Sineas Medan, Berkreasi Tanpa Henti

Oleh: Rhinto Sustono

WAKTU semakin tidak berpihak. Polisi dan dokter yang berpacu mencari penyebab, kalah cepat dengan jumlah korban yang terus bertambah. Sesosok monster datang tanpa memberi tanda, setelah itu entah nyawa siapa yang hanya menyisakan nama di sudut kota.

Lorong malam di Kota Medan kian mencekam. Bukan dokter yang salah memberi obat, bukan pula polisi yang tidak bertindak cepat, tapi zat adiktiflah yang membuat monster semakin kuat.

Sepenggal cerita di atas, hanyalah sebuah  ilustrasi pada film “The Deepest” garapan sutradara muda, Emart Nugroho dan Onet Adithya Rizlan yang diputar pada puncak Ajang Film Anak Muda Medan  (AFAM2)  di Taman Budaya Sumatera Utara (TBSU), Minggu (20/3) lalu. Film bertemakan horor-ilmiah itu, sukses mencuri perhatian yang hadir.

Film yang diperankan Budi Johra (sebagai Pandu yang menjadi monster), Rica Restella (Kenia),  Dokter dr. Daniel Irawan (dokter), Baharuddin Saputra (polisi), dan sejumlah pelakon lainnya itu, hanyalah satu dari sekian banyak film yang berkompetisi pada ajang tersebut. Di gelaran itu, sejumlah komunitas film Medan pun diadu kemampuannya untuk berakting dan mendesain poster film.

Selain “The Deepest”, siang itu juga diputar film anak-anak, “Sepotong Pisang Goreng” karya Ebart Nugroho dan “Sang Kurier” film laga karya Robby Saputra dari garapan YPS Studio dan DC-PHO. Dipandu Loly S Rumasoreng, puncak AFAM2 juga dimeriahkan Band Ziyad dan pergelaran tari dari Elcis Producti0n pimpinan Sri KNA.

Perhelatan bagi sineas muda Medan itu, tidak lain untuk menyambut peringatan ke-66 Hari Film Nasional. Tahun sebelumnya, Komunitas Film Anak Medan “Senyum Production” pimpinan Baharuddin Saputra, SH sebagai penggagas kegiatan, juga menggelar hajatan yang sama.

Meski memberikan apresiasi positif dan membanggakan festival itu, disayangkan Walikota Medan Dzulmi Eldin tidak bisa hadir dan hanya mewakilkan kepada Kadis Kebudayaan dan Pariwisata Kota Medan, Drs. Hasan Basri.

Dalam sambutan tertulis, Eldin berjanji akan menjalin kerjasama dengan komunitas film seperti Parfi, Parsi, dan komunitas film di Medan untuk kemajuan film lokal. Bahkan kegiatan itu akan diagendakan dalam program kegiatan Dewan Kesenian Medan pada komite film/sinematografi.

Kilas Balik

Beberapa dekade silam, Kota Medan menjadi ladang subur dan diperhitungkan dalam industri film nasional. Jika menoleh ke belakang, film “Piso Surit” (1960), “Butet” (1974), “Buaya Deli” (1978), dan “Musang Berjanggut” (1983 - film yang diangkat dari cerita komik karya komikus Medan, Taguan Hardjo Medan  pernah sangat disegani karena kian produktif melahirkan film-film berkualitas yang diputar di bioskop-bioskop Tanah Air. Bahkan, saat itu, film karya anak Medan pernah dianggap sebagai barometer film Indonesia.

Bukan itu saja, melalui film “Turang” (1957) karya sutradara Bachtiar Siagian, sineas Medan pernah cukup diperhitungkan di industri film nasional. Sehingga penghargaan film, sutradara, pemeran pembantu, dan tata artistik terbaik pada Festival Film Indonesia (FFI) 1960 pun bisa diraih.

Hal itu diakui Baharudin selaku penggagas AFAM2. Kecuali menyampaikan ucapan terima kasih kepada komunitas film, Parfi, dan Parsi, dan semua pihak yang mendukung kesuksesan ajang itu, Bahar juga sedikit mengulas singkat sejarah perfilman di Medan.

