Bagaimana Orang Batak Membaca Mangalua?

Oleh: Jones Gultom

MESKI digarap secara pop, namun Mangalua tidak bisa dibaca sekali duduk. Selain banyak peristilahan, konflik demi konflik juga saling berkaitan. Terkadang muncul secara laten dalam bab-bab sebelumnya.

Karenanya membaca novel karya Idris Pasaribu ini memerlukan waktu dan suasana khusus. Demikianlah, novel antropologis semacam ini, mempunyai kesulitan tersendiri. Dibutuhkan refrensi sejarah serta pengetahuan budaya. Karenanya, novel ini menjadi menarik dari sekedar karya sastra. 

Bagaimana dengan Mangalua? Bagaimana Orang Batak Toba membaca novel yang baru saja dilaunching ini? Saya tidak mau tergiring dalam perdebatan sejarah, apalagi jika dituliskan dalam bentuk novel.

Bagi saya sejarah dibangun atas banyak perspektif. Perspektif mana yang menjadi fokus adalah sesuai kepentingan penulisnya. Di sisi lain, sejarah bukan hanya sesuatu yang kasat mata. Sejarah juga bagaimana suasana batin yang dirasakan orang secara personal. Karena itu perdebatan apakah Mangalua (juga novel-novel Idris Pasaribu lainnya) adalah novel sejarah, bagi saya tidak menjadi penting.

Sebagai pembaca saya merasa suasana batin inilah yang ingin diungkapkan Idris. Seperti kebanyakan sastrawan lainnya, Idris meramu pengetahuan, pengalaman serta idealisme ke dalam novelnya. Alhasil novel ini tak secair karya sastra meski juga tak sepadat jurnal sejarah.

Saya justru menikmati novel ini di bab-bab terakhir. Pada bagian itu cerita diserahkan kepada konflik. Ini adalah salah satu ciri khas karya Idris Pasaribu, baik novel maupun cerpennya. Ironisme yang berakhir tragis biasa kita temui dalam karyanya.

Seperti kita tahu, Mangalua adalah sebuah ungkapan dalam etnografi Batak Toba. Mangalua berarti kawin lari. Adalah sebuah fenomena yang sudah sejak lama terjadi dalam masyarakat Batak Toba. Mangalua menjadi solusi ketika ada halangan atas rencana perkawinan. Pada awalnya mangalua dilarang keras dalam masyarakat Batak Toba. Hal itu sangat dipantangkan.

Bukan karena proses perkawinannya, tetapi karena biasanya muda-mudi itu telah melanggar aturan. Misalnya menikahi saudara/i nya sendiri atau masih terbilang marga yang sama.

Ada juga karena marpadan (terikat sumpah) dan selebihnya perbedaan status sosial. Karena itu sanksi yang dikenakan pun cukup keras. Paling sedikit dikucilkan dari masyarakat. Lagipula otomatis posisi mereka di dalam adat (Dalihan na Tolu) menjadi rancu. Pada akhirnya membuat mereka rendah diri. Mangalua bukan akhir dari segalanya. Jika mereka kelak melunasi “utangnya” itu, keduanya akan dapat diterima seperti masyarakat lainnya.

Seiring waktu, mangalua tidak seketat di masa lalu. Justru kini dijadikan celah bagi pihak laki-laki yang lamarannya ditolak pihak perempuan. Bahkan tak sedikit orangtua sekarang menyarankan agar si anak mangaluahon (membawa lari) si perempuan. Masalah “utang” adat dan denda, bisa dibayar kemudian.

Termasuk pilihan itulah yang dipakai Jogal, putra Mangaraja Parhujinjang dalam novel Mangalua. Lebih dari setengah novel ini berkisah tentang cinta dan idealisme Jogal.

Menarik, apa yang dilakukan Jogal, tidak mengundang amarah yang berarti dari sang ayah. Padahal perempuan yang dibawa lari adalah putri seorang raja yang merupakan musuh bebuyutannya, Raja Tumpak so Haribuan dari Huta  Bariba. Beruntung Jogal adalah putra seorang raja. Tak berapa lama ketika dia mangaluahon calon istrinya itu, keluarganya langsung dengan segera membayar “utang” adat berikut dendanya itu. 

Bab ini secara sangat menarik dari sisi psikoantropologis. Dijelaskannya bagaimana prosesi membayar “utang” adat dan denda itu dalam budaya Batak Toba. Kesan psikologis masing-masing tokoh pun coba digambarkan.

