Rinduku Menjelang Paskah

Oleh: Rina Simanjuntak

AKHIR-akhir ini, sering sekali aku bertanya pada hati dan diriku tentang jiwaku. Jiwaku yang rasanya berubah dari bentuknya seperti 5 tahun silam. Aku bingung dengan semua hal yang kurasakan, terkadang sangking pusingnya, deraian air mata menjadi jawaban atas semua kegundahanku. Bila sudah begitu, biasanya aku hanya bisa diam membisu, mencoba merenung dan mengingat masa silamku, 5 tahun yang lalu yang amat sangat kurindu. 

***

Kurang lebih 3 tahun, status sebagai alumni kuemban sudah. Meski secara kasat mata terlihat selayaknya tak sebagai alumni namun tak dapat dipungkiri bahwa kini aku bukan lagi mahasiswa. Mahasiswa yang berkutat dengan tugas kuliah, presentasi di kelas, dosen killer, administrasi yang keliru, tugas akhir yang bagiku sangat membunuh mental dan psikologisku serta tawa teman seperjuangan yang berhasil mencairkan situasi hatiku dikala gundah melewati masa-masa mahasiswa di tingkat akhir itu. Aku menangis bila mengingat itu semua. Seolah tak mempercayai kalau akhirnya aku dapat melalui masa sukar menjelang akud itu. 

Masa ketika aku berada di area stagnansi yang bagiku seolah tak memiliki harapan untuk menyandang gelar sarjana. Pergumulan dan perjuangan yang sangat yang pernah aku alami selama aku ada di dunia ini. Namun hanya syukur yang dapat kuhanturkan kepada sang Khalik, bila menyaksikan semua kebaikanNya bagiku saat penyusunan tugas akhir terselesaikan. Aku menyadari, bila tanpa Dia, aku takkan mampu. Di sisi lain aku juga mensyukuri aku bisa menikmati pelayanan di mahasiswa. Aku bisa bergabung dalam satu wadah organisasi kampus yang berhubungan dengan kekristenan. Di dalamnya aku diperkenalkan tentang iman kekristenan dan belajar firman Tuhan dan berjuang untuk terus melakukannya dalam setiap liku jalanku.  

Sekali dalam seminggu aku dan keenam temanku berkumpul untuk belajar alkitab yang dibimbing oleh seorang kakak rohani. Di dalam kelompok itulah akhirnya aku mendapatkan pengertian yang benar menjadi seorang kristen yang sesungguhnya. Banyak hal yang kudapatkan yang sebelumya tidak pernah kudengarkan. Aku banyak belajar untuk menghargai hidup dan mengisi hidup dengan hal-hal berarti karena hidup hanya satu kali. Meski sering terjadi dinamika hidup yang jatuh bangun, namun aku tahu hal itu akan mendewasakanku untuk bertindak dan berprilaku. 

Begitu dan sangat indah bila mengingat kehidupanku di masa mahasiswa dulu. Dimana semangat yang menggebu-gebu untuk terus memberikan yang terbaik lewat kehidupan masih melekat jelas di dalam batinku. Bukan hanya itu, aktivitas rohani senantiasa kulakukan dengan penuh ketaatan. Namun semuanya itu kini mulai samar kelihatan. Ternyata pertempuran di dunia alumni berbeda jauh dengan pergolakan di mahasiswa. Kini, aku mengalami banyak perubahan. Aku semakin kasar, bicara tak karuan, tidak disiplin, sering diam dan marah tak jelas dan masih banyak rekan-rekan sikap negatif lainnya yang mulai melekat dalam diriku. Jujur, aku tidak suka dengan perubahan ini, perubahan yang sangat menyiksaku. Karena akibat dari perubahan ini sekelilingku termasuk teman dan siswaku merasa tidak nyaman denganku. Yang menjadi pertanyaan adalah adakah aku telah jauh melangkah dari apa yang sesungguhnya? 

***

Rara.. ! Bela tiba-tiba datang sambil menepukkan tangannya dari belakangku. Aku tersentak.  Sudah 2 jam aku duduk termenung di beranda depan, hingga tak menyadari kedatangannya. 

“Isshh”, jawabku dengan nada tinggi seolah tak mengharapkan kedatangannya. 

“Rara..Rara…sore-sore begini masih saja melamun, apa sih yang kamu pikirkan? Akhir-akhir ini aku melihat suatu keanehan dalam dirimu, beberapa kali aku selalu memergokimu dengan aktifitas yang tak jelas itu. Please, kasih tau ke aku donk. Siapa tau aku bisa bantu”pinta Bela dengan nada mengharap.

Sejenak aku terdiam membisu memikirkan pertanyaan yang baru saja dilontarkan olehnya. Sebenarnya aku tak ingin memberitahukan apa yang kurasakan padanya, namun aku takut Bela akan marah padaku. Aku tahu benar bagaimana watak temanku yang satu ini, karena kurang lebih tiga tahun kami sudah merasakan pahit manis bersama.

