Oleh: Frans Margo
Siapa bilang bangsa Indonesia kalah kreatif dengan masyarakat di negeri maju, konon yang tergabung di negara G8 sana? Malah kreativitas di bidang desain grafis serta dunia digital melahirkan fenomena baru tentang munculnya hakim-hakim moral yang modern.
Pembaca budiman tentu familiar dengan meme (baca: mem) yang berseliweran di lini mas media sosial, terutama Facebook, Twitter, Instagram dan Path. Bagi yang belum familiar, secara sederhana, meme artinya adalah ide yang tersebar cepat di internet dalam bentuk desain grafis hasil modifikasi sang pembuat.
Umumnya, meme berbentuk foto objek yang maknanya dipelintir sesuai keinginan pembuat dengan membubuhkan kata-kata atau modifikasi digital lainnya. Tujuan meme sebenarnya tidak serius-serius amat. Meme lahir dari aktivitas gemar melucu-lucukan (atau menertawakan) sebuah kejadian atau fenomena sosial secara ringkas dan tepat. Uniknya, meme yang satu bisa direplikasi menjadi jutaan meme lain yang punya makna yang sama sekali berbeda dari aslinya
Awalnya, meme ini diadopsi dari situs humor atau ngakak versi baru yang menitikberatkan pada visual. Situs seperti Memecenter, 9gag, 1cak, dan lain-lain, digemari banyak netizen karena merangkum ide segar dari segala penjuru dunia (disumbangkan secara sukarela oleh pengguna sekaligus penikmat). Hebatnya, karena netizen toh hidup di zaman media massa digital yang serba transparan dan aktual, banyak meme lahir dari hasil pengamatan terbaru. Jadi, mau itu aspek sosial, budaya, hiburan, seni, atau bahkan politik pun dilucu-lucukan via meme.
Kreatifnya Netizen Indonesia
Instagram sebagai media sosial paling digandrungi saat ini tentu saja jadi wadah berbagi informasi dan humor bagi sebagian kalangan. Tidak perlu waktu lama dan tidak perlu baca buku berjilid-jilid, penggemar meme sudah dengan sendirinya memproduksi meme khas Indonesia. Ada yang sekadar menerjemahkan meme luar negeri, tapi tidak sedikit juga yang memproduksi meme hasil kreasi sendiri dengan “cita rasa” lokal.
Akun fenomenal seperti @dagelan, @janganserius dan akun senada lainnya adalah sedikit dari pelopor meme yang kreatif. Inisiator di atas pun dengan serta merta mendorong akun-akun pribadi lainnya untuk produksi meme sendiri dengan harapan bisa dibikin terkenal oleh para inisiator.
Alhasil, saban hari netizen Indonesia sudah sangat familiar dengan meme. Dan jika ada yang nyangkut di hati, jemari netizen tidak segan-segan membagikannya di linimasa pribadi. Hitung-hitung jika bisa membuat orang lain tertawa, toh dunia terasa lebih teduh.
Gelombang pertama meme ini sebenarnya sudah muncul sewaktu pilpres 2014. Maklum, waktu itu perang politik juga terjadi dengan hebatnya di dunia maya, tepatnya Twitter dan Facebook. Lantas, dengan waktu demikian singkat, masing-masing kubu berusaha menyelipkan “propaganda” atau setidaknya pembenaran atas dalil politik masing-masing via meme itu tadi. Dan tidak jarang, alih-alih mempromosikan diri sendiri, banyak juga akun yang secara tidak bertanggungjawab menciptakan meme untuk mem-bully (baik secara halus ataupun kasar) lawan politiknya.
Meme benar-benar dimaksimalkan karena inilah menu yang sedang digemari oleh netizen awam. Lagipula, via meme, diharapkan “propaganda” tersebut bisa cepat viral dan menjadi word of mouth. Satu lagi, ongkosnya tidak mahal, cukup pintar-pintar memanfaatkan momentum serta kepolosan netizen tertentu yang dengan sukarela (tanpa dibayar) mau membagikannya.
Pasca Pilpres 2014: Saatnya Menghakimi Pejabat Publik
Suhu politik setelah usainya pilpres tidak serta merta menurun. Meme yang mengandung muatan sosial politik masih tetap berseliweran di jagat maya. Meski cenderung dipakai sebagai amunisi politik, fenomena baru lantas mulai muncul.
