Durian Cinta

Oleh: Rizki Muliani Nasution. Bahar menatap-natap bunga mawar di tangannya. Memerhatikan warnanya yang merah, kelopaknya yang merekah dan wanginya yang semerbak. Lalu kenapa Kartika menolak cintanya?

“Bahar, aku tak suka mawar merah. Kenapa kau memberiku mawar begini? Itu zaman dulu cewek dikasih mawar bakal kelepek-kelepek. Sekarang, mana ada! Aku tak suka.” Begitulah Kartika menolak cintanya dengan kata-kata yang pedih. Padahal Bahar sudah memanjat tebing yang tinggi untuk mendapatkan mawar itu. Mawar merah yang berbunga itu ada di tepi tebing yang curam. Sungguh tak berperasaan si Kartika, begitulah pikir Bahar.

Bahar tetap tak putus asa untuk mendapatkan cinta Kartika. Di film-film, Bahar melihat wanita itu suka coklat. Diberikannya pula coklat kepada Kartika. Lalu, apa yang dikatakan Kartika

“Coklat basi tahu! Kamu nggak berkelas amat sih! Gigiku sakit makan coklat beginian.” Lagi-lagi Kartika buang muka. Usaha Bahar gagal total. Lalu, di lain kesempatan Bahar memberi baju yang cantik untuk Kartika.

“Aku udah punya banyak pakaian di lemariku. Nambah satu koleksi lagi, membuat lemariku tak cukup menampung baju-baju ini. Ini untukmu saja. Sudah ya? Aku masuk dulu.” Pintu ditutup tanpa mengetahui bagaimana sakitnya hati Bahar. Satu pun hadiah Bahar tak diterima.

“Mak! Mahal kalilah kembang desa ini!” pikir Mahar di bawah pohon beringin di depan rumahnya. Banyak sudah pemuda yang ingin menaklukkan hati sang putri Kartika, namun belum satu pun pemuda yang dapat menaklukkan sikap dingin Kartika. Bahar pemuda kampung yang bahkan sudah selesai sarjananya di kota besar pun tak bisa. Bahar memutar otak. Mencari sebuah rencana, apa yang bisa diberi lagi untuk menaklukkan hati sang pujaan hati.

Kali ini dicobanyalah cara lain lagi. Bahar bangkit dari tidurnya dan berdiri tegap. Cepat dia ambil gitarnya di rumah. Dia mainkan sebuah lagu cinta fenomenal yang bisa membuat hati sang pujaan hati klepek-klepek. Terdengarlah lagu I Knew I Love You dari Savage Garden. Dia dendangkan dengan suara yang dapat membuat bulu kuduk merinding. Suara Bahar memang bagus. Apalagi saat kuliah dahulu, dia pernah membentuk group band dan dia sebagai vokalis di sana.

“Lagumu itu kuno sekali! Apa kau tak bisa memainkan lagu lain? Lagu itu sudah sejak zaman baholak sana!” Kartika melempar Bahar yang memainkan lagu itu di depan rumahnya.

“Sungguh tak berperasaan! Gadis tak berperasaan!” celetuk Bahar. Namun bukan Bahar namanya kalau menyerah begitu saja. Lagi-lagi dia mencari akal, bagaimana cara menaklukkan hati Kartika Andini, kembang desa yang sudah sangat tersohor kecantikannya itu.

Suatu hari Bahar diajak Sammy sahabatnya untuk pergi panen durian di kebunnya. Bahar bersemangat, dia sangat suka durian.

“Nah! Baru kali ini kau bersemangat kulihat! Daripada kau memikirkan si Kartika terus-menerus. Lebih baiklah kita pergi panen durian. Lalu, kita jual ke kota.”

Bahar mengangguk setuju. Dalam hati Bahar mengatakan dia memang butuh penyegaran setelah berulang kali disakiti oleh seorang Kartika Andini, putri tercantik di kampung.

Sesampai di kebun Sammy, durian memang tengah berbuah banyak dan ranum-ranum di batangnya. Dengan semangat, Bahar memanjat untuk menjatuhkan satu per satu durian itu. Durian itu jatuh, dan tiba-tiba ada yang berteriak dari bawah.

“Apa itu?” tanya Bahar pada Sammy.

“Suara perempuan menjerit, Bahar, tapi siapa ya? Kenapa di hutan begini ada perempuan menjerit-jerit. Jangan-jangan…” Sammy terdiam sejenak membayangkan bahwa itu adalah hantu kebunnya.

“Aku turun dulu ya?” Bahar langsung turun dan mencari-cari asal suara itu. Bukannya dia takut terhadap suara jeritan itu. Dia sering mendengar suara itu. Suara itu mirip, mirip suara Kartika. Tapi apa mungkin Kartika ada di kebun hutan begini?

Seseorang menabrak punggung Bahar. Bahar langsung berpaling melihat ke belakangnya. Betapa terpesona dia melihat kecantikan wajah ayu yang di hadapannya sekarang. Dia Kartika. Dia sedang ketakutan.

“Ular, awas! Ada ular!” Kartika menjerit-jerit tak karuan. Wajahnya yang putih menjadi semakin pucat saja dan bibirnya yang merah gemetaran tak karuan.

