yang beredar hanya beberapa menit saja. Apalagi video itu sudah dihapus dari jejaring Youtube atas permintaan salah satu stasiun TV. Namun nitizen sempat memuatnya dalam sejumlah akun Facebook yang mengunggah video serupa. Dalam rekaman video yang diambil oleh acara Net TV “86” menunjukkan bahwa sopir taksi merasa tidak bersalah karena hanya berhenti, sementara tanda larangan hanya larangan parkir. Namun Polisi tetap menilang supir taksi dengan argumentasi sendiri.
Dialog yang sempat terekam apik, menurut supir, dia tidak sedang parkir, tetapi sedang berhenti sehingga tidak relevan jika harus ditilang karena melanggar rambu dilarang parkir. Sopir taksi beranggapan bahwa ada perbedaan antara berhenti dan parkir. Sengaja tayangan itu juga memuat penjelasan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Debat Soal Aturan Lalu Lintas
Penjelasan itu pun muncul, bahwa dalam peraturan disebutkan parkir adalah keadaan kendaraan berhenti atau tidak bergerak atau beberapa saat ditinggalkan pengemudinya. Sementara itu, berhenti adalah keadaan kendaraan tidak bergerak untuk sementara dan tidak ditinggalkan pengemudinya. Namun polisi tetap pada argumentasinya dan menilang supir taksi itu. Rasanya akhir dari dialog keduanya tidak berujung pada “win-win solusion”. Kendati demikian kita tidak boleh mencerca satu diantara keduanya, perlu dicermati lebih lanjut.
Berkaca dari kejadian itu, Komisaris Agustin Susilowati yang menjabat sebagai Kasubdit Pendidikan dan Rekayasa Dirlantas Polda Metro Jaya akhirnya angkat bicara. Beliau menyebutkan bahwa polisi memiliki wewenang tertentu ketika sedang bertugas dan menghadapi situasi seperti yang tergambar dalam video tersebut. “Dalam situasi tertentu, untuk ketertiban dan kelancaran lalu lintas, petugas kepolisian dapat memerintahkan pengguna jalan untuk berhenti, dan jalan terus, mempercepat arus, memperlambat arus, atau mengalihkan arus,” kata Agustin kepada kompas.com, Jumat (22/01/2016).
Satu contoh yang diberikan oleh Beliau adalah kewenangan polisi wajib diutamakan ketimbang perintah yang diberikan oleh aparatur sipil, rambu lalu lintas, dan marka jalan. Salah satunya jika ada polisi lalu lintas yang mengarahkan kendaraan di lampu merah untuk maju meski lampu lalu lintas masih merah, menandakan berhenti. “jadi pengguna jalan wajib mematuhi perintah yang diberikan oleh petugas kepolisian yang dimaksud,” tutur Agustin.
Jika demikian adanya, dalam situasi darurat atau kemacetan yang teramat parah, perintah atau interuksi polisi lalu lintas memang patut diutamakan. Namun seyogianya tidak menempatkan wewenang itu pada posisi yang kurang arif. Seperti yang pernah terjadi di Yogyakarta aksi pesepeda tegur konvoi moge di Yogya agar taat aturan, Sabtu (15/08/2015). Tergambar bahwa moge tersebut dikawal oleh polisi lalu lintas. Namun pesepeda bersikeras bahwa dalam aturan lalu lintas, moge tidaklah masuk dalam beberapa kendaraan atau situasi yang diperbolehkan melewati lampu merah.
Demikian juga, video yang pernah diunggah di jejaring sosial oleh seorang pengendara sepeda motor sesaat setelah ia ditilang oleh polisi. Disamping videonya, Joni Hermanto memberi argumen bahwa “Cemen, Seorang Kasat Lantas melaporkan saya ke Sat Reskrim”. Kejadian tersebut bermula dari perdebatan Joni dengan pihak polisi tentang keabsahan prosedur razia kendaraan. Curhatan dan video Joni sempat viral di media sosial. Pada peristiwa seperti itu, seyogianya tidak terulang pula, sebab aturan semestinya sejalan dengan kerja polisi. Jangan sampai wewenang itu membuat keresahan atau kebingungan dimasyarakat.
Aturan Perlu Dirumuskan Kembali
Kembali pada peristiwa perdebatan berhenti atau parkir, saya mencoba mengambil pendapat Guru Besar Sosiologi hukum FISIP Universitas Indonesia yang notabene juga pengamat kepolisian, Bambang Widodo Umar. Beliau menuturkan pada Kompas.com, Sabtu (23/01/2016) melalui pesan singkat pada Kompas. “mereka tidak salah, masing-masing punya argumentasi yang benar. Jadi, bisa dinilai materi dalam Undang-Undangnya yang tidak rinci” tutur beliau.
Guru besar UI tersebut menilai polisi lalu lintas dan sopir taksi yang berdebat soal “parkir dan berhenti” dalam video yang beredar di dunia maya itu tidak salah. Melainkan menilai bahwa materi dalam Undang-Undang tidak rinci menjelaskan aturan berhenti atau parkir. “menurut pendapat saya atas kondisi tersebut, sebaiknya polisi memberi kebijakan tidak menindak karena masalahnya ada pada kekurangan atau kelemahan dalam rumusan Undang-Undang” tutur Bambang, Guru Besar UI.
Untuk mengatasi terjadinya kejadian serupa, Beliau menyarankan agar dibuat penjelasan yang lebih mendalam tentang perbedaan antara parkir dan berhenti dalam Undang-Undang tersebut. Sependapat dengan beliau, Hemat saya, setiap aturan yang belakangan ini menjadi viral, dan momok bagi pengedara, mesti dirumuskan kembali, sejauh mana rincian itu menjelaskan hingga tidak terjadi perbedaan pendapat. Harapannya Polisi harus tetap eksis bekerja sesuai aturan. Aturan itu adalah Undang-Undang (UU) dan aturan lain yang tidak bertentang dengan amanat UU.
Disamping itu, Masyarakat, dan khususnya pengendara harus tetap membekali diri dengan pengetahuan hukum yang benar. Sehingga harmonisasi kerja Polisi dan Masyarakat tetap terjaga. ***
Penulis adalah Pengajar PPKn di SMP Muhammadiyah 3 Medan