Meme tidak lagi dipakai untuk mendiskreditkan lawan politik secara gamblang, melainkan pejabat publik yang dianggap menyimpang dan jauh dari etika sosial. Lebih tepatnya, meme dipakai sebagai amunisi sosial oleh masyarakat non-partisan yang tidak mewakili siapapun kecuali dirinya untuk menghakimi pejabat yang dianggap tidak pantas.
Beberapa kejadian sensasional tatkala meme dipakai secara optimal antara lain kasus dugaan catut nama presiden oleh Setya Novanto (mantan Ketua DPR) berikut Wakil Ketua DPR Fadli Zon yang kebetulan berfoto bersama dengan Donald Trump (capres AS yang paling kontroversial saat ini), Haji Lulung yang sangat kontra dengan Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama dan hakim PN Palembang Parlas Nababan yang menyatakan bahwa bakar hutan itu tidak merusak lingkungan karena masih bisa ditanami kembali.
Tidak jelas pihak mana, apalagi parpol mana yang membuat itu, yang pastinya, semua netizen yang kontra terhadap figur di atas ramai-ramai menghakimi mereka dengan membagikan meme tersebut, mungkin juga menertawakannya. Mungkin dalam hati netizen, toh saya hanya rakyat biasa, tangan saya tidak akan cukup panjang untuk “menjangkau atau menghakimi” sang pejabat, jadi dengan membagikannya agar semua orang tahu bisa jadi hukuman sosial yang ampuh.
Seampuh apa memang tidak ada yang tahu persis. Tidak ada pula cara mengukurnya yang tepat dan presisi. Tapi, catatan meme ini jelas tidak akan pernah hilang dari jagat maya. Ibarat video porno Kim Kardashian dan Ray J yang sudah terlanjur disebarluaskan tanpa bisa dihapus lagi, demikianlah meme “penghakiman” atas pejabat yang dianggap “serong jalannya” akan selamanya tercatat selama manusia masih memakai internet.
Sampai di sini, penulis ingin memunculkan satu sudut pandang bahwa meme bisa tergolong dalam pelanggaran pidana pencemaran nama baik. Masih ingat tentunya tentang kasus Obor Rakyat yang menjelekkan Presiden Jokowi dengan hasil olah digital yang kelewat manipulatif, mengada-ada dan memaksakan agar bisa seturut tujuan sang kreator.
Meme pun bisa demikian jika disalahgunakan untuk mendiskreditkan seseorang, bahkan tanpa orang itu tahu sama sekali. Namun, syukur jika hari ini penulis belum menemukan penyimpangan demikian. Masyarakat Indonesia, khususnya netizen yang hampir pasti rata-rata berusia muda, ternyata masih cukup “lurus” hanya untuk mengkritisi kebijakan, tindakan atau perbuatan yang salah dari seorang pejabat publik. Tentunya netizen takut melanggar UU ITE, seperti kejadian Ongen, seorang netizen yang mengaku aktivis. Sehingga setidaknya dan selayaknya meme dipergunakan sesuai kepatutan dan semata-mata demi kebaikan publik.
Yang pastinya, fenomena meme masih akan terus hidup, apalagi zaman digital masih terus berkembang dan prinsip visual-based content tetap senantiasa digemari. Untuk diketahui bersama, saking fleksibelnya, meme juga digunakan sebagai alat promosi, terutama ketika dikaitkan dengan kegemaran menciptakan tagar untuk Trending Topic.
Mulai dari produk mie instan hingga film Ada Apa Dengan Cinta 2, relatif sangat terbantu lewat menyebarnya meme sebagai tanggapan atas unek-unek netizen. Dan, jangan terkejut pula ketika trailer AADC2 dirilis, ada saja netizen yang dengan kreatif menghubungkannya dengan peristiwa politik masa lampau dan masa kini. Percakapan atau bahkan karakter Rangga dan Cinta diolah sedemikian rupa sehingga publik diingatkan sebentuk kejadian yang tentu saja lucu, menghibur dan bikin siapapun ingin membagikannya.***
Penulis adalah wartawan gaya hidup di Medan. Pemerhati fenomena sosial. Twitter: @fransmargo