Merawat Idealisme

Oleh: J Anto

Apa pentingnya menulis kisah pergumulan hidup orang-orang “kecil” di pedesaan? Orang-orang yang tengah bergulat dan berjuang keluar dari jerat kemiskinan serta tak memiliki la­kon hidup spektakuler seperti kisah  “Papa Minta Saham”-nya anggota de­wan yang “terhormat”Setya Novanto?

Apa juga urgensinya menukilkan ki­sah perjuangan aktivis perempuan yang mengajari anak-anak desa agar terbiasa go­sok gigi di pagi hari, membuang ingus yang berleleran di hidung atau mengajari orang­tua agar membiasakan balita me­ngon­­sumsi sayur-sayuran dan buah-bua­han? Adakah yang tertarik menulis ten­tang pohon pepaya yang banyak tumbuh di ladang warga, tapi saat berbuah justru pepaya tersebut dijadikan konsumsi ternak babi? 

Intinya, adakah sesuatu yang bisa kita pelajari dari kisah orang-orang “kecil” itu?

Pada Oktober 2015 lalu, saya merasa be­run­tung dilibatkan PESADA (Per­kum­pu­lan Sada Ahmo), Organisasi Ma­sya­rakat Sipil (OMS) yang dikenal gigih ber­juang membangun relasi kesetaraan gen­der di segala bidang kehidupan, se­bagai salah satu tim penulis buku Pe­do­man Perilaku dari OMS yang berpusat di Sidikalang itu.

Semua cerita “biasa” di atas, saya pe­roleh saat merekon­struksi kegiatan diskusi yang dihadiri sejumlah aktivis OMS Sumut, warga desa dampingan, pejabat pemerintah dan para aktivis OMS Pesada sendiri. Hasil diskusi men­jadi salah satu bagian dari buku Pedoman Pe­rilaku PESADA  yang ditulis Pdt Bo­nar Lumbantobing, salah seorang pendiri OMS tersebut.

Kisah tentang balita yang diajari cara“gosok gigi”, “buang ingus”, “ma­kan sayur dan buah-buahan” sekilas ter­dengar remeh. Tapi mengubah budaya hi­dup sehat bagi anak-anak pedesaan se­lain bukan hal mudah, sejatinya juga me­nyelamat­kan sebuah generasi. Dituntut sikap kesabaran, kecintaan dan ketu­lu­san. Bayangkan balita yang tak ada sang­kut paut hubungan keluarga apalagi per­talian darah, harus dibersihkan ingusnya.

Berapa honor yang diterima untuk pe­kerjaan mulia tersebut?  Tak lebih dan tak kurang Rp 30.000 per bulan!

Terpepet kebutuhan atau pekerjaan? Ternyata tidak. Simak tuturan Dinta Solin. Sebelumnya sebagai guru honorer tahun 1993 setiap bulan ia sebenarnya sudah mendapat penghasilan Rp 50.000. Itu artinya saat memutuskan bergabung ke Pesada sebagai guru di Taman Bina Asuh Anak (TBAA), PAUD-nya PE­SA­DA, penghasilan Dinta berkurang ham­pir separuhnya. Orangtua Dinta tentu saja protes, tapi Dinta tetap pada pi­li­han­nya.

“Dimana pun saya berada, yang pen­ting saya bisa melayani.” Mem­be­rikan pe­layanan kepada orang-orang kecil, bu­kan sekadar bekerja, mungkin itu kata kun­cinya.

Ada juga testimoni Rouli Manurung, aktivis PESADA yang juga bergabung se­jak 1993. Ia memulai aktivismenya de­ngan mengorganisir kaum ibu pede­saan de­ngan membentuk lembaga eko­nomi ke­rakyatan. Populer disebut Credit Union (CU). Lokasinya di beberapa desa di Pak­pak Bharat, sebelum tahun 2003 dae­rah itu masih  termasuk wilayah Ka­bupaten Dairi. Honor yang ia terima waktu itu Rp 45.000 per bulan. Menyia­sati keter­batasan honor, saat turun ke la­pangan, ia kerap membawa “bontot” dari rumah.

Pernah ia memasak nasi satu mug da­lam periuk di rumah yang dijadikan pe­nye­lenggara TBAA. Saat tengah me­na­nak nasi, Rouli juga harus menyapu ha­la­man TBAA. Hanya ditinggal kurang le­bih 5 menit, saat kembali ke dapur, ia men­jumpai nasi sudah berubah jadi kerak. Namun ia tak kurang akal. Nasi ke­rak itu lalu disiram air dan ditambah se­dikit garam. Jadilah bekal makan siang saat melakukan turba ke kelompok warga.

Transportasi umum antar desa di Ke­camatan Tinada, juga kecamatan lain yang bertetangga, waktu itu juga sangat minim, bahkan tidak ada. PESADA sen­diri belum mampu memberi­nya fasilitas se­peda motor. Alhasil Rouli memilih trans­portasi tradisional: berjalan kaki. Ter­kadang: “Agar bisa cepat jalan, saya  buka sandal dan berlari-lari.” Jalan kaki alias nyeker dilakukan Rouli terutama saat harus menuju tempat pangkalan bus yang akan membawanya pulang ke Si­dikalang.