“Tenang ya, Kartika.” Bahar sudah terbiasa dengan ancaman ular karena sering ke kebun bersama Sammy sewaktu kecil. Bahar mengambil kayu dan mengalihkan jalan ular itu. Ular itu pun pergi merayap hingga tak terlihat.

“Mengapa kau ada di sini?” tanya Bahar penasaran.

Kartika Andini yang dia incar kini memakai sepatu boot selutut, memakai sarung tangan tebal dan topi persis petani durian.

Kartika menunjuk durian yang harus dia bawa. Ayahnya sedang sakit, seharusnya ayah yang melakukan semua ini.

“Oh, jadi ayahmu pemilik kebun durian yang di samping kebun Sammy?”

Kartika mengangguk.

“Makasih ya, aku harus pulang.” Kartika hendak beranjak dari hadapan Bahar saat Bahar ingin mencegahnya.

“Brukk!” sebuah durian jatuh mengenai kepala Bahar. Duri-durinya yang runcing itu membuatnya jatuh pingsan.

* * *

Bahar membuka mata perlahan. Rasa sakit masih membekas di kepalanya. Pandangannya masih samar saat baru dibuka dan kemudian perlahan semakin jelas. Kartika ada di hadapannya, juga Sammy.

“Ah! Di mana ini?” tanyanya lemah.

“Ini masih di kebun. Kau pingsan dua jam. Maafkan aku ya?” kata Kartika.

“Aku baik-baik saja kok!” Bahar menjawab, dia ingat semua kejadian tadi mulai dari menolong Kartika dari ular hingga durian yang jatuh tepat ke kepalanya. Kartika menyandarkan Bahar ke pondok kecil milik Sammy. Bahar ingin duduk.

Bagi Bahar, ini adalah hal yang mengasyikkan sekali. Kejadian ini membuatnya senang bukan kepalang. Mimpi apa dia semalam sampai Kartika bisa sedekat ini dengannya? Dulu bahkan pemberian coklat, lagu romantis, pakaian, hingga bunga mawar merah ditolak mentah-mentah.

“Aku lapar!” seru Bahar.

“Mari kita makan dulu. Kau benar Bahar, ini sudah tengah hari.” Kartika pun berlalu dari hadapan Bahar

“Kau mau ke mana, Kartika?” tanya Bahar lemah.

“Mau mengambil nasi. Aku ada bawa nasi di mobil pick-up-ku. Tunggu ya?”

Bahar mengangguk tersenyum. Senang sekali, kali ini selain bisa bersama Kartika Andini, juga dapat makan bersama. Seperti suami istri saja. Bahar membayangkan itu. Dan Sammy adalah tamu yang datang berkunjung ke rumah mereka.

“Ngapain kamu senyam-senyum gitu?” Sammy menghampiri Bahar. Bahar spontan memeluk Sammy sahabatnya itu.

“Makasih, Sam. Kalau nggak karena kamu, aku nggak akan kena tubruk durian begini. Makasih.” Bahar bersemangat.

“Aneh. Cinta memang gila. Orang ketubruk durian kepalanya bakal susah, kau malah senang.”

“Asal bisa bersama sang tuan putri Kartika, nggak apa deh! Ditubruk durian kepalaku sepuluh kali pun tak masalah.” Bahar tersenyum-senyum. Tak lama, Kartika muncul membawakan makan siang. Ada nasi dan sambal ikan di rantang itu.

“Maaf ya, tadi aku pikir aku akan makan sendiri. Jadi, nasinya cuma sedikit.”

“Nggak apa. Pokoknya bisa makan Kartika, kami juga membawa nasi dan lauknya kok!” Sammy segera ke mobil pick-up-nya dan membawakan bekal. Sammy memang hebat, dia mempersiapkan segala sesuatunya dengan matang. Ada nasi, sambal ayam, dan sayur. Lengkap sudah.

“Eit, tunggu dulu. Ini belum seru!” Kartika menyeringai. Kartika mengambil parang dan membelah durian yang ada di samping kakinya.

“Tunggu Kartika, Sammy saja yang melakukannya.”

“Ah! Tidak apa-apa. Aku juga bisa kok!” Kartika tersenyum. Wah, betapa manis senyumnya, hati Bahar dag dig dug tak karuan. Kartika memakan nasi dan duriannya dengan lahap.

“Kartika suka durian ya?”

Kartika mengangguk. Akhirnya Bahar punya ide cemerlang. Takdir telah mempertemukannya dengan Kartika Andini  gadis pujaan hatinya. Maka, Bahar tak menyia-nyiakan kesempatan. Selesai makan, diambilnya pulpen dan kertas yang adalah barang wajib bawa di tasnya.

Saat mereka hendak pulang dari kebun. Bahar memanggil Kartika saat hendak naik ke pick-up-nya. Dia ingin memberi tiga buah durian terbagus yang pernah dia temukan di kebun Sammy.

Aku memberi durian cinta ini untukmu. Semoga kau suka, Kartika Andini. Ini durian terbagus seperti cintaku padamu. Maukah kau jadi kekasihku?

Begitulah isi kertas yang ditaruh di tangkai durian itu. Sebuah pernyataan cinta yang sederhana. Namun kali ini, itu mampu membuat hati Kartika bergetar tak karuan.

* Padang Sidimpuan, Januari 2016

()

Baca Juga

Rekomendasi