 Menurutnya, Medan pernah bangga karena mantan Walikota Agus Salim Rangkuti adalah aktor (pemeran utama) pada  film monumental “Buaya Deli”. Kemudian tokoh masyarakat Sumut, H. Anif juga aktor film yang berperan sebagai orang Belanda dalam film “Butet”. Sejumlah nama lainnya, AR Qamar, Arifin King, Zatako, D Rifai Harahap, Adisyam Tahak, Donny Sutrisno dan lainnya, menjadi penyemangat bagi sineas muda Medan untuk kreatif berkarya.

“Sejumlah nama generasi berikutnya, juga meramaikan dunia film dan sinetron. Berdasarkan itu, saya berani menghimpun pekerja film di Medan untuk bangkit dan tersenyum dalam AFAM2,” imbuhnya.

Aktor film dan tokoh film Indonesia, Rizal Siregar yang berksempatan hadir saat itu, memberikan motivasi kepada para sineas muda Medan untuk lebih kreatif dalam menggarap film. Sineas asal Medan itu juga merasa kagum dengan antusias yang ditunjukan anak muda Medan dalam menggeluti dunia film kekinian.

Semangat Baru

Ajang kompetisi film lokal layaknya AFAM2, menjadi wadah yang memberikan semangat baru bagi para pelaku industri film dan komunitas perfilman di Medan. “Kami tidak hanya mendapatkan ‘surprise’ dengan raihan beberapa jura di ajang ini, namun momen yang kompetitif bagi anak-anak film Medan seperti ini memang sangat kami rindukan,”  ungkap aktor sekaligus sutradara film indie dari RuFI, Sandy Pardede kepada Analisa.

Di ajang itu, poster film "Sang Kurir" dan "I Saw You" garapan YPS Studio dan DC-PHO mendapat predikat terbaik pertama dan kedua. Sedangkan film “Bandal“ garapan RuFI di nobatkan sebagai juara ke-3.  Sandy tetap berharap agar pemerintah daerah memberikan perhatian serius bagi insan perfilman Medan. Industri keatif perfilman di Medan, menurutnya harus dikoneksikan dengan rumah produksi (PH) di Jakarta. Selain akan memajukan dunia film itu sendiri, juga diyakini mampu mengangkat pariwisata Medan. 

"Semoga film-film indie karya sineas muda lokal khususnya kota Medan diberi perhatian khusus, karena banyak diantara komunitas film indie yang ikut festival film nasional dan internasional menyandang nama kota Medan. Untuk itu saya secara pribadi mempunyai harapan agar kota Medan ini memiliki "Bioskop Indie" agar para sineas-sineas muda mendapatkan wadah dalam mengapresiasi karya mereka", ujar Robby Saputra sekalaku pendiri YPS Studio.

Kreativitas perfilman lokal Medan memang harus dibangkitkan. Banyak hal yang harus disiapkan menuju pencapaian terbaik. Sebab jika dibandingkan dengan era 1960-an hingga 1980-an, pencapaian yang dilakukan sineas Medan saat ini belum bisa disejajarkan dengan  para pendahulunya.

Tak sekadar kesiapan sumber daya manusia untuk melahirkan film berkualitas dari sisi cerita dan teknis, minimnya pemodal yang mau melirik film lokal sebagai peluang industri, juga menjadi problema klise. Tidak mungkin berharap bantuan dan perhatian pemerintah. TBSU yang menjadi kawah candradimuka bagi seniman kota ini saja, tak pernah dibenahi sehingga tertinggal dibanding daerah lain.  

Makanya, dengan dan tanpa dukungan pemerintah pun, berkarya dan terus berkreasi untuk film harus tetap dijalani. Bagi komunitas film di Medan, ruang berdiskusi untuk mengapresiasi karya mereka perlu sering dilakukan. Jika tidak, maka Medan akan tertinggal jauh dari kreativitas film Yogyakarta, Lampung, dan Sumatra Selatan bahkan Jakarta dan Bandung.

()

Baca Juga

Rekomendasi