Chen Lisan Pamrih Tanpa Batas

BADANNYA tampak mulai keriput, pipinya mengendur dan rambutnya penuh dengan uban. Namun ketika Analisa menghampirinya bicaranya penuh semangat. Dia adalah ibu Chen Lisan lahir 8 Mei 1944. Seorang guru swasta yang sudah mengabdi sejak 1959 dan hingga kini masih aktif memberikan matapelajaran baik di sekolah maupun les pribadi.

Mengawali kisahnya, Chen Lisan yang hidup dari keluarga sederhana ketika itu melihat anak-anak pengungsi dari Aceh tinggal di kawasan Metal, Medan Deli, tidak bisa sekolah karena kemiskinan. Chen kemudian membuka les privat gratis kepada siapa saja yang mau belajar. Dia tidak ingin anak-anak korban pengungsian ini buta huruf.

Walau masih duduk dibangku sekolah menengah pertama (SMP), jiwa Chen sebagai pendidik sudah tumbuh. Membagikan pengetahuan tanpa mengenal waktu, baik siang maupun malam. Semua dilakukan demi mencerdaskan anak bangsa secara ikhlas tanpa bayaran.

Salah seorang murid, Juk Lim dalam acara sederhana sebagai pengobat rindu, sengaja mengundang ibu Chen Lisan untuk makan malam bersama. Dikisahkan Juk Lim, ibu Chen adalah guru yang patut ditauladani. Dia hadir ketika dibutuhkan.

“Saat itu anak-anak pengungsi dari Aceh hidup dalam keadaan kacau balau. Pendidikannya tidak menentu. Jangankan biaya sekolah, untuk makan saja susah. Ketika itulah ibu Chen Lisan hadir sebagai pelita ketika kami dalam kegelapan. Dia membuka les privat gratis,” ujar Juk Lim.

Luar biasanya lagi, lanjut Juk Lim, walaupun mengajar tanpa dibayar namun ibu Lisan tidak pernah menceritakannya. Dia mengajar semua matapelajaran.

“Dari sinilah kami mengenal pendidikan kemudian melanjutkan ke pendidikan formal,” kenang Juk Lim yang juga dihadiri para guru lainnya, So Min Guan, Pek Sin Thau, dan Ten Nyet Ngo.

Sebagai pendidik, Chen Lisan menanamkan prinsip bahwa tanpa ilmu manusia akan susah menghadapi kehidupan. Mungkin anak-anak pengungsi akan buta huruf tanpa jasanya. Kiprahnya turut mencerdaskan bangsa, walau bukan sebagai pegawai negeri sipil (PNS). Sehingga jasanya “terlupakan”.

Dikatakan Juk Lim lagi, sepanjang perjalanan pengabdian Chen, suaminya Lim Yui Ken pernah menyarankan agar istrinya Chen berhenti mengajar dan mencari pekerjaan yang lebih baik, namun Chen tetap bersikukuh berjuang demi masa depan anak-anak yang kehidupan ekonomi di bawah kemampuan untuk mendapatkan pendidikan.

“Kalau Ibu Chen tidak ada, hingga saat ini mungkin saja anak-anak Jalan Metal buta huruf. Sehingga rasa terima kasih kami saat ini menjadi semangat terutama murid-murid berkumpul memberi penghormatan,” tambahnya.

Sikap sederhana dan tanpa pamrih terlihat ketika Analisa “memuji” apa yang telah dilakukannya. Dengan rendah hati dan bijak Chen Lisan menjawab, ”saya merasa jasa saya tidak begitu besar, tapi mereka (murid-muridnya-red) tetap mengingat saya”.

Perinsip

Perinsip saya, lanjutnya, selama hayat di kandung badan, berbuat baiklah kepada semua orang. Mudah-mudahan orang akan baik kepada kita. Jangan selalu berharap dari hasil apa yang telah kita lakukan, namun teruslah tebar kebaikan.Mengajar tanpa memandang kasta kaya atau miskin. Karena semua anak memiliki bakat dan kemampuan yang berbeda.

Pengalaman yang berkesan bagi Chen Lisan, ketika dia menghadapi seorang murid yang bandel dan selalu terlambat datang ke sekolah. Semua guru sudah angkat tangan menghadapi kenakalan murid itu. Saat itu sang murid datang terlambat kemudian dihukum. Namun ketika akan diberikan hukuman murid itu melawan. Dia berlari di tempat yang becek penuh dengan air.

“Ayo hukum saya,” tantang murid itu seraya mengakat sebelah kakinya di atas air. Ancamannya, siapapun yang maju kakinya akan dihempaskan di genangan air itu. 

Chen Lisan dengan sabar membujuk anak tadi, dan menanyakan mengapa bisa terlambat ke sekolah. Si muridpun bercerita, dia terlambat karena menunggu ayahnya pulang membelikan buku baru.

“Buku saya sudah habis, lalu meminta kepada ayah agar dibelikan buku tulis baru, tapi sampai sekarang ayah belum pulang membawa buku baru itu. Inilah yang menyebabkan saya terlambat,” terang murid.

Mendengar alasan itu, si murid dibolehkan masuk kelas, karena Chen Lisan tahu kalau ayahnya belum kembali membawa buku baru karena ketiadaan uang. Intinya, lanjut Lisan, jangan cepat menuduh anak itu nakal. Tapi cari dahulu apa sebabnya.

Sampai akhirnya, kenang Lisan, si murid yang nakal tadi mengundangnya ketika dia menikah. Ternyata anak tadi sudah menjadi orang sukses. “Dari atas pelaminan saya dijemput dengan penuh hormat seraya berucap, hanya ibu yang bilang saya orang baik, selebihnya menuduh saya orang nakal,” ujar si murid.

Banyak pelajaran yang dipetik selama mengabdikan diri sebagai pengajar. Dari pengalaman, Chen Lisan menyebutkan, banyak anak-anak yang susah diwaktu kecil kelak menjadi sukses. Karena dia sudah ditempah dan memiliki pengalaman di dalam kesusahan itu. Dengan serba kekurangan maka akan muncul ide-ide kreatif, hingga akhirnya membawa kepada kesuksesan.

“Salah seorang murid yang nakal adalah Juk Lim. Dia kerap berkelahi, tapi sekarang sudah sukses menjadi pengusaha,” kenangnya.

Mungkin banyak guru seperti Chen Lisan, namun tidak banyak diketahui. Kiprahnya yang mengabdi tanpa batas ini patut mendapat apresiasi dari pemerintah layaknya sebagai “pahlawan tanpa tanda jasa”. Kerena berkat kegigihan dan keuletannya banyak anak-anak bangsa yang selamat dari kebodohan. 

Chen Lisan bukanlah guru yang terkenal, karena dia berkiprah di tengah-tengah kesusahan. Namun jasanya tidak boleh dilupakan dan patut mendapatkan sebuah penghargaan.

Hadir murid Chen Lisan dalam jamuan makan malam itu di antarnya, Juk Lim, Martini, Sui Yung, Aloy, Fung Fung, Acung, dan lainnya. (sugiatmo)

()

Baca Juga

Rekomendasi