Medan, (Analisa). Ketua FKW (Forum Keprihatinan Warga) HKBP Jumongkas Hutagaol mempertanyakan, pantas apa tidaknya Ephorus HKBP saat ini masih dipanggil dengan sebutan "ompui". Hal itu disampaikannya, Minggu (21/2), mengingat keberadaan pucuk pimpinan HKBP itu, menurutnya, sudah seperti ketua partai atau ormas, terutama dalam proses pemilihannya.
"Istilah 'ompui' dalam orang Batak ditujukan bagi seseorang yang tidak tercela dan benar-benar jadi panutan dalam segala hal. Lalu kalau dalam proses pemilihannya saja sudah seperti perebutan kekuasaan, apakah masih pantas digelari 'ompui'?" tanyanya.
"Kita saja berdoa kepada Tuhan dengan memanggil 'Bapa kami yang di surga'. Ephorus HKBP jadi lebih tinggi, dipanggil 'ompui'. Kalau kesakralan jabatan Ephorus HKBP itu masih seperti zamannya Pdt Dr IL Nommensen sampai eranya Ds GHM Siahaan, mungkin masih oke. Tapi sekarang?" sambung Jumongkas.
Menurut Jumongkas, saat ini warga HKBP sangat merindukan sosok-sosok Ephorus HKBP seperti Ds GHM Siahaan dan yang sebelumnya. "Saat itu jabatan Ephorus HKBP sangat sakral, apalagi didukung dengan proses pemilihan yang sangat jauh dari kesan mengejar kekuasaan. Nuansa pelayanan sangat terasa," katanya.
"Setelahnya, pemilihan Ephorus HKBP terkesan menjadi perebutan kekuasaan. Lalu berlanjut dengan adanya kubu-kubu ada setiap sinode. Sekarang malah ada distrik yang sudah main dukung-mendukung terhadap calon tertentu, pakai acara memberangkatkan lagi. Tidak beda dengan partai politik," sebutnya.
Dengan adanya dukung-mendukung dari distrik ini, maka jalan HKBP menuju perpecahan, bisa jadi terbuka. "Apa tujuan distrik mendukung calon tertentu? Lalu kalau calon dukungan itu kalah, bagaimana pula nanti distrik itu bersikap dalam manajemen HKBP? Bagaimana pula Ephorus HKBP terpilih itu menyikapi distrik, yang sebelumnya jelas-jelas mendukung lawannya dalam pencalonan?" papar Jumongkas.
“Paling mengkhwatirkan, pascasinode nanti, bagaimana pula nasib pendeta, khususnya para jemaat yang sudah digiring oknum-oknum haus kekuasaan untuk dukung-mendukung calon tertentu, tahu-tahu kalah pula? Apakah ini pernah dipikirkan? Atau memang tak mau tahu selain mengejar kekuasaan?" tandasnya.
Sebab, kata Jumongkas, saat ini pun, karena faktor dukung-mendukung tadi, jenjang karir pendeta pun bisa tidak lagi pada jalur sebenarnya. "Bahkan ada pula istilah ephorus bayangan yang bisa membatalkan SK penempatan pendeta. Lalu lihatlah ada berapa banyak gereja yang saat ini membangkang keputusan pusat soal perpindahan pendeta. Apakah pernah kita sadari bahwa ini karena Ephorus HKBP itu tidak lagi dianggap sakral? Sampai kapan seperti ini?" tanyanya.
Untuk itulah, kata Jumongkas, 10 tahun lalu dia sudah mengusulkan agar tidak ada pemilihan Ephorus HKBP seperti sistim yang sekarang ini. "Saya dulu mengusulkan, agar HKBP meniru apa yang dilakukan di Vatican dalam memilih Paus. Tidak ada pemilihan. Tapi mereka menyerahkan kepada Tuhan untuk menghunjuk siapa pemimpin mereka. Malah HKI yang akhirnya menggunakan cara itu, yakni dengan 'manjomput na tarsurat'," ungkapnya.
Jumongkas mengingatkan semua warga maupun para pendeta di HKBP, bahwa Ephorus HKBP itu merupakan 'wakil' Tuhan bagi warga HKBP. "Betapa anehnya, apabila kita merasa pantas mengajukan diri menjabat jabatan itu. Betapa anehnya kalau ada sekelompok orang terkesan memaksakan kehendak kepada Tuhan, dengan membuat acara pemberangkatan calon Ephorus HKBP," sebutnya. (sug/rel)