Oleh: Reza Fahlevi
Masjid Jamik Indrapuri yang berada di Desa Pasar Indrapuri, Kecamatan Indrapuri, Aceh Besar merupakan salah satu bangunan kuno yang menarik. Apalagi jika melihat dengan seksama bagian pondasinya. Ternyata pondasinya merupakan bekas benteng pertahanan dan candi. Pada sekitar abad ke-10 Masehi, kawasan tersebut merupakan pusat Kