Menantang si Kepala Batu

Oleh: Saurma.

Seringkali tanpa disadari kita menghadapi orang yang bersikap kepala batu. Kekerasannya membuat kita terkadang kesal, marah hingga menjadi apatis. Terutama jika yang ingin kita lakukan terhadapnya adalah hal kebaikan buat dirinya sendiri pula, dan ditolak tanpa alasan yang jelas. Lalu bagaimana?

Ada beberapa kemungkinan sikap yang akan diambil oleh orang yang tengah menghadapi orang yang kepala batu. Mulai dari sikap putus asa, sikap sabar, hingga sikap yang bijaksana. Secara spontan kita akan memilih salah satu dari sikap tersebut untuk menghadapinya.

Seperti ketika seseorang  begitu ngototnya menyatakan keinginan kerasnya untuk menikahi seseorang yang menurut orangtuanya jelas-jelas tidak layak untuk anaknya. Sebanyak apapun penjelasan orangtuanya tentang ketidakcocokan mereka, tetap saja mendapat penolakan dari si anak. 

Hal yang sama bisa terjadi pada situasi seseorang yang memaksakan diri untuk memiliki sesuatu melalui cara kredit, sementara orangtua atau pasangannya menganggap dirinya belum mampu untuk itu dan nantinya akan kesulitan. Tetapi karena ia begitu ngototnya maka ia tetap saja memaksakan diri untuk itu.  

Demikian pula terjadi pada orang yang ingin melakukan suatu program atau proyek hanya berdasarkan pertimbangan seadanya. Sebagai contoh, seseorang yang ingin membangun gedung namun hanya mengandalkan sahabatnya yang kemampuannya terbatas untuk itu. Rekan-rekannya sudah menegur namun ia ngotot untuk tetap melakukan proyek bangunan itu hanya dengan bantuan sang sahabat.

Demikianlah, banyak orang yang tanpa sadar sudah bersikap seperti kepala batu, yang tidak mau mendengar nasehat apalagi kritikan, bahkan dari orang yang menyayanginya. Semakin dibicarakan, ia bukannya menyimak tetapi malah sanggup meninggalkan orang yang berusaha memberi masukan dan pertimbangan terbaik baginya sebelum memutuskan sesuatu yang sifatnya prinsipil.

Tiga Sikap

Pada orang yang mudah putus asa maka dengan serta merta ia akan menyerah dan menganggap yang penting ia sudah menyampaikan hal yang baik. Sehingga, ketika beberapa kali menyampaikan pendapat dan pertimbangan pada orang yang diperhatikan itu dan ia tetap saja tidak mau mendengarkan dan justru tetap saja melakukan apa yang menurutnya benar, ia membiarkan begitu saja sikap orang yang kepala batu tadi. 

Baginya sesuatu yang terbaik sudah dilakukannya beberapa kali untuk menyadarkan seseorang yang patut diberinya perhatian. Jadi, jika hal itu tidak diterima dan tidak dihargai oleh orang tersebut maka ia akan mempersilahkan saja orang tersebut melakukan apa yang baik menurut pikirannya sendiri.

Berbeda dengan orang yang sabar. Ia akan mengulang dan mengulang lagi semua pertimbangan yang patut disampaikannya pada seseorang yang disayanginya itu. Meski ditolak beberapa kali, yang bisa saja dengan pernyataan keras dan mungkin dianggap kurang patut, namun ia terus berupaya mengingatkan orang tersebut agar kekerasan kepalanya berkurang.

Ia mencoba dan mencoba terus untuk dapat benar-benar menyadarkan seseorang tersebut atas kekerasan hatinya. Sikap sabar membuat orang ini mampu bertahan lama sebelum akhirnya tiba saat antiklimaks di mana dirinya pun akhirnya menyerah kepada si kepala batu. Pada akhirnya ia merasa sudah selesai dengan upaya penyadaran dan membiarkan apapun yang terjadi, terjadilah.

Lain lagi dengan orang yang bersikap apatis. Sejak awal ia dengan tegas sudah mengatakan pendapatnya bahwa pertimbangan orang yang dikasihinya itu kurang tepat, namun karena tidak didengarkan dan dilihatnya sikap orang tersebut juga acuh tak acuh dengan pendapatnya, ia pun bersikap sama. 

Hal ini karena menurut pikirannya percuma saja untuk mengulang dan mengulang lagi pertimbangan yang pasti tidak akan didengar. Sehingga, meskipun tahu akibat dari tidak mendengarkan pendapatnya itu akan kurang atau tidak baik, ia tidak mau ambil pusing. Ia merasa tidak mau melakukan hal yang sia-sia sehingga dari awal saja sudah menyerah dan tidak mau menyatakan apapun lagi tentang hal yang sudah dikatakannya.

Menantang

Semua sikap itu sah-sah saja. Setiap orang memiliki batas kesabaran untuk menghadapi orang yang bersifat kepala batu. Ada yang singkat, ada yang sanggup bertahan beberapa waktu, ada pula yang bertahan cukup lama. Namun pada akhirnya, ketika semua tidak didengarkan maka yang ada adalah pembiaran.

Sifat kepala batu seseorang bagi kita yang mengasihinya sepatutnya diperlakukan dengan penuh kesabaran meski terkadang mengesalkan bahkan menyakitkan. Tidak semua orang sanggup ditolak berulang kali tetapi akan kembali datang. Apalagi jika hal itu sifatnya pribadi sekali, semisal memilih jodoh, memiliki sesuatu yang diimpikan.

Kita harus siap menantang si kepala batu untuk siap menghadapi ‘serangan’ kita berupa alasan dan fakta-fakta yang pada akhirnya akan membuatnya menyerah. Kita juga harus siap dengan berbagai konsekuensi dalam menantangnya. Karena memang bisa saja kemudian kita menjadi objek sasarannya untuk menyesali kita kemudian. Khususnya ketika ia mendengarkan pertimbangan kita lalu beberapa waktu ke depan ia belum juga menemukan jodoh yang diharapkan atau barang yang diinginkan setelah melewatkan kesempatan tersebut.

Oleh sebab itu, maka kita juga harus menyampaikan pertimbangan yang hati-hati dan kita yakini sudah benar-benar yang terbaik. Sehingga, ketika akhirnya suara kita didengarkan maka kita dan orang tersebut juga benar-benar yakin serta bersyukur sudah membuat keputusan yang terbaik. 

Mengalahkan si kepala batu memang harus dengan kekuatan lebih dari batu. Sehingga, hanya kesabaran yang luar biasalah yang akan mampu melelehkan hati si kepala batu.

()

Baca Juga

Rekomendasi