Mengenang 102 Tahun

Maestro Komponis Ismail Marzuki

Oleh: Nevatuhella

Itu masa 102 tahun yang lalu. Itu hari Senin, 11 Mei 1914, zaman normal di kampung Kwitang tanah Betawi, Marzuki yang bergaji F150,- berkat kerjanya sebagai boekhuder di Ford Repratie Atelier Tio, Senen Raya, gembira sebegitu gembiranya lantaran isteri tercintanya melahirkan anak lelaki. Anak lelaki itu ialah Ismail Marzuki yang telah menghias langit Indonesia dengan gubahannya yang Magna Cum laude. 

Usai menyelesaikan sekolah di MULO (setingkat SMP) Ismail Marzuki tidak meneruskan pendidikannya, seperti kebanyakan anak-anak muda yang berasal dari keluarga kaya dan bangsawan waktu itu. Kebanyakan mereka meneruskan sekolah di Sekolah Hukum, Kedokteran ataupun Teknik. Ismail Marzuki, yang punya nama panggilan Maing memilih bergabung di sebuah studio musik sebagai verkoper atau sales plat nyanyian di sebuah perusahaan rekaman bernama K.K.Knies, Noordwijk. Disini Maing hanya mendapat komisi, bukan gaji. Tapi ia bukan main senang. Sebagai sales ia selalu tampil parlente dan necis sebagai pembawaannya. Maing hanya mencopot dasi ketika akan tidur dan mandi saja.

Mula Maing menunjukkan bakat besarnya menulis lagu sesudah bergabung di orkes “Lief Java” di usia 21 tahun. Sebab mahir memainkan semua alat musik maka ia dengan mudah membuat aransemen gubahannya. Kerontjong Serenaja dan Stamboel Oh Djauh Dimata merupakan dua gubahan pertamanya. 

Tahun 1934 Maing sudah teken kontrak untuk perekaman lagu-lagunya di plat hitam dengan perusahaaan rekaman K.K.Knies dan Odeon untuk lagu Ali Baba Roemba, Olhe Lheo di Kotaradja, O Sarinah, Kore Korena dan Ja Aini.

Cepat karir Maing meningkat sampai ke negara tetangga Malaysia (waktu itu Singapura masih bergabung), berkat penampilannya dalam film Doedoek Termenoeng arahan sutradara Belanda, Albert Baling. Film Doedoek Termenoeng, ketika di putar untuk pertama kalinya di Rex Theatre, Kramat, Senen, penonton melimpah dan dan suasana kacau karena banyak penonton tidak kebagian karcis.Maing kebagian mengisi suara serta langsung tampil berlagak memetik gitar dalam film tersebut . Juga bersama “Lief Java” tahun 1938 Maing dan kawan-kawan tampil ke seluruh kota besar di Malaysia sampai ke Borneo (Kalimantan). Dengan penampilan yang memikat penonton di negeri ringgit ini melempar Maing dan teman-teman dengan ringgit tanda lagu minta diulangi. Gedung-gedung pertunjukan tak pernah tidak fullhouse bila mereka tampil. 

Rajoean Poelaoe Kelapa

Sebagai pujaan Maing terhadap negeri kelahirannya, Maing menggubah Rajoean Poelaoe Kelapa tahun 1944. Di tahun 80-an lagu ini menjadi darah daging siswa-siswa diseluruh Indonesia. Sayangnya, sekarang banyak siswa yang tidak hafal lagu ini.

Di tahun 1944 sampai menjelang kemerdekaan tahun 1945, Maing memimpin program acara lagu-lagu barat dan Indonesia popluler pada Studio Orkes Ketimuran yang pusatnya di Tegalaga, Parijs van Java (Bandung). Acara ini merupakan salah satu program Nederlands Indische Radio Omroep Maatschappij (NIROM), cikal bakal Radio Republik Indonesia (RRI). Suara baritone Maing serupa Bing Crosby, cocok membawakan Adios Muchachos. Mir Bist Du Schoen, dan White Chapel in the Moonlight. Maing pun semakin terkenal. Setiap bulan ia menerima tak kurang dari 100 surat dari penggemarnya di seluruh Indonesia. Ia telah menjadi impian begitu banyak nona-nona muda saat itu.