Seperti dalam cerita novel ini, bahwa Mangajaraja Parhujinjang dan Raja Tumpak so Haribuan adalah dua raja yang bermusuhan sejak lama. Tiga generasi. Ketika Jogal sah menjadi menantu Raja Tumpak so Haribuan, posisinya dan keluarganya, menjadi boru bagi keluarga Raja Tumpak so Haribuan.

Mangaraja Parhujinjang adalah sosok raja berwibawa dan ditakuti termasuk oleh Raja Tumpak so Haribuan. Dalam arti, kini posisi Mangaraja Parhunjinjang mestinya tidak “segarang” ketika berhadapan Raja Tumpak so Haribuan. Mangaraja Parhujinjang mesti meredam dayanya. Bagaimanapun sejak itu dia adalah boru di keluarga Raja Tumpak so Haribuan. Dia harus hormat kepadanya hula-hulanya, seperti yang berlaku dalam Dalihan Natolu.

Si Kuda Hitam

Agaknya bukan nilai-nilai itu yang menjadi sasaran penulis. Penulis novel ini lebih menyoroti intrik politik Si Bontar Mata (si mata putih) untuk menyebut Belanda. Serta keterkaitan misioner/Jerman dalam konstelasi masyarakat Batak Toba di akhir abad 18.

Bagaimana Mangaraja Parhujinjang menghadapi pengaruh Belanda yang memanfaatkan misioner Kristen demi memuluskan kepentingannya. Dengan politik adu dombanya, Belanda memprovokasi kelompok-kelompok masyarakat agar saling berperang, sehingga mereka tidak punya kekuatan besar. Khususnya pasca kematian SM Raja XII.

Keberhasilan misioner, datang dengan agama baru di Tanah Batak. Menjadi pintu masuk Belanda untuk leluasa memporak-porandakan masyarakat Batak Toba yang dikenal solid, kuat dan berani. Terkadang misioner ini tak sadar telah menjadi tumbal.  Sementara raja-raja huta yang mulai terancam karena kehilangan pengaruh, telah kehabisan akal.

Mereka sering tak berdaya menghadapi para misioner yang membawa pendidikan dan kemajuan zaman di dalam agama yang dibawanya. Terkadang mereka menyerang para misioner ini secara frontal.

Sebaliknya ada juga misioner yang berlindung kepada Belanda. Mereka ini boleh dibilang perpanjangan kolonial. Mereka adalah spionase-spionase Belanda. Tugas mereka adalah meluruhkan pengaruh seorang raja melalui ajaran agama yang dibawanya.

Jika ada raja yang memiliki pengaruh kuat, seperti Mangaraja Parhujinjang di novel ini, Belanda pun memainkan cara lain. Ditambah lagi Mangaraja Parhujinjang juga tidak mau membayar upeti kepada Belanda.

Untuk menghancurkan Mangaraja Parhujinjang secara tak langsung, Belanda memprovokasi Raja Tumpak so Haribuan yang pernah menjadi musuhnya. Dengan membantu memuluskan aksi Raja Tumpak so Haribuan mencuri kembali putri mereka. Persekutuan itu tercium karena tak berapa lama sebelum Mangaraja Parhujinjang mangkat, Belanda mengangkat Raja Tumpak so Haribuan menjadi Kepala Nagari. Secara administratif lebih tinggi kekuasaannya dibanding Raja Huta.

Kemarahan Jogal berlanjut dengan aksi mencuri kembali istrinya itu. Dia bukan lagi menghadapi Raja Tumpak so Haribuan yang juga telah mati dibunuh oleh pengikut Mangaraja Parhujinjang.

Tewasnya Raja Tumpak so Haribuan menyulut kemarahan masyarakat Huta Bariba yang bersekutu dengan Belanda. Akhirnya kedua kampung itu kembali berperang.

Ketika masing-masing lengah, Belanda langsung ambil peran. Jogal ditahan. Ketika Jepang masuk ke Tanah Air, Jogal dilepaskan dan kembali ke kampung halamannya. Di sana praktis tak ada lagi yang mengenalnya. Masyarakat sudah berubah.

Mereka sudah memeluk Kristen. Jogal kehilangan semuanya dan kemudian mati tanpa penguburan yang berarti. Begitulah novel ini berakhir.

Pertanyaannya bagaimana Orang Batak Toba membaca novel Mangalua ini? Bagian  manakah disebut sejarah?

Apakah sebuah peristiwa atau peristiwa yang terjadi di balik peristiwa itu sendiri?

()

Baca Juga

Rekomendasi