Merekam Sejarah dan Bingkai Fiksi

Oleh: Yulhasni

PERISTIWA dalam rutini­tas kehidupan manusia dapat dire­kam oleh sejarah. Dalam proses pemindahan fakta ke dalam teks-teks berbentuk sejarah kemudian dikenal ahli sejarah. Meski ka­dang­kala proses pemindahan fak­ta ke dalam bentuk teks seringkali dimanipulasi (kekuasaan). Seja­rah tetaplah bagian penting dalam membentuk peradaban manusia.

Teks-teks dalam buku sejarah, dikategorikan sebagai bukti pe­ristiwa, tokoh, tempat dan lain-lain. Bukti kemudian digenerali­sasi sebagai karya ilmiah, bukan fiksi! Lantas bagaimana hubung­an fiksi dengan sejarah? Apakah teks-teks dalam karya sastra bisa dikategorikan sebagai bukti se­jarah?

Sastra merupakan pencermin­an atau representasi kehidupan nya­ta. Menurut Semi, sastra meru­pakan tiruan atau pemaduan an­tara kenyataan dengan imajinasi pengarang. Teew melihatnya se­ba­gai kenyataan yang ditulis pe­ngarang merupakan kenyataan yang terjadi. Baik pada masa lampau, masa kini, dan masa yang akan datang. Pemakaian realita masa lampau atau sejarah dalam sastra, dapat melahirkan karya sas­tra sejarah. Tempat kejadian, tokoh, peristiwa dalam sejarah di­pakai sastrawan menulis karya­nya. Dari fakta itu, lahir karya fik­si.

Kuntowijoyo menulis kedekat­an antara sejarah dengan sastra da­pat kita lihat dari berbagai ma­cam produk-produk karya sastra. Peristiwa sejarah seringkali men­jadi latarbelakang dari peristiwa yang diungkapkan oleh karya sas­tra semacam novel, puisi, cerpen, naskah/lakon dan lain lain.

Kenyataan ini mengindikasi­kan, jarak disiplin keilmuan seja­rah dengan sastra sangat tipis. Akan tetapi tetap ada perbedaan yang mutlak antara sejarah de­ngan sastra.

Secara tegas, Kuntowijoyo me­ngatakan, sejarah itu bukan sas­tra. Sejarah itu kenyataan, fak­tual. Biarpun fakta-fakta yang di­dapatkan sudah terolah dalam sub­jektifitas sejarawan.

Sastra merupakan hasil imaji­nasi pengarang. Di dalam kesim­pu­lannya, sastra bisa berakhir de­ngan sebuah pertanyaan. Berbeda dengan sejarah yang harus mem­berikan informasi yang tegas, lengkap dan tuntas dalam kesim­pu­lannya.

Menyentuh akar fiksi dan seja­rah jika dikaitkan dengan novel, akan timbul sejumlah pertanyaan besar. Sebenarnya apa definisi ten­tang Novel Sejarah?

Mungkin bisa didekati dengan pengertian berupa tulisan panjang cerita fiksi yang mengambil latar belakang sejarah. Dalam definisi ini memang ada kontradiksi, yaitu: fiksi dan sejarah. Bagaimana se­buah fiksi bisa dimaknai sebagai sejarah? Sampai batas apa sebuah sejarah bisa di-fiksi-kan. Sampai pada pertanyaan berikutnya, seberapa jauh penulis novel me­miliki tanggung jawab etis tentang akurasi peristiwa sejarah yang melatar belakangi cerita disam­pai­kannya? Apalagi bila sang pe­nu­lis novel adalah juga yang men­jadi saksi langsung mengalami pe­ristiwa sejarah itu.

Pada aspek lain, tidak semua novel sejarah memiliki kesamaan konvensi bentuk dan warna. Ada menggunakan tokoh-tokoh seja­rah sebagai tokoh utama. Tokoh fiktif sebagai pelengkap. Ada pula sebaliknya. Menggunakan tokoh sejarah sebagai tokoh bawahan, ada yang sebagian besar tokohnya adalah tokoh sejarah.

Mangalua merupakan novel yang secara konvensi warna dan bentuk memiliki kesamaan de­ngan novel Pincalang. Kedua no­vel Idris Pasaribu merekam as­pek-aspek kesejarahan di dua da­e­rah yang berbeda.

