Pesona Nusantara

Nusantara itu luas ka­re­na menyatukan barat dan timur, men­dekatkan utara dan selatan. Ba­nyak sekali tempat yang me­nawarkan ro­man­tis­me. Dari Sa­bang di ujung barat, me­­lang­kah jauh ke timur me­nu­ju Pa­pua. Sebuah tempat yang na­ma­nya melalangbuana ke manca ne­­gara. Adalah Raja Am­pat, ke­pulauan yang le­tak­nya di sebelah barat laut kota So­rong itu merupakan surga te­rakhir kekayaan ba­wah laut paling leng­kap di Bumi. Ke­ka­yaan biota ini telah men­jadikan Raja Am­pat se­­bagai per­­­pus­takaan hi­dup dari ko­leksi te­­rum­bu ka­rang pa­ling be­ragam di dunia.

Sebanyak se­pu­luh pe­warta foto yang bekerja untuk media cetak dan kan­tor berita na­sional serta asing, Ah­mad Zamroni, Bea­wiharta, Dita Alang­kara, Edy Pur­nomo, Mast Ir­ham, Peksi Cah­yo, Prasetyo Utomo, Sumaryanto Bronto dan Yuniadhi Agung melakukan perjalanan ke sejumlah pelosok nusantara. Kominutas yang mereka beri nama ‘1.000 Kata’ melakukan perjalan yang tidak seperti biasanya. 

Dari sebuah tempat ke lain­nya bertemunya gunung dan laut. Gunung-gunung hijau ber­padu serasi dengan laut yang biru. Ternate adalah mutiara da­­ri timur.  Sisa keagungan ke­­sul­­tanan Ternate dan jejak ko­lonial ter­sebar di sudut kota ini. Menjadi saksi betapa se­ngit­nya per­sai­ngan bangsa ero­pa untuk me­ngu­sahi per­da­gangan rem­­pah rempah saat itu. Di Pulau Ka­limantan, sur­ga ter­sem­bu­nyi ada di Berau dan Putusibau. Kea­rifan bu­daya lokal bergandengan de­­ngan alam yang masih pe­ra­wan, mencoba berjalan di­tengah arus modernisasi yang be­gitu kuat.

Menjelajah Langgur di Pu­lau Kei Kecil membuat kita ha­­­rus mundur beberapa lang­kah dari kebiasaan sebagai ma­nu­sia modern. Di sana kita tak lagi membutuhkan segala ben­tuk mesin modern bernama mo­bil, tak lagi membutuhkan kotak ajaib penghubung dunia maya. Di Langgur kita men­jelajah kekunoan mesin-mesin wa­ktu masa lampau. Kita kem­bali kepada kodrat bahwa se­sung­guh­nya kita tidak mem­­­­­­­­­­­bu­tuhkan apa-apa ke­cuali makanan enak se­cu­­kupnya dan jiwa kita mem­butuhkan per­­se­tu­bu­han de­ngan alam indah yang tak pernah ha­bis.

Berajak me­nu­ju selatan ke Sum­ba dan Bima. Tak leng­kap ra­­sanya bila berkunjung ke tem­­pat itu tanpa ada cerita ten­tang ku­­da dan sabana. Ku­da bagi orang Sum­ba dan Bima ada­lah se­­galanya. Tidak hanya sebagai status dan simbol ke­ka­yaan, me­­reka percaya kuda ada­lah kendaraan nenek mo­yangnya. Ke­tika kuda me­ringkik, saat itulah leluhur me­reka sedang datang.

Kaya raya akan tempat dan sua­sana yang harmoni,  me­reka rangkum dalam sebuah buku fotografi bertajuk ‘#ini­Ne­­griku’ dengan ratusan imaji me­­­ngisi 176 halaman buku yang akan membuka mata bah­­wa Indonesia itu luar bia­sa. Hing­ga nantinya me­nya­darkan nu­rani bahwa kita di­takdirkan untuk menjaga nu­san­tara. (ferdy)

()

Baca Juga

Rekomendasi