BEBERAPA tahun lalu, saya masih bisa membaca kisah kedahsyatan letusan Gunung Krakatau yang legendaris terjadi pada tahun 1883 pada prasasti yang terukir di Monumen Krakatau, Taman Dipangga Telukbetung, Lampung.
Menurut sepenggal catatan yang ada letusannya yang dimulai sejak bulan Mei dan mencapai klimaknya tanggal 26 dan 27 Agustus 1883. Letusan Gunung Krakatau yang melegenda itu berlangsung selama 19 jam non stop. Muntahannya terlempar setinggi 40 – 90 km ke udara. Akibat letusannya tiga perempat bagian badan gunung musnah dan mengakibatkan hujan debu dan batu halus menerpa daerah sekira 300.000 km persegi dalam radius 150 km persegi.
Sedangkan suara letusan terdengar hingga Philipina, Elice Spring, Pulau Roadriques, Srilanka, Melbourne, dan Madagaskar. Dengan kekuatan ledakan yang sangat fantastis setara dengan 21.547 bom atom yang menghancurkan Nagasaki dan Hirosima.
Akibat dari letusan menimbulkan gelombang (Tsunami) setinggi 40 meter dengan kecepatan 500 km/jam, menyapu perkotaan dan perkampungan yang terletak hingga 10 km dan pantai di Banten dan Teluk Lampung. Korban harta benda tak jelas tercatat jumlahnya. Sedangkan korban manusia yang tercatat sekitar 36.000 jiwa. Padahal penduduk waktu itu tidak sepadat sekarang ini.
Monumen
Bukti kedahsyatan lainnya yaitu terlemparnya kapal Uap Berau yang sedang bersandar di pelabuhan Telukbetung sejauh 2,5 km dari pantai. Kapal ini terdampar di way Belau, dekat kawasan wisata Sumur Putri di Kelurahan Kuripan, Kecamatan Teluk Betung Barat.
Namun, sayangnya kapal yang punya nilai sejarah ini habis tak bersisa karena dijarah masyarakat dijual jadi besi kiloan. Semestinya pemerintah provinsi Lampung yang kini secara admistratif menjadi penguasa Gunung Krakatau harus memelihara asset bersejarah yang berkaitan dengan Krakatau.
Paling tidak pemerintah provinsi Lampung yang kini menjadikan Krakatau sebagai destinasi utama pariwisata Lampung. Bahkan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Lampung setiap tahunnya menggelar event Festival Krakatau. Paling tidak membangun replikanya untuk menyambung buhul sejarah agar kisahnya tak terputus.
Bukti, lainnya dapat disaksikan dari sisa kedahsyatan sebuah pelampung/Buoi yang terhempas jauh di Kota Teluk Betung kini dijadikan monumen atau tetenger. Monumen Krakatau yang terletak di Taman Dipangga dan berlokasi dipertigaan jalan WR Supratman – Wolter Mongonsidi depan Kantor Polda Lampung, Telukbetung ini juga merupakan monument nol kilometer Lampung. Dari kawasan inilah titik nol kilometer untuk penghitungan jarak antar kota di provinsi Lampung berawal.
Sayangnya, monumen bersejarah ini tak terawat dan jadi korban vandalisme. Monumen ini jadi korban corat-coret orang-orang tak bertanggungjawab Bahkan prasasti berupa marmer yang mengisahkan tentang sejarah letusan Krakatau juga hilang entah kemana? Taman Dipangga ruang publik yang semestinya dijaga bersama ditelantarkan begitu saja. Riwajatmu kini, memprihatinkan.
(Christian Heru Cahyo Saputro)