“Rara, aku tahu ada hal yang kamu sembunyikan dariku” ujar Bela kembali. Tolong jangan bilang kamu sedang baik-baik saja. Dari pancaran matamu, aku tahu jelas ada sesuatu yang kau simpan dariku” tambahnya seakan mengharapkan penjelasanku. 

Aku bisa merasakan bagaimana Bela mengharapkan jawaban langsung dari bibirku. 

Setelah beberapa menit terdiam. Akhirnya kuberanikan diriku untuk mengungkapkan seluruh isi hatiku yang telah lama tersimpan. Aku memuntahkan semua yang kurasakan padanya. Mengutarakan kebodohanku dan ketidakberdayaanku padanya. Tanpa sedikitpun ku sembunyikan darinya. Aku menceritakan bagaimana aku yang dahulu dan aku yang sekarang. Aktifitas dan ketaatanku 5 tahun telah terkubur jauh dan telah berganti menjadi ketidaktaatan. Yang pasti perubahan sikap yang kualami kini yang membuatku ingin kembali kepada Rara yang dulu kukenal. Tanpa sadar bulir-bulir bening melancur dari kelopak mataku. Aku tak kuasa untuk melanjutkan penjelasanku. Hingga akhirnya Bela mendekapkan tubuhnya padaku sebagai respon atas ceritaku. Aku bisa merasakan kehangatannya. Kubalas pelukan itu dengan melingkarkan kedua tanganku di tubuhnya. Bella pun mengusap lembut punggungku sambil memberikan penguatan padaku. 

“Aku mulai menjauh dariNya, Bel” isakku sambil melepaskan genggaman Bela. 

“Aku berubah menjadi pribadi yang dugal sejak aku merasakan nikmatnya dunia yang sesungguhnya” tambahku sembari mengusap air mata di pelupuk.

“Aku mulai sibuk dengan diriku sendiri, tanpa peduli dengan sekitarku. Pekerjaan dan uang yang kumiliki seolah berhasil menghipnotisku untuk melupakan Tuhan” jelasku dengan penuh penyesalan.

Aku takut…aku takut  Bel,, Tuhan marah dan memalingkan wajahNya dariku. Aku takut Dia tak lagi mengasihiku. Aku ta…ku…t……

Belum lagi aku melanjutkan kata-kataku..Bela langsung membalas ucapanku. 

“Kamu tak boleh mengucapkan kata-kata itu Ra, kamu tahu Tuhan itu maha pengasih bukan?

Bukankah Ia maha pengampun? Yang mengampuni umatNya yang mau mengakui kesalahannya? tambah Bela

“Tapi, Bel! Sudikah Dia mengampuni aku yang kotor dan jijik ini?” Tegasku padanya. 

“Yang penting sekarang bagaimana kamu datang dan bersujud di hadapanNya dan menyesali setiap pelanggaranmu. Ingat yang terpenting adalah penyesalan dan kemauan untuk berubah dan kembali ke jalannya yang benar” katanya menguatku. 

Aku pun terdiam mendengarkan kata-kata Bela. Seolah mengiyakan setiap lantunannya. Kami menghabiskan waktu malam hingga sang rembulan menunjukkan wajahnya di langit dunia. Hingga tak menyadari perut kami yang hanya sejengkal ini telah keroncongan mengharapkan asupan dari sang pemiliknya.

***

Aku terbangun mendengar bunyi weker yang berada tepat di samping ranjangku. Betapa senangnya aku menyambut pagi di hari jumat nan ceria ini. Bukan sekedar karena hari ini libur, namun karena hari ini aku bisa bersama Bela merayakan Jumat Agung berdua di tanah perantauan orang. Sejak 3 tahun tinggal se-kost bersama Bela, baru kali ini aku bisa menikmati kebersamaan dengannya di hari menjelang paskah. Maklum biasanya aku dan Bela selalu pulang ke kampung halaman jika hari paskah tiba. Namun tahun ini karena alasan pekerjaan kami berdua memutuskan untuk merayakan paskah bersama. Aku dan Bela pun bergegas berangkat ke gereja dengan gaun hitam memajang. Aku begitu menikmati ibadah Jumat Agung hari itu. 

Hingga ketika acara pengampunan dosa, aku pun berdoa sangat khusyuk dan memohon ampun di hadapan Tuhan untuk semua salah dan nistaku. Kuungkapkan seluruh kegagalanku padaNya, hingga tak kuasa air mata pun menetes di pipiku. Dan aku menangis tersungkur malu dihadapan sang pencipta. Aku berharap Tuhan mendengarkan setiap doaku, dan Ia mengubahkanku. Kuaminkan doaku sambil menyeka kelopak mataku yang mulai memerah.  Kami berdua pun meninggalkan bangunan berwarna coklat kekuningan itu dengan seonggok harapan tuk perbaiki cara hidup menuju kebaikan.  

***

()

Baca Juga

Rekomendasi