Oleh: Liven R
UCAPAN 'terima kasih' adalah ungkapan rasa syukur dan penghargaan yang tulus kepada orang yang telah memberi pertolongan maupun sesuatu kepada kita.
Sejak kecil, orangtua yang berbudi biasanya telah mengajarkan kata ini secara sederhana kepada anak-anaknya tatkala mereka menerima suatu pemberian dari seseorang. Akan tetapi, dalam kehidupan sehari-hari banyak di antara kita yang melupakan, dengan sengaja atau merasa malu dan terlalu gengsi untuk mengucapkan ‘terima kasih’ atas pertolongan orang lain. Lalu, timbul pemikiran: dia sudah sewajarnya membantuku; aku membayar untuk bantuan/jasanya, untuk apa berterima kasih?
Pada sebuah kisah nyata di tahun 1860, sebuah kapal laut bertabrakan dengan sebuah kapal pengangkut kayu di Lautan Atlantik. Kapal yang berpenumpang 373 orang tersebut terombang-ambing di tengah badai yang ganas dan cuaca dingin yang ekstrem, tampaknya seluruh penumpang sulit untuk lolos dari maut.
Dalam keadaan genting itu, ada seorang pemuda bernama Specer yang berkali-kali terjun ke lautan berusaha menolong, menarik sesama penumpang yang hampir tenggelam, lalu menaikkan mereka kembali ke kapal sebisanya. Pada akhirnya, Specer berhasil menyelamatkan 17 orang sebelum dia sendiri jatuh pingsan akibat kelelahan dan beberapa luka di tubuhnya.
Pada saat Specer sadar dari pingsannya, dia tak dapat lagi berdiri; kakinya telah lumpuh dan dia terpaksa menghabiskan sisa hidupnya dengan bantuan kursi roda.
Bertahun-tahun kemudian, kisah ini diangkat kembali dan wartawan pun mewawancarai Specer. Dalam wawancara itu Specer mengungkapkan hal paling ironi dari kecelakaan laut itu adalah: tak seorang pun dari 17 orang yang pernah ditolongnya itu datang kepadanya untuk sekadar mengucapkan ‘terima kasih’.
Kita tahu, meski dengan adanya ucapan ‘terima kasih’ pun tak dapat lagi mengembalikan kondisi Specer seperti semula, tetapi kata ‘terima kasih’ yang memiliki makna ‘penghargaan’, apabila disampaikan, barangkali dapat menjadi setitik penghiburan alih-alih rasa penyesalan yang mungkin berdiam dalam hati sang penolong.
Kejadian di atas juga mengingatkan kita pada kisah Yesus yang dalam perjalananNya menelusuri perbatasan Samaria dan Galilea, pernah menyembuhkan sepuluh penderita kusta yang datang menghampiriNya. Akan tetapi kemudian hanya ada seorang Samaria saja yang datang berterima kasih dan bersyukur kepadaNya.
Mengapa kita perlu berterima kasih?
Pada suatu ketika, seorang murid (gadis cilik) di kelas bimbingan kami datang seperti biasanya. Sesaat setelah dia menguasai materi pelajarannya, aku memberinya kertas pelatihan ulangan dan memintanya untuk segera mengerjakannya seteliti mungkin.
Sepuluh menit berlalu ketika aku kembali untuk melihat apa yang telah dikerjakannya. Kosong! Belum sebutir angka dan huruf apa pun yang menempel di kertas itu. Dia terlihat sibuk meraut pensilnya!
Aku yang memang selalu perhitungan dengan setiap detik yang berjalan di kelas bimbingan, segera melihat pada jam tangan dan mulai merasa frustrasi. “Sepuluh menit sudah, kamu belum apa-apa. Jika demikian saat ujian, kamu pasti telat,” ujarku. “Tidak bisakah kamu menggunakan pensil lain dan mengurus pensil ini nanti?”
Si gadis cilik menggeleng. “Aku hanya punya pensil satu ini,” jawabnya sambil terus meraut. Baiklah!
Aku masih memerhatikan dengan perasaan tak sabar-sambil menghitung berapa soal semestinya sudah usai dengan waktu yang digunakannya untuk meraut pensil ini-terutama ketika dia kembali mengeluarkan pensilnya dari rautan dan mendesah, “Patah lagi....”. Oh, ampun!
