Dokter Dilarang Menerima Gratifikasi (?)

Oleh: Sagita Purnomo.

Banyaknya dokter yang menerima dana sponsor dari perusahaan farmasi, dikhawatirkan akan menimbulkan konflik kepentingan dalam menjalankan tugas profesinya. Dokter yang terikat dengan perusahaan farmasi tertentu, berpeluang menimbulkan masalah di kemudian hari, terutama terkait dengan anjuran dalam memberikan resep kepada pasien. Umumnya, pasien yang sakit akan mengikuti anjuran sang dokter untuk membeli dan mengonsumsi obat yang ditulis dalam resepnya. Sebab itu sangatlah tidak dianjurkan adanya hubungan kerjasama yang mengikat secara langsung antara dokter dengan perusahaan farmasi.

Hal inilah yang melatarbelakangi Kementerian Kesehatan yang bekerjasama dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), untuk merancang regulasi larangan dokter menerima uang sponsor dari perusahaan farmasi. Dalam regulasi baru ini, pemberian uang sponsor akan dikategorikan sebagai gratifikasi yang dimaksud dalam Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Regulasi ini akan mengikat seluruh dokter yang ada di Indonesia, baik itu dokter PNS maupun swasta.

Banyak pihak yang menyambut baik rencana ini. Pasalnya, profesi dokter merupakan salah satu profesi terhormat, terhormat karena perannya sangat besar dalam menyelamatkan nyawa manusia. Sebab itu, sangat disayangkan jika dokter tidak lagi independen dan mandiri dalam menjalankan tugasnya sebagai tenaga medis jika terikat kerjasama dengan perusahaan farmasi. Dikhawatirkan dokter justru mengutamakan kepentingan bisnis dibandingkan menyelamatkan jiwa pasien.

Gratifikasi?

Gratifikasi dalam KBBI dikatakan sebagai memberikan uang/hadiah kepada seseorang pegawai diluar gaji yang telah ditentukan. Sedangkan didalam Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, pasal 12B ayat (1), yang berbunyi "Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya dengan ketentuan sebagai berikut: Yang nilainya Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi. Yang nilainya kurang dari Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penuntut umum.

Dalam pasal ini, pengertian gratifikasi sangatlah kompleks dan luas yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat, komisi pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma dan fasilitas lainnya. Bahkan kenikmatan seks juga digolongkan sebagai bentuk gratifikasi. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronika atau tanpa sarana elektronika. Mengacu kepada pasal tersebut, maka diharuskan kepada orang yang menerima gratifikasi untuk melaporkan gratifikasinya guna membuktikan bahwa pemberian tersebut bukanlah suap. Jika tidak melaporkan gratifikasi tersebut maka akan dianggap sebagai bentuk suap.

Pada hakikatnya, seseorang memberikan gratifikasi kepada orang lain dipengaruhi oleh dua niat, yaitu yang berniat baik jika pemberian itu diberikan secara tulus ikhlas, tidak mempunyai masksud dan tujuan tertentu, tanpa mengharapkan imbalan terutama yang berkaitan dengan jabatan atau profesi penerima gratifikasi. Gratifikasi bersifat buruk jika pemberian tersebut bertujuan pamrih, mengharapkan imbalan yang intinya mempengaruhi keputusan penerima gratifikasi yang berkaitan dengan jabatan atau profesinya.

Dalam profesi kedokteran, seringkali perusahaan farmasi memberikan uang sebagai sponsorship kepada dokter untuk menghadiri seminar. Dilain pihak, dokter wajib mengikuti seminar tersebut untuk memenuhi kredit profesi per tahun. menimbang fakta tersebut, Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia (GPFI) dan International Pharmaceutical Manufacturer Group (IPMG) sepakat untuk tidak memberikan sponsor kepada individu dokter. Nantinya, uang sponsor akan diberikan melalui institusi rumah sakit untuk dokter PNS atau ikatan profesi untuk dokter swasta.

