Masyarakat Banal dan Televisi

Oleh: Deny H. Muhammad

Pemberitaan LGBT belakangan ini semakin menguak ke khalayak sehingga menyembulkan kontroversi di berbagai kalangan baik masyarakat awam ataupun sebagian tokoh yang dianggap cerdik cendekia oleh publik dengan tanggapan yang berbeda. Di antara kelompok ini terpolarisasi ke dalam kelompok yang tidak setuju dengan alasan LGBT bisa merusak tatanan moral bangsa. Karena itu kelompok ini mengusulkan agar kaum LGBT diberikan konseling untuk menyembuhkan “penyakit” penyimpangan seksual ini. Dan kelompok satunya menilai LGBT harus dilindungi berdasarkan adagium Hak Asasi Manusia (HAM) meskipun kelompok ini mengaku anti-LGBT. 

Kisruh ini semakin terang benderang ketika salah seorang penyanyi dangdut populer tersandung kasus pelecehan (homo) seksual beberapa waktu lalu. Banyak publik yang tidak percaya dengan pemberitaan ini tapi ketidakpercayaan ini semakin luntur ketika si penyanyi ini membetulkan tuduhan si korban. Bahkan ketidakpercayaan publik semakin terhapus lagi ketika bermunculan beberapa orang  yang melapor ke kepolisian dengan mengaku korban pelecehan (homo) seksual dari si penyayi tersebut. Karena itu kasus ini mendapat respon sengit dari Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). KPI sebagai lembaga otoritatif terkait penyiaran media (audio) visual yang didukung oleh KPAI membuat surat edaran keputusan untuk melarang televisi menampilkan artis/host pria yang bertingkah melambai dan kemayu seperti perempuan. Terlepas pro dan kontra terkait surat edaran KPI itu tulisan pendek ini tidak hendak mengusik surat edaran tersebut tetapi sangat berkaitan dengan maklumat tersebut.

Tulisan ini ingin menanyakan lebih lanjut mengapa KPI tidak melihat lebih jauh acara-acara televisi yang tayang beberapa tahun terakhir ini yang menurut penulis perlu butuh perhatian ekstra dari KPI. Artinya KPI seolah luput dari tayangan televisi sekarang ini yang justru membuat masyarakat tampak gundah gulana. Kendati KPI selalu mengaku terus menegur dari tayangan-tayangan yang kurang pantas dipertontonkan, acara-acara tersebut tetap  manteng di televisi.

Problem

Meminjam pemikiran penteori posmodernis bahwa di zaman ini tayangan televisi sudah dijadikan sebagai representasi dari kehidupan sehari-hari melalui efek dramaturgisnya. Kasus ini menurut para penteori post modernisme, posmodern merujuk pada bentuk-bentuk baru kapitalisme mutakhir yang melahirkan kebudayaan baru, melahirkan bentuk-bentuk baru komunikasi dan representasi ke dalam sistem ekonomi dan kebudayaan dunia. Maka tidak heran ketika menyaksikan dengan kasat mata beberapa dari masyarakat kita yang meniru berikut sikap, aksi, dan gaya hidup sehari-hari dari para pemeran yang tampil di televisi. Pada akhirnya tayangan televisi itu mempengaruhi cara berpikir masyarakat kita. kondisi ini yang kemudian melahirkan masyarakat banal di mana logika berpikir kita terjatuh pada situasi kedangkalan dan jauh dari kedalaman berpikir. 

Tayangan televisi tidak menjadi soal ketika menampilkan acara yang bisa mengubah cara berpikir masyarakat kita ke arah yang lebih baik. Maksud berpikir ke arah yang lebih baik adalah model berpikir masyarakat yang senantiasa menggunakan akal dan pikirannya yang kritis dalam melihat fenomena atau segala hal yang terjadi. Namun pada kenyataannya tayangan televisi kita jauh dari yang diharapkan. Tayangan televisi kita lebih mengumbar model-model program yang menampilkan situasi dan kondisi yang memberi ruang kepada penonton untuk menina bobokan daya kritisnya. Model program ini bisa kita saksikan melalui tayangan sinetron yang tidak mencerminkan semangat berpikir, dan bahkan sangat jauh dari realitas kehidupan di negeri kita. Situasi itu diperparah dengan merebaknya acara hiburan-hiburan pencarian bakat yang lebih banyak mempertontonkan aksi “kecele yang ngehe” dengan tujuan membuat penonton terpingkal-pingkal. Belum lagi program gosip yang mengupas selebritas dan figur publik, yang alih-alih menampilkan keseharian selebritas namun terjerumus kepada pembodohan publik. 

Benar memang televisi disamping media mendakwahkan informasi-informasi baru yang menstimulus daya berpikir kita dan menyajikan program-program yang menghibur masyarakat kita di tengah situasi negara yang belum menentu, tapi seyogianya para pemegang modal televisi harus jeli benar apa yang dibutuhkan dan diharuskan oleh masyarakat kita melalui program yang bermutu. Tegasnya, para kapital ini tidak melulu memikirkan keuntungan semata dengan ditandai rating yang tinggi. 

Untungnya, di balik keresahan itu masih ada program berita yang memberitakan program yang menayangkan berita semisal  seputar pemerintahan dan politik dan berita-berita lainnya. Namun, kian ke sini program itu nampak jauh dari pemberitaan yang ingin mencerahkan publik. Kesimpulan ini bisa dibaca oleh penayangan berita dari dua media televisi yang terasa simpang siur dalam kebenaran informasi. Setidaknya itu dapat dilihat pada peristiwa sebelum pemilihan presiden di mana masing-masing media tersebut saling menyudutkan terhadap calon presiden beserta wakilnya, sehingga masyarakat mendapat informasi yang kurang akurat. Keberpihakan politik itu pun saya kira masih terasa hingga sekarang.

Kembali Kepada Masyarakat

Penonton kita adalah masyarakat yang menggemari program televisi karena fungsinya yang memberi informasi dan memberi hiburan. Situasi ini bisa kita buktikan melalui aktivitas-aktivitas masyarakat kita yang menjadikan televisi sebagai peneman di malam hari atau di setiap waktu jeda dari pekerjaan meskipun kekuatan internet semakin tak terbendung. Karena itu menyangkut program televisi yang kian jauh dari edukasi pada akhirnya dikembalikan kepada masyarakat kita karena berharap penuh kepada para pemegang kapital agaknya belum bisa diandalkan. 

Masyarakat kita yang pada kenyataannya semakin cerdas dalam memilah program televisi harus terus menerus menggunakan daya kritisnya terhadap tayangan televisi. Kita tidak mau menjadi bangsa yang bodoh karena program televisi yang tidak bermutu. 

Kedangkalan berpikir mesti kita ubah guna menyambut kemajuan bangsa kita di tengah modernisasi global yang semakin menggeliat. Sudah saatnya kita menjadi bangsa yang menjunjung pikiran sebagai pisau untuk mengubah dunia. Bukankah kita mau menjadi pencetak sejarah bagi bangsa dan dunia?***

Penulis adalah pemerhati sosial Indonesian Culture Academy (INCA) Jakarta

 

()

Baca Juga

Rekomendasi