Maklum, jika terlambat maka ia harus ber­malam lagi di Tinada. Soalnya bus hanya melayani trayek Tinada -Sidi­ka­lang, jaraknya berkisar 40 KM, 2 kali per hari.

Merawat Idealisme

Mendengar kisah Dinta dan Rouli kita di­sadarkan bahwa ada sesuatu yang khas pada aktvisme OMS pada masa Orde Baru: perjuangan untuk mengubah ta­tanan sosial yang adil itu bersandar pada lakon hidup penuh kesederhanaan dan ketulusan. Ada juga nilai pelayanan atau berpihakan pada mereka yang termar­ji­nalkan secara sosial, ekonomi, budaya dan politik. Orientasi terhadap materi tak men­jadi prioritas utama. Istilah yang lebih tepat untuk menggambarkan spirit seperti itu  barangkali terangkum dalam istilah idealisme.

Persoalannya, waktu terus berjalan. De­wasa ini, kita tengah dikepung dengan arus materialisme dan hedonisme yang di­bawa rezim kapitalisme. Menum­buh­kan dan merawat kultur idealisme bukan hal mudah. Tak terkecuali di kalangan ak­tivis OMS seperti LSM.

Terlebih lagi paskareformasi, muncul fenomena “banjir dana” di kalangan LSM. Bahkan saat tsunami memporak-poran­dakan Aceh dan Nias, bekerja di LSM tiba-tiba jadi bahan rebutan para pencari kerja. LSM mendadak jadi primadona. Gaji ju­taan rupiah, bahkan tak sedikit yang di­bayar dengan dollar Amerika serta fasilitas kerja ala ekspatriat Amerika dan Eropa mem­buat kabur batas antara aktivisme versus kerja kantoran.

Dan dampaknya masih terasa hingga sekarang.

Era aktivisme berkarya di LSM yang saat orde baru dianggap sebagai pekerjaaan “subversif”, “merongrong kewibawaan negara”, “mbalelo” atau “tukang jual ke­mis­kinan ke luar negri”, tampaknya makin memudar. Pandangan bahwa bergiat di LSM pasti “madesu” atau “kere materl” tam­paknya tergerus oleh fenomena “ban­jir” pendanaan.

Tak salah menjadi sejahtera secara eko­nomi dengan berkarya di LSM. Yang salah barangkali saat perjuangan untuk meng­ubah dunia agar lebih baik bersama ma­syarakat akar rumput, tak lagi dihayati se­bagai elan perjuangan merebut hak rakyat yang termarginalisasi oleh berbagai sebab dan aktor.

Tetapi lebih dihayati sebagai pekerjaan mengelola proyek pembangunan seperti yang dilakukan actor negara. Idealisme seolah telah disimpan dalam laci meja kantor, kesederhanaan dan ketulusan seolah telah dikunci rapat-rapat dalam gudang.

Kisah-kisah perjumpaan para aktivis Pesada dengan “masyarakat akar rumput”, karena itu ibarat album lama yang telah berdebu menghuni gudang karena tak pernah dibuka lagi. Bagi aktivis LSM yang hidup di era Orde Baru, perkisahan tersebut tentu membangkitkan kembali ”roman­tisme” lama.

Tapi bagi generasi yang berkarya di LSM paska reformasi, tentu perkisahan ter­sebut dapat dijadikan cermin atau sumber inspirasi dan refleksi saat melakukan penguatan masyarakat akar rumput.

Terlebih lagi kisah-kisah perjumpaan aktivis PESADA dengan masyarakat akar rumput yang bersandar pada nilai keseder­hanan dan ketulusan itu telah diinstitu­sionalisasi dan diwariskan kepada mereka yang lebih yunior di lembaga PESADA  itu sendiri. Semacam estafet nilai.

Tentu hal itu dilakukan untuk memas­tikan agar nilai-nilai tersebut tetap hidup dan menghidupi seluruh aktivis PESADA sepanjang hayat. Pengurus boleh berganti seiring perjalanan waktu, namun nilai-nilai luhur yang menjadi roh lembaga tak punah digerus nilai-nilai lain yang lebih memuja hedonisme atau materialisme.

Barangkali itulah signifikansi dari kisah-kisah orang kecil yang nukilannya terdapat dalam buku “Pedoman Perilaku, 25 Tahun PESADA Menapak Perjuangan Kesetaraan Gender di Sumut”. Sebuah buku yang berisi kumpulan nilai yang lahir dari semangat pelayanan sosial terhadap mereka yang mengalami ketidakadilan structural dan personal.***

Penulis bekerja di Kajian Informasi, Pendidikan dan Penerbitan Sumatera (KIPPAS)

()

Baca Juga

Rekomendasi