"Pemberian dari perusahan farmasi langsung ke individu dokter kemungkinan masuk gratifikasi sehingga harus dilaporkan. Pemberian yang masuk jabatan dan kewenangan termasuk dokter-dokter PNS harus dilaporkan dan ditetapkan KPK apakah milik negara atau dokter yang bersangkutan. Harapannya tidak ada lagi gratifikasi dan konflik kepentingan dapat dihindarkan" ujar Deputi Pencegahan KPK, Pahala Nainggolan. (Kompas.com)

Penerimaan uang sponsor oleh dokter, wajib dilaporkan dalam kurun waktu 30 hari setelah penerimaan. Selanjutnya, KPK akan menentukan apakah uang tersebut termasuk gratifikasi atau tidak. Jika potensi gratifikasi tidak dilaporkan, maka dokter tersebut akan dikenakkan sanksi. Untuk dokter PNS kena pasal gratifikasi, sementara dokter swasta dikenakan sanksi sesuai Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 14 Tahun 2014 tentang Pengendalian Gratifikasi. "Selama ini ada kesepakatan sponsor ke individu, dan kode etik itu akan diganti. Tidak boleh lagi ke individu, tapi ditujukan ke insitusi," tambahnya.

Terkait dengan gratifikasi atau sponsor yang diberikan oleh perusahaan farmasi kepada dokter, maka dapat digolongkan sebagai gratifikasi dengan niat buruk. Modus atau tujuan utama pemberian sponsor/atau gratifikasi perusahaan farmasi kepada dokter ialah untuk meningkatkan penjualan obat-obatan melalui promosi dan rekomendasi terselubung dari dokter yang bersangkutan. Maka jelas gratifikasi ini menyalahi ketentuan undang-undang. Saksi hukuman penjara maksimal 20 tahun dan denda Rp. 1 miliar menanti si penerima gratifikasi.

Peran Etik

Pada dasarnya, setiap profesi memiliki kode etik sebagai acuan dalam menjalankan profesinya. Salah satu tujuan yang ingin dicapai dari kode etik ialah agar seseorang menjalankan profesinya dengan sehat, independen dan tidak merugikan pihak manapun terutama kliennya. Oleh karenanya sangat tidak dibenarkan bagi seorang dokter untuk terikat mutlak dalam bisnis secara langsung/pribadi dan menggunakan kewenangan yang diberikan oleh organisasi profesinya dengan semena-mena. Terutama dalam memberikan rekomendasi obat yang menyangkut kehidupan seorang pasien.

Dokter yang menerima gratifikasi, secara langsung telah kehilangan integritas. Ia akan bekerja dibawah tekanan atau ikatan dari pihak lain, yang harus dipenuhi dalam kurun waktu tertentu. Oleh karenanya diperlukan ketelitian serta kesigapan dari organisasi dokter di Indonesia dan aparatur penegak hukum, khususnya KPK guna bersinergi menumpas gratifikasi di kalangan dokter, khususnya dokter PNS. Jika terdapat unsur merugikan negara, gratifikasi tersebut haruslah segera ditindak sebelum menimbulkan akibat yang lebih buruk dikemudian hari.

Dunia kesehatan Indonesia belakangan ini tengah tergoncang seiring dengan maraknya malapraktek dan tenaga medis yang terlibat tindak pidana, khususnya kasus aborsi dan praktek tanpa izin. Dalam menjalankan tugas profesinya, hendaknya para dokter bersikap profesional dengan patuh kepada Undang-undang serta kode etik yang berlaku (Kode Etik Dokter Indonesia/KODEKI). Dengan mematuhi ketentuan yang berlaku, maka kejahatan yang dilakukan oleh oknum 'berjas putih' dapat diminimalisir sekecil mungkin. Semoga kedepannya para dokter bisa menahan diri untuk tidak menerima gratifikasi dari perusahaan farmasi guna mengedepankan keselamatan pasien dibandingkan kepentingan bisnis belaka.***

* Penulis adalah Alumni FH UMSU 2014.

()

Baca Juga

Rekomendasi