Makna dan Peran Agama dalam Kehidupan

Oleh: Drs. Abu Sahrin, M.Ag

Agama adalah aturan hidup agar manusia tidak kacau (Sangsi-kerta), ketundukan yang tulus (al-din) seorang manusia kepada Tuhan (Arab), berpegang kepada norma-norma (relegere/religion) (Latin). Dari tiga kata itu mempunyai kesimpulan yang sama bahwa agama adalah jalan hidup atau pedoman hidup (way of live) agar manusia hidup teratur, terarah dan tidak terombang-ambing, dan tidak kacau. Pertanyaannya adalah; Benarkah agama telah berhasil membuat manusia teratur, terarah dan tidak terombang ambing? Untuk menjawab pertanyaan itu saya teringat dengan seorang wartawan Inggris yang bernama A.N. Wilson yang sering disebut-sebut Nurcholish Madjid (Cak Nur) beberapa dekade yang lalu. A.N Wilson menyatakan bahwa agama lebih berbahaya daripada candu, melebihi apa yang pernah diungkap oleh Karl Mark. Penyebabnya adalah jika dengan candu manusia menjadi tidur (Karl Marks), namun dengan agama manusia justru bangun dan saling membunuh sesamanya atas nama iman (A.N. Wilson). 

Kita memaklumi jika hampir semua tokoh agama, baik Muslim, Yahudi, dan juga Kristen marah kepada Karl Mark dan juga Wilson, karena kata-katanya dianggap racun mematikan, bukan hanya terhadap agama tetapi juga terhadap manusia sendiri sebagai pemeluk agama, namun barangkali perlu juga kita melirik fakta sejarah sesekali. Adakalah kata-kata Karl Mark dan Wilson mengandung kebenaran historis, ataukah hanya bualan kosong yang tak bermakna? 

Akhir akhir ini kita dikejutkan oleh kelompok yang mengaku dari agama tertentu yang secara kasat mata mempertontonkan kepada dunia tentang hal-hal yang sangat bertententagan dengan nilai-nilai agama yang dianut oleh pelakunya sendiri. Mereka mengaku mau mendirikan pemerintahan agama dengan dasar agama, sayang sekali dalam pelaksanaannya justru membuat marah hapir semua tokoh agama di dunia. Sebut saja Paris berdarah, Thamrin berdarah, belum lagi kasus berdarah lain, di Irak dan Suriah, Libya, Somalia, dan berbebagai belahan dunia. Militansi mereka luar biasa, mereka merelakan nyawanya terpisah dari badan hanya karena suatu keyakinan bahwa dua ratus bidadari surga telah menunggunya. Sayang sekali yang mereka lakukan bukan memperjuangkan kebenaran dalam ukuran logika normal, apalagi ilmiah, tetapi justru melakukan bom bunuh diri terhadap orang-orang yang tidak mengancam jiwanya dan bukan pula membawa senjata. Pertanyaannya adalah, apakah ada ajaran agama manapun yang mengajarkan membunuh orang yang tidak bersalah itu bisa membawa pelakunya ke surga. Yang penulis tahu adalah sesuai agama yang saya anut ..... barang siapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena membunuh dan bukan pula karena membuat kerusakan di muka bumi maka seolah-olah ia telah membunuh seluruh umat manusia .....(Alquran: Almaidah:32). 

Barangkali perlu direnungkan pernyatakan oleh Abdul Karim Sorous seorang ulama kontroversial asal Iran dalam bukunya,”Menggugat Otoritas Agama” yang menyatakan: “Ketika agama dijustifikasi sebagai produk hukum positif, maka agama sering kali kehilangan makna, sebaliknya ketika agama hanya dijadikan sebagai sebuah nilai semata, maka agama kehilangan justifikasi dan hanya menjadi bualan kosong tanpa kekuatan.” Jika demikian mau diapakankah agama agar tidak kehilangan makna strategisnya?. Untuk menjawabnya pantas disimak pernyataan John Naisbith dan Istrinya Patricia Aburdene, dalam bukunya; Megatrend 2000; “Spirituality, Yes, Organized Religion, No.” Spiritualitas, Ya. Namun agama yang terlembaga, tidak.” Untuk memahami kata-kata ungkapan John Naisbith perlu dipahami apa itu spiritualitas, dan apa itu agama yang terlembaga. Kalau kita baca lebih seksama Megatren 2000, maka terkandung makna yang sangat jauh antara spiritualitas dengan agama yang terlembaga. Walaupun antara keduanya masih dalam bungkus yang sama. Menurut John Naisbith, spritualitas adalah pesan moral yang terkandung dalam agama formal, sedang agama yang terlembaga adalah bagian terluar dari agama itu sendiri. Ketika seseorang terjebak pada bagian luar dari agama maka ia sebenarnya terjebak dalam bungkus yang terkadang kelihatan indah memukau atau malah menyeramkan, namun ketika seseorang melihat ke dalam agama dan merasakan denyut dari agama itu maka ia akan merasakan ruh dari agama itu. Pricouf Schuon menyebutnya dengan esoterisme dan eksoterisme agama. Esoterisnme adalah bagian terdalam dari agama ia adalah nilai, moral force, spiritualitas, sedangkan eksoterisme adalah bungkus, simbol atau formalitas agama yang sering membuat orang terjebak pada justifikasi, kultus, formalitas dan kekerasan atas nama agama. 