“Kemarikan cepat!” aku mengulurkan tangan meminta pensil dari tangannya. Segera mengeluarkan mesin peraut pensil, dan srettt... srettt... srettt..., kuberikan kembali pensil yang telah tajam kepadanya.
“Laoshi, kamsia-Guru, terima kasih,” ucapnya pelan dengan senyum.
Seketika, luapan rasa kesal, rasa tak sabar, dan segenap frustrasi yang telah mendaki hampir mencapai ubun-ubun kepalaku, menjelma gletser meluncur turun mendinginkan hati. Anak ini tiba-tiba saja terlihat begitu manis! Tentu saja bukan karena ‘gila hormat’, akan tetapi kata ‘terima kasih’ ini telah menunjukkan dia tahu bersyukur atas bantuan orang lain; tahu menghargai orang lain meski hanya untuk sebuah pertolongan sederhana. Betapa ajaibnya kata ‘terima kasih’ bukan?
Pada kesempatan lain, aku telah menghadiahkan sebuah buku kepada seseorang, dengan menitipkan buku itu kepada seorang sahabat lainnya. Lalu, minggu menjadi bulan dan orang tersebut tak pernah menghubungiku untuk sekadar mengucapkan ‘terima kasih’. Sementara, tak hendak munafik, beberapa pertanyaan mulai berseliweran di kepala, dengan sebagiannya lambat-laun adalah kecurigaan yang menyebalkan karena tak mungkin ditanyakan langsung: apakah kamu ada membantuku menyampaikan buku itu untuknya?
Pada satu kesempatan, akhirnya aku mendapatkan jawaban buku itu telah sampai di tangannya dengan ‘cantik’. Nah, kecurigaan tentunya tak akan meracuni hati andai sejak awal si penerima buku ini mau dengan ringan tangan mengetikkan hanya kata ‘terima kasih’ lewat SMS saja jika dia keberatan menelepon, tentunya.
Ungkapan ‘terima kasih’ sesungguhnya memiliki banyak fungsi dalam kehidupan sehari-hari kita; memiliki kekuatan abstrak yang secara ajaib mampu menjadikan perasaan dan hubungan antar-manusia menjadi lebih nyaman dan baik; mampu meluruhkan kecurigaan dan membunuh sejumlah praduga negatif, serta membuat kita mudah mendapatkan pertolongan. Sebaliknya, tanpa ucapan ‘terima kasih’, kehidupan antar-manusia dapat menjadi apatis.
Kembali pada kisah Specer di atas, apa pendapat Anda?
Jika aku adalah Specer, barangkali seumur hidup ini aku menyesal dan bersumpah tak akan pernah lagi menolong orang lain. Aku menjadi apatis dengan keadaan sekelilingku! (Untunglah Specer bukan aku, ya? Hehehe...!) Ya, meski hampir selalu saat kita mengulurkan tangan menolong/memberi sesuatu kepada orang lain bukanlah semata demi sebuah kata ‘terima kasih’, akan tetapi adalah naluri alamiah manusia membutuhkan pengakuan dan penghargaan atas apa yang telah dilakukannya, sebagai pendorong eksistensi dirinya dalam bingkai kemanusiannya.
Karena dalam kehidupan ini tak ada seorang pun memiliki kewajiban mutlak untuk menolong kita; sebagai manusia kita juga tak memiliki hak mutlak menuntut untuk senantiasa dibantu oleh sesiapa pun, maka kita wajib meruntuhkan sikap egoistis, rasa gengsi berlebihan dan kesombongan, untuk selalu ingat mengucapkan ‘terima kasih’ sesering kita mendapatkan sesuatu: baik pertolongan besar, kecil, informasi yang berguna, pun doa dan salam, serta sapaan yang kita terima secara langsung maupun tidak.
Semoga dengan senantiasa mudah mengucapkan ‘terima kasih’; menyampaikan penghormatan dan penghargaan kepada orang lain, kita semakin kaya akan sahabat, mudah dalam segala kesulitan, dan nyaman dalam segala hubungan.
Dan, karena Anda telah meluangkan waktu Anda yang berharga untuk mengeja seluruh isi dari artikel ini, terima kasih, ya...?
* Medan, Akhir Agustus 2015
* Penulis adalah tenaga pendidik; ghostwriter/co-writer