Mengambil Pelajaran

Sekian banyak bapak bangsa kita, sebagian besar memang berasal dari keluarga kaya dan bangsawan. Mohammad Hatta misalnya. Keluarganya di Bukit Tinggi kaya. Pamannya tempat ia tinggal pedagang tanah abang yang sukses, Soekarno ayahnya seorang guru. Ki hajar Dewantara juga ayahnya seorang pedagang, termasuk H.O.S. Cokroaminoto, pendiri Sarekat Islam. Dan Maing sendiri, ayahnya seorang pemilik tanah dan usaha dagang di Kwitang. 

Lalu dari mereka yang bisa kita ambil adalah rasa kebangsaan mereka yang tinggi. Bekal idiologi yang mereka miliki memotivasi mereka untuk berjuang bagi manusia di luar diri mereka. Kita lihat Bung Karno yang harus mendekam di penjara bersama Hatta. Maing juga, pernah menolak kerja sama dengan seorang Belanda yang dianggapnya Borjuis, Julius Foorman. Saat tentera Belanda melakukan invasi kedua, dimana RRI jatuh ke tangan NICA, Maing menolak bekerja sama walau diiming-iming berbagai fasilitas gaji besar dan mobil baru. Sampai-sampai tentera dari Militair Welvaart (bagian kesejahteraan militer Belanda) mendatanginya dan menekan perasaan Maing. Ia dan isterinya mengungsi, Eluis Zuraidah, terpaksa mengungsi ke Bandungi dengan hanya pakaian di badan. Harga kemanusiaan Maing begitu tingginya.

Nah yang sekarang terjadi, banyak anak-anak orang kaya raya tidak memiliki jiwa dan hati seperti bapak-bapak bangsa kita dahulu. Jadi jangan marah kalau ada masyarakat yang mencela para pemimpin yang berasal dari anak-anak orang kaya ini sekarang dengan mengatakan, e, ini negara bukan engkau yang membangunnya.

Kita saat ini memang kehilangan pegangan akibat pengaruh buruk sistem kapitalisme yang mendorong kita untuk menjadi makhluk yang materialistis. Ya, hampir mencapai semi binatanglah! Apalagi kalau tidak kata itu yang pantas kita predikatkan. Ada saudara kita yang rumah kontrakannya 100 ribu perbulan. Ini juga bayarnya selalu terlambat pada yang punya rumah kontrakan. Sementara ada saudara yang dikatakan sebangsa dan setanah air punya cicilan rumah seharga 10 juta sebulannya. Dan, ada juga saudara kita yang makan beras ranggong (beras raskin istilahnya), berlauk ikan berformalin, tersedak-sedak bahkan bisa pingsan memakannya. Sementara ada saudara kita yang mengaku sebangsa dan setanah air, berasnya satu kilo 20 ribu. Lauk pauknya bermacam ikan kakap dan daging sapi kelas satu non formalin.

Mari kita mengahayati peri hidup para maestro bangsa kita ini. Penyair ada Ronggowarsito, Raja Ali Haji, Hamka, Chairil Anwar. Politikus Ulung Soekarno, Sutan Syahrir, Gus Dur. Ekonom kita punya Hatta sebagai bapak koperasi, Soemitro. Dan di musik kita punya Ismail Marzuki, Idris sardi, Bimbo, dan lain lain.

Mari kita renungi lirik-lirik keindahan lagu karya Ismail Marzuki Djangan Ditanya Kemana Aku Pergi (1947) dan Di Ambang Sore (1957), yang klasik sekaligus modern tak berkesudahan. Abadi sampai ribuan tahun bisa seandainya kita masih seperti dahulu. Masih hayati peradaban dan kemanusiaan seperti para maestro kita. 

Dalam renunganku seorang/Diambang sore nan layu/Tiada bisikan tenang/Tamasya indah ku bisa//Kesatu arah tertentu/ Kulepaskan pandanganku/Ketempat janji bertemu/Simpang tiga rumpun bambu// Tiap sore kunantikan/Disimpang tiga titian/Dengan penuh kasih sayang/Kata mesra pengharapan.***

Penulis adalah seorang esais, pemerhati sosial-politik

()

Baca Juga

Rekomendasi