Kembali kepada stetemen A.N. Wilson yang menyatakan bahwa agama lebih berbahaya dari candu, maka perlu diverifikasi agar tidak melakukan generalisasi terhadap agama manapun. Sebab menurut Hassan Hanafi para Nabi dan Rasul yang pernah diutus Tuhan ke permukaan bumi ini tidak pernah bermaksud menjadikan agama sebagai alat pemusnah manusia, sebaliknya agama lahir untuk memanusiakan manusia. Persoalannya adalah seringkali manusia terjebak pada simbol (eksoterisme) agama dan tidak mau melihat pada inti dan substansi (esoterisme) agama. Agama pada tataran simbol penuh dengan formalitas dan justifikasi, yang jika tidak dilaksanakan akan mendapat ancaman neraka (akhirat) atau hukuman (dunia). Seorang pencuri dipotong tangan, dan pezina dicambuk dan diahirat masuk neraka. Pertanyaannya adalah, apakah agama hanya sebatas potong memotong, ataukah ada makna yang tersirat di dalamnya? Kembali Fricouf Schuon memberikan jawaban.” Esoterisme agama mengharuskan seseorang mendalami makna agama secara lebih mendalam dan spititual. Agama dalam makna substabsi adalah seperangkat nilai yang membawa kedamaian bagi pemeluknya, karena inti agama adalah ingat akan Tuhan (zikrullah dalam bahasa Islam) dan ketundukan hati kepada-Nya. Seseorang yang ingat akan Tuhan tidak akan memaksakan kehendaknya kepada orang lain, karena Tuhan sendiri tidak melakukan itu, ingat pesan agama – Islam (laa-ikroha fi aldiiin/ tidak ada paksaan dalam agama. Artinya jika ada manusia berusaha memaksakan agama kepada orang lain maka pada dasarnya ia telah mengambil alih fungsi Tuhan. 

Subtansi dari agama manapun menurut Seyyed Hussen Nasr adalah hanya pada 4 hal yaitu: kebenaran (siddiq), kejujuran (amanah), dan kecerdasan spiritual (fathonah). 4 prinsif itu adalah substansi dari semua agama langit dan merupakan sifat dari para Nabi dan Rasul. Sangat disayangkan kata Nasr ketika orang lebih banyak berkutat hanya pada simbol kurang tertarik pada makna spiritual, padahal simbol saja hanya akan menghabiskan energi kita pada hal-hal yang tidak penting. Simbol saja berarti hanya berada pada tataran eksoterisme semata atau tepatnya hanya bagian luar dari agama dan tidak sampai pada inti agama atau esoterisme. Eksoterisme semata hanya akan melahirkan musuh karena kita hanya dapat menangkap perbedaan antara satu kelompok dengan kelompok lainnya. Akhirnya agama akan terlihat menyeramkan, membuat takut bahkan sebagai mesi pembunuh (teror).

Penutup

Sudah saatnya kita meninjau keberagamaan kita, apakah tergolong hanya mementingkan bagian luar (eksoterisme) ataukah bagian dalam (esoterisme). Apakah lebih memukau hanya pada tataran legal-formal, ataukah lebih pada substansi, apakah lebih mementingkan kulit ataukah isi. Ketika jawaban kita terpaut pada bagian luar, legal-formal, seremoni dan kulit, maka kita akan merasakan agama sebagai beban. Namun ketika kita mampu merasakan denyut nadi agama sebagai sikap hidup, hikmah, sumber nilai, sebagai inspirasi, berartikita telah berhasil menangkap pesan agama yang bersifat spiritual, nilai, etik, dan estetik. Karena tujuan agama pada hakikatnya adalah untuk kebaikan manusia dan alam semesta. Sangat tepat pesan Tuhan dalam Alquran: Tidak kami utus engkau ya Muhammad melainkan untuk menjadi rahmat bagi alam semesta (QS Al Anbiya’ 107). “Dan kami tidak mengutusmu (Muhammad), melainkan untuk seluruh manusia, pemberi kabar gembira dan sebagai pemberi peringatan (QS Saba’ :28).” Intinya adalah ketika kita dapat menangkap pesan agama yang bersifat esoteris, maka telah berhasil menangkap pesan agama yaitu niai-nilai kebaikan untuk seluruh manusia dan semesta. Sebaliknya jika hanya berkutat pada hal-hal yang bersifat seremoni, bungkus dan kulit, eksoteris, akan terlihat agama sebagai sesuatu yang kejam, mesin pembunuh dan teror. Dengan demikian maka kekhawatiran A.N Wilson agama akan menjadi pemusnah manusia akan menjadi kenyataan.

Wallohu A’lam bi al-Shawab

Dosen Filsafat di Fakultas Ushuluddin dan Studi Islam UIN Sumatera Utara dan kandidat Doktor Agama dan filsafat UIN Sumatera Utara

()

Baca Juga

Rekomendasi