Oleh: dr. Zulham, M.Biomed.
Banyak orang yang hidupnya kurang beruntung, di antara mereka adalah penderita tuna rungu. Survei Sosial Ekonomi Nasional mendefinisikan tuna rungu sebagai keadaan apabila kedua telinga tidak dapat mendengar suara atau perkataan yang disampaikan pada jarak 1 meter tanpa alat bantu dengar.
WHO memperkirakan, tahun 1998 terdapat 0,1-0,2% bayi lahir dalam keadaan tuli. Depkes RI tahun 2000 menyebutkan sekitar 5.200 bayi lahir tuli setiap tahun di Indonesia. Angka-angka ini belum termasuk jumlah mereka yang mengalami gangguan pendengaran karena infeksi, tumor, dan berbagai sebab lainnya.
Ada pandangan, orang-orang tuna rungu lebih rendah dibanding orang normal. Penderita tuna rungu dipersepsikan akan mengalami gangguan perkembangan kognitif, psikologi, dan sosial sebagai akibat dari gangguan komunikasi. Dipersepsikan pula bahwa penderita tuna rungu mempunyai kualitas rendah dalam berbahasa dan prestasi sekolah, tidak mampu bersosialisasi, dan berperilaku emosionil dengan menunjukkan cepat marah dan stress.
Bahkan yang menyedihkan, penderita tuna rungu digolongkan kepada manusia dengan kualitas rendah dan hanyak berhak untuk memperoleh kesempatan kerja dengan kualitas rendah pula. Sebenarnya, ini adalah kesalahpahaman yang umum dari banyak orang awam normal (tanpa gangguan pendengaran) bahwa tuli berhubungan dengan kurangnya kecerdasan.
Tidak hanya orang awam, ada kalangan profesional pula yang menganggap hal yang sama. Selama ini penilaian kecerdasan dilakukan dengan penilaian IQ. Padahal dalam penilaian IQ penderita tuna rungu terdapat kemungkinan bias yang dihasilkan dari metode pengujian yang tidak benar, persampelan peserta penelitian, bahkan tingkat pengalaman penguji (evaluator) sendiri.
Populasi tuna rungu adalah satu populasi yang heterogen sebagaimana populasi orang dengan pendengaran normal. Mereka terdiri atas orang-orang dengan kecerdasan melebihi orang normal, normal, dan mungkin kurang. Mereka yang tuna rungu hanya mengalami kekurangan dalam pendengaran dan selanjutnya gangguan dalam komunikasi dan perkembangan bahasa. Berbagai penyebab gangguan pendengaran yang berbeda-beda telah mempengaruhi kemampuan pemikiran (kognisi) dan berbagai karakteristik psikologis lainnya.
Penyebab Gangguan Pendengaran Anak
Gangguan pendengaran dapat disebabkan berbagai hal, yakni infeksi, benda asing, cerumen (kotoran telinga yang mengeras), tumor, dan lain-lain. Gangguan pendengaran dapat dibagi atas tiga jenis:
1. Gangguan pendengaran konduktif, disebabkan masalah dengan saluran telinga, gendang telinga, atau telinga tengah dan tulang-tulang kecil pendengaran (maleus, inkus, dan stapes).
2. Gangguan pendengaran saraf, disebakan masalah-masalah pada telinga bagian dalam (saraf pendengaran).
3. Gangguan pendengaran campuran, satu kombinasi gangguan pendengaran konduktif dan saraf. Kerusakan mungkin terjadi di telinga bagian luar atau tengah dan di telinga bagian dalam (koklea) atau saraf pendengaran.
Infeksi dapat menyebabkan gangguan pendengaran anak. Infeksi dapat saja menyerang telinga bagian luar, telinga bagian tengah, dan telinga bagian dalam bahkan tempat-tempat lain tubuh. Infeksi dalam saluran pendengaran yang cukup besar dapat menyebabkan pembengkakan bagian dalam saluran pendengaran dan menimbulkan gangguan pendengaran konduktif yang apabila diterapi dengan baik dapat segera pulih. Infeksi telinga tengah dan rubella lebih sering didapati dan lebih berbahaya dalam menyebabkan gangguan pendengaran anak. Berbagai infeksi yang menyerang otak seperti meningitis dapat juga menimbulkan gangguan pendengaran dan mempengaruhi kecerdasan.
Infeksi Telinga Tengah
Infeksi telinga tengah menimbulkan peradangan. Infeksi ini sangat sering terjadi pada anak-anak. Bakteri atau virus sering menjadi penyebab infeksi. Anak-anak dengan riwayat alergi, sering terpapar asap termasuk asap rokok, dan banyak berhubungan dengan penitipan anak akan sering mengalami infeksi telinga tengah.
Anak-anak yang menderita infeksi telinga tengah akan mengeluhkan nyeri telinga dan keluar cairan dari telinga. Anak juga akan mengalami sakit kepala, cengeng, muntah, hilang selera makan, menceret, dan gangguan pendengaran. Dapat terjadi tanda-tanda peradangan pada gendang telinga, menumpuknya nanah dalam telinga tengah, hingga terjadinya perlubangan pada gendang telinga.
Gangguan pendengaran pada infeksi telinga tengah dikaitkan dengan gangguan konduksi suara. Suara tidak dapat dihantarkan ke telinga bagian dalam karena kerusakan gendang telinga, tulang-tulang pendengaran, dan adanya nanah dalam telinga tengah.