Jika pada Pincalang lebih khu­sus merekam kehidupan nelayan di pesisir Sibolga, novel Mangalua justeru merekam aspek kesejara­han di tanah Batak. Aspek keseja­rahan, dibungkus dengan aroma percintaan dengan bumbu-bumbu ‘’kawin lari.’’ 

Sebagaimana yang disebut da­lam inti novel, tradisi mangalua masih melembaga hingga seka­rang di masyarakat Batak. Hal tersebutlah yang bisa dicermati ke­tika dalam teks-teks Novel Ma­ngalua, pengarang berusaha men­jadikan sastra sebagai sumber un­tuk menganalisa sistem yang ada di masyarakat Batak. Ini sejalan dengan apa yang ditulis Luxemburg. Sastra dapat dipergunakan sebagai alat untuk menganalisa sis­tem yang terdapat pada masya­rakat.

Idris Pasaribu merekam sis­tem mangalua di masyarakat Ba­tak. Dengan seperangkat imajina­sinya tentang tokoh-tokoh cerita seperti Si Jogal dan Si boru Anting na Rumondang. Pada bagian ini, pengarang tidak sekadar mela­por­kan realitas saja.

Sebagaimana ditulis Umar Ju­nus, pengarang telah melaporkan realitas yang telah menjadi pemi­kirannya.  Di sinilah sebenarnya bagaimana fiksi dan sejarah me­miliki kedekatan.

Kedekatan tersebut tentu saja tidak bisa mengabaikan anggap­an. Sebuah karya (sastra) adalah ciptaan pengarang yang tidak ter­lepas dari kreasi imajinatif. Panda­ngan, karya sastra sebagai doku­men realitas, mesti dimaknai se­ba­gai realitas yang telah mengala­mi proses pengendapan di dalam pemikiran pengarangnya.

Mangalua dengan tokoh, alur, setting dan sudut pandang yang berada dalam bingkai cerita bisa saja sebuah dunia rekaan penga­rang. Akan tetapi, di dalamnya ada fakta tentang sejarah perla­wa­nan terhadap Belanda dan Je­pang.

Cerita pada bagian Misionaris dan Nagari memperlihatkan ke­cenderungan tersebut.

Jika merujuk sejarah wafatnya Raja Sisingamangaraja XII pada tahun 1907, teks berikut memper­lihatkan cerita terjadi di tahun 19­27-an yang dapat terlihat pada teks berikut:

Menurut para ompung kita, bu­kankah mereka yang membunuh ompu i Raja Sisingamangaraja, 20 tahun lalu? (halaman 201). Hal ini berdasarkan sudut pandang pencerita yang tergambar pada teks tersebut. Artinya, latar waktu yang digunakan pengarang meski tidak terlihat jelas dapat ditelusuri dari kutipan di atas.

Pada Mangalua, kita menang­kap adanya pengalaman penga­rang telah melalui proses pe­nga­matan. Juga perenungan yang meng­hasilkan refleksi realitas imajinatif.

Jogal dan Si boru Anting na Ru­mondang kemungkinan ha­nya­lah tokoh fiktif dalam cerita. Dia menjelma menjadi sebuah to­koh penting ketika masuk ke dalam realitas imajinatif Idris Pasaribu.

Merekam ulang atas pemba­ca­an yang dibuat Idris Pasaribu, terlihat jelas ketika beberapa teks­nya menyebut sejumlah daerah. Daerah yang tidak asing dalam pembacaan masyarakat, meski pun teks tersebut baru muncul di akhir-akhir cerita.

Jika dicermati, novel Manga­lua setidaknya memberikan satu bentuk baru dalam khazanah sas­tra Sumatera Utara, yakni perla­wa­nan terhadap tirani. Saya me­lihat kecenderungan ‘’sastra post­kolonial’’ yang dikontruksi lewat perlawanan Jogal dan kawan-ka­wan terhadap kapitalisme (baca : Belanda).

Penulis; Dosen Sastra Indonesia FKIP UMSU dan Bergiat di Komunitas Diskusi Sastra FOKUS UMSU

()

Baca Juga

Rekomendasi