Oleh: Ramen Antonov Purba
MASYARAKAT Karo tersebar di berbagai wilayah di Indonesia bahkan di dunia. Kondisi yang mengakibatkan terjadi percampuran budaya antar suku, terutama di daerah perkotaan. Sedikit banyak mempengaruhi tatanan adat istiadat, terutama pada adat istiadat pernikahan suku Karo. Contohnya, dalam maba belo selambar dan nganting manuk yang dulu terpisah, kini sudah disatukan. Tujuannya, untuk menghemat waktu dan biaya.
Suku Karo mempunyai tata cara pernikahan yang ber-urutan rapi. Diawali dengan Maba Belo Selambar, Nganting Manuk (Muduni/MabaLuah), Gantang Tumba/Unjuken, Kerja Nereh Empo, Mukul, sampai Ngulihi Tudung. Pernikahan pada masyarakat karo bersifat religious menganut sistem eksogami. Pria/Wanita harus menikah dengan Pria/Wanita dari luar merga-nya.
Ngulihi Tudung tahapan perkawinan suku karo yang memiliki makna penting. Berkaitan dengan etika dalam menjalin hubungan dengan keluarga mempelai wanita. Ngulihi Tudung di laksanakan setelah selesai Adat “Mukul”. Mukul merupakan prosesi yang dilakukan setelah pesta adat selesai dilakukan.
Dalam Ngulihi Tudung, pengantin wanita mengambil barang-barang miliknya di rumah orang tuanya. Acara Ngulihi tudung biasanya di hadiri oleh kerabat terdekat dari kedua belah pihak.
Selesai makan bersama, ada kesempatan untuk menyampaikan petuah-petuah. Sang ibu maupun pengantin saling menangis tanda haru. Secara resmi sang anak dilepas dari tanggung jawab orang tua, seperti berpisah. Padahal semenjak lahir sampai berumah tangga hidup bersama orang tua (Bapak/Ibu).
Kesakralan terlihat begitu besar dalam Ngulihi tudung. Anak wanita dikatakan sudah dewasa, dilepaskan untuk ikut dengan suami yang sudah menikahinya.
Air mata orang tua bukan karena sedih berduka, tetapi bersukacita. Anak yang dibesarkannya sudah berani untuk mengambil sebuah keputusan. Membangun mahligai rumah tangga yang baru.
Dibandingkan dengan berumah tangga secara modern sekarang, ada beberapa poin yang bisa dicatat. Pertama di rumah orang tua laki-laki. Kedua di rumah orang tua perempuan. Ketiga langsung kerumah yang telah di sediakan pihak laki-laki. Jelas menggambarkan sikap dewasa dari kedua mempelai.
Tata Cara
Dalam budaya karo, pasangan baru menikah dilarang meninggalkan kampungnya selama 4 hari 4 malam. Di katakan masa “Rebu” (masa erpantangen nadingken kuta/masa tidak bisa meninggalkan kampung).
Setelah “Rebu” 4 malam, maka di lakukan “Ngulihi Tudung”.
Ngulihi Tudung, laki-laki dan perempuan yang baru menikah, orang tua laki-laki dan anak berunya datang membawa makanan. Makanan “Tasak Telu”. Diberikan ketika hendak pulang ke rumah mempeai laki-laki.
Anak beru, mereka yang secara adat merupakan pihak yang mempersiapkan segala kebutuhan. “Tasak Telu” makanan khas Karo berbahan ayam kampung dicampur kelapa parut.
Dalam prosesi “Ngulihi Tudung” yang di lakukan :
1. “Erdalin Kampil Silima” (sirih dalam lima tempat). Di berikan kepada pihak perempuan melalui “Anak Berunya“ dan biasanya “Kampil Sisada”. Diberikan kepada “Kalimbubu Singalo Ulu Emas” (Unsur dalam sangkep nggeluh masyarakat karo).
2. Nasi peradatan telah di buat dan sayurnya biasanya “Manuk Tasak Telu, Cipera Manuk”. Piring peradatan tidak boleh ada “Sayat-sayatna”(potongan-potongan) dan tidak boleh meser (pedas).
3. Yang melaksanakan “Ngulihi Tudung ”, yaitu:
- Pihak Perempuan. yaitu:
- Sukut
- Senina Kuranan
- Anak Beru
- Kalimbubu Singalo Bere-bere
- Puang Kalimbubu(Perninin)
- Perbibin
- Pihak Laki-laki, yaitu:
- Sukut
- Senina Kuranan
- Singlo Ulu Emas
- Singalo Perkempun
- Anak Beru
Pihak pelaksana akan mendapatkan nakan (nasi) peradatan dari pihak keluarga mempelai. Setelah selesai, akan dilaksanakan penyampaian petuah-petuah. Secara simbolis dilakukan pengambilan barang-barang milik pribadi mempelai.
Terlupakan
Seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, prosesi “Ngulihi Tudung” terlupakan. Prosesi adat pernikahan lebih dipersingkat waktunya. “Ngulihi Tudung” tidak dianggap penting. Padahal maknanya sangat besar. Terkait hubungan orang tua dan keluarga.
Dalam konteks agama mengajarkan hormat dan jangan lupa jasa-jasa orang tua. Karena kita tidak akan bisa membalasnya. Sejatinya adat budaya harus dilestarikan. Karena menjadi benang merah perekat sekaligus penghubung.
Kaum muda Karo, kelak melaksanakan pernikahan dan membina keluarga, “Ngulihi Tudung” jangan dilupakan. Sangat berpengaruh kepada keluarga kedepan. Dengan harapan, hubungan dengan orang tua semakin baik lagi.
Penulis; Staf UPT Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat di Politeknik Unggul LP3M Medan, tertarik dengan seni dan budaya Karo