Rubella
Infeksi rubella disebabkan virus rubella. Virus rubella mudah dibunuh dengan pemanasan dan sinar ultraviolet. Infeksi rubella dikelompokkan ke dalam dua kategori yaitu infeksi pasca lahir dan infeksi kongenital. Dalam infeksi rubella pasca lahir, virus rubella memasuki tubuh melalui saluran pernafasan atas dan menyebar di seluruh saluran kelenjar getah bening. Infeksi rubella pasca lahir mempunyai gejala-gejala yang ringan dan berlangsung selama 2-3 hari.
Infeksi rubella kongenital terjadi ketika seorang wanita hamil terinfeksi virus rubella. Virus rubella dibagikan kepada janin yang dikandungnya melalui aliran darah uri-uri (plasenta). Ketika seorang ibu terinfeksi virus rubella, bayi berisiko tinggi untuk lahir dengan kecacatan seperti gangguan pendengaran, katarak, penyakit jantung, otak yang kecil (microcephaly), peradangan paru, keterbelakangan mental, dan kerusakan hati, limpa, dan tulang. Ada setidaknya kesempatan 15-30% dari kerusakan pada janin (sindroma rubella kongenital) jika seorang wanita terinfeksi di tiga bulan pertama kehamilan. Insidens sindroma rubella kongenital menurun jika infeksi terjadi setelah tiga bulan pertama kehamilan.
Pencegahan terhadap kemungkinan kerugian-kerugian akibat infeksi rubella sudah tersedia dengan adanya vaksin Measles, Mumps dan Rubella (MMR). Pada pertengahan abad 20, lebih dari 20.000 bayi lahir dengan sindrom rubella kongenital selama wabah rubella. Setelah vaksin rubella hidup yang dilemahkan pertama kali berlisensi pada tahun 1969, frekuensi kasus rubella menurun secara signifikan. Ada banyak lokasi lain, termasuk Indonesia, di mana infeksi rubella masih umum didapati karena lokasi-lokasi ini tidak memiliki akses kepada imunisasi rubella atau karena penolakan para orangtua kepada vaksinasi.
Vaksin rubella direkomendasikan sebagai bagian dari vaksin MMR yang melindungi balita terhadap campak, gondok, dan rubella. Vaksin ini dianjurkan untuk bayi pada 12 - 15 bulan (namun tidak diberikan kepada bayi dengan usia yang lebih muda) dan dosis kedua pada usia 4 sampai 6 tahun (sebelum TK atau kelas 1). Balita yang mendapatkan vaksinasi pada usia 12 bulan atau lebih mengembangkan kekebalan jangka panjang dengan hanya vaksinasi tunggal. Oleh karena itu, vaksin MMR sangat efektif. Adalah sangat penting agar semua bayi mendapatkan vaksin ini terutama anak perempuan untuk mencegah infeksi rubella dan resiko sindrom rubella bawaan selama ketika, kelak, ia hamil.
Peran Masyarakat untuk Pengembangan Potensi Anak Tuna Rungu
Sampai saat ini penanganan dan kesempatan bagi penderita tuna rungu belum maksimal. Diagnosis dini gangguan pendengaran belum menjadi program dasar kesehatan sehingga upaya-upaya terapi segera bagi anak tuna rungu dengan teknologi kedokteran mutakhir belum dapat dilakukan. Skrining pendengaran dapat dilakukan sebelum bayi meninggalkan rumah sakit atau selambat-lambatnya sebelum bayi mencapai usia 3 bulan. Upaya skrining hanya dapat dilakukan bagi mereka yang dekat dengan akses rumah sakit. Oleh karena itu, orangtua bayi perlu mendapatkan edukasi mengenai gangguan pendengaran bawaan maupun pasca lahir. Edukasi kepada orang tua oleh tenaga kesehatan dan masyarakat yang peduli masih perlu diperkuat.
Pendidikan bagi anak-anak penderita tuna rungu juga masih dibatasi di sekolah tertentu padahal di sisi lain kita menyadari pentingnya mengembangkan potensi seluruh anak. Potensi penolakan untuk mendidik anak tuna rungu belum dapat dihilangkan meskipun, pada hakikatnya, tidak ada masalah dengan kecerdasan penderita tuna rungu.
Kelompok tuna rungu adalah kelompok yang terganggu dalam perkembangan bahasa karena keterbatasan pendengaran sementara test IQ, test untuk menilai fungsi kognitif, tidak memiliki dengan tingkat gangguan pendengaran. Begitu pula tidak ada hubungan antara usia mulai tuna rungu dan nilai IQ. Dengan teknologi yang ada sekarang, keterbatasan pendengaran sudah dapat dikurangi. Oleh karena itu, penderita tuna rungu dapat mempunyai nilai test IQ yang sama baiknya seperti mereka yang normal.
Gagasan untuk menerima anak berkebutuhan khusus untuk bisa menempuh pendidikan di sekolah umum sudah dideklarasikan tahun 2015 dan akan segera diwujudkan. Sekolah umum akan menjadi tempat pendidikan yang inklusif, lebih terbuka, ramah anak, dan tidak diskriminatif. Pendidikan inklusif merupakan sistem pelayanan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada anak berkebutuhan khusus untuk dapat belajar di sekolah-sekolah biasa, di kelas biasa, bersama teman-teman seusianya. Sekolah inklusif mengakomodasi semua kebutuhan sesuai kondisi masing-masing anak dengan dukungan, pelayanan, dan bantuan tambahan yang penting bagi anak berkebutuhan khusus. Di masa datang diharapkan anak berkebutuhan khusus seperti tuna rungu dapat diterima dan belajar di sekolah umum.