Harmoni Kehidupan Antar Etnik di Kota Sabang

Oleh: Drs. Indra Muda Hutasuhut, MAP.

Mendengar nama Sabang, mungkin yang mula-mula terbayang oleh kita adalah pesona wisata taman laut yang dihiasi terumbu karang nan indah, panorama alam yang eksotis, pesona sun set di berbagai belahan pantainya, dan mungkin juga tapal batas wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia di ufuk Barat yang berada di tugu/monument Kilometer Nol “0”. Hal ini tentu sangat wajar, karena Pulau Weh-Sabang memiliki berbagai pesona wisata tersebut yang tidak kita jumpai di daerah lain wilayah nusantara. Namun, ada satu hal yang terlupakan oleh publik tentang daerah yang dijuluki kota keramat 44 ini, yaitu kearifan lokal berupa kerukunan hidup antar etnik yang diwariskan secara turun temurun dari generasi terdahulu hingga generasi sekarang.

Menurut data Kantor Statistik Kota Sabang tahun 2014 bahwa, jumlah penduduk Kota Sabang lebih kurang 30.647 jiwa yang terdiri dari multi etnik antara lain ; Aceh, Jawa, Padang, Tapanuli, Manado, Tiongkok dan lain-lain. Dengan struktur etnik yang mendiami Kota Sabang tersebut, apabila dilihat dari sektor mata pencaharian penduduknya terdiri dari; Aparatur Negeri Sipil, TNI/Polri, pedagang, nelayan, tukang, petani dan lain-lain. Dengan pluralisme etnik ini, maka yang paling besar pengaruhnya adalah adat dan budaya Aceh. Pengaruh budaya Aceh sudah lama tertanam dalam kehidupan masyarakat Kota Sabang. Ini tak lain disebabkan mayoritas masyarakatnya adalah etnik Aceh dan beragama Islam. Sedangkan bahasa sehari-hari yang digunakan adalah bahasa Aceh dan bahasa Indonesia. Dalam wilayah perkotaan, Bahasa Indonesia merupakan bahasa pengantar yang paling lazim kita jumpai, sedangkan pada daerah-daerah pedalaman atau pedesaan bahasa pengantar yang paling umum digunakan adalah Bahasa Aceh.

Keberagaman Etnik yang Saling Menyapa

Meskipun struktur masyarakat Kota Sabang terdiri dari multi etnik dengan etnik Aceh sebagai etnik mayoritas dan agama Islam sebagai agama mayoritas, namun kerukunan hidup antar etnik senantiasa terpelihara dengan baik. Sepanjang sejarah Aceh, konflik antar etnik di Kota Sabang tidak pernah terjadi. Hal ini tentu sangat berbeda dengan beberapa daerah lainnya di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Ketika Aceh menyandang status Daerah Operasi Militer (DOM) dari tahun 1989-1998 yang memaksa beberapa etnik non Aceh melakukan eksodus ke daerah lain karena intimidasi terhadap etnik non Aceh, maka di Kota Sabang tidak terjadi hal yang demikian. Kehidupan antar etnik dan antar pemeluk agama tetap dapat hidup saling berdampingan.

Kerukunan hidup antar etnik dan antar pemeluk agama di pulau Weh-Sabang, mungkin berkaitan dengan sejarah panjang yang dilaluinya, yang mana jauh sebelum Indonesia merdeka, Sabang sudah terkenal sebagai jalur lalulintas maritim dunia dari barat ke timur dan sebaliknya yang ramai disinggahi kapal-kapal dalam dan luar negeri. Pada awal kemerdekaan, Kota Sabang-pun menjadi pusat pertahanan Angkatan Laut Republik Indonesia Serikat (RIS) dengan wewenang penuh dari pemerintah melalui Keputusan Menteri Pertahanan RIS Nomor 9/MP/50. Pada tahun 1965 dibentuk pemerintahan Kotapraja Sabang berdasarkan U.U. No.10/1965, dan dirintis gagasan untuk membuka Pelabuhan Bebas dan Kawasan Perdagangan Bebas. Gagasan itu kemudian diwujudkan dengan ditetapkankannya U.U. No 3/1970, tentang Perdagangan Bebas Sabang dan U.U. No.4/1970 tentang penetapan Sabang Daerah Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas.

Semasa menyandang status Pelabuhan Bebas dan Kawasan Perdagangan Bebas, Kota Sabang ramai dengan hiruk-pikuk perdagangan dengan pelaku-pelaku ekonominya yang terkenal dengan nama “jangek”. Kemudian terpuruk kembali ketika secara resmi ditutup sebagai Pelabuhan Bebas pada tahun 1985. Kemudian, pada tahun 1993 dibentuk kerjasama ekonomi regional yaitu; Indonesia-Malaysia-Thailand Growth Triangle (IMT-GT) yang membuat posisi pulau ini sangat strategis dalam pengembangan ekonomi di kawasan Asia Selatan. Pada tahun 1998, Kota Sabang dan kecamatan Pulo Aceh di Kabupaten Aceh Besar dijadikan sebagai Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) yang diresmikan Presiden B.J.Habibie dengan Keppes No. 171 tanggal 28 September 1998.

Era baru Kota Sabang, terjadi pada tahun 2000 ketika dicanangkan menjadi Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas oleh Presiden K.H. Abdurrahman Wahid di Sabang yang ditandai dengan terbitnya Inpres No. 2 Tahun 2000 tanggal 22 Januari 2000. Keluarnya Peraturan Pemerintah pengganti U.U. No. 2 tahun 2000 tanggal 1 September 2000 yang selanjutnya disahkan menjadi U.U. No. 37 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang, maka aktivitas Pelabuhan Bebas dan Perdagangan Bebas Sabang tahun 2002 mulai berdenyut kembali, yang ditandai masuknya barang-barang dari luar negeri. Namun, pada tahun 2004, aktivitas ini terhenti karena seluruh Aceh ditetapkan sebagai Daerah Darurat Militer.

Dengan sederet pengalaman sejarah yang dilalui Kota Sabang tersebut, banyak berpengaruh terhadap pola pikir masyarakatnya. Mereka sudah terbiasa berinteraksi dengan etnik non Aceh, dapat memahami perbedaan etnik, agama dan suku yang berbeda. Sehingga sangat lumrah dijumpai interaksi masyarakat dari latar belakang etnik dan pemeluk agama yang berbeda. Duduk bersama di tempat keramaian, bercanda ria pada warung kopi baik pada pagi hari, sore hari maupun pada malam hari. Mereka larut dalam canda dan terkesan saling mengenal antara warga yang satu dengan warga yang lainnya. Kebiasaan yang terajut di daerah ini bahwa, pengendara yang melintas di depan jalan Warkop yang merupakan tempat pavorit masyarakat ngumpul, senantiasa saling bergantian bertegur sapa sambil mengangkat tangan sebagai simbol persahabatan warga Sabang. Sekali-kali, mereka terdengar memanggil nama atau julukan warga yang melintas tersebut sambil menyampaikan canda, meski berasal dari etnik dan pemeluk agama yang berbeda.

Sepanjang pengamatan penulis, di Kota Sabang terdapat 2 buah bangunan gereja dalam bentuk permanen sebagai tempat ibadah agama Kristen dan 1 buah Vihara tempat ibadah agama Budha yang terletak di pusat kota dan berada di sekitar gedung-gedung perkantoran Pemko Sabang. Tempat ibadah non muslim ini tidak pernah mendapat ancaman atau intimidasi dari pemeluk agama Islam dan etnik Aceh sebagai etnik dan agama mayoritas. Demikian juga dalam menjalankan ibadah agamanya, pemeluk agama Kristen dan agama Budha tidak pernah mendapat intimidasi dari pemeluk agama Islam.

Penutup

Harmonisasi antar etnik dan antar pemeluk agama yang dirajut masyarakat Kota Sabang adalah suatu rahmat bagi bangsa Indonesia yang tidak dimiliki daerah lain. Oleh karenanya, Rahmat dan anugrah ini supaya menjadi contoh bagi daerah lain di Indonesia, terutama bagi daerah yang sering mengalami konflik berlatar belakang SARA (suku, agama, ras dan antar golongan), Amin….!

Penulis adalah Dosen FISIPOL-UMA.

()

Baca Juga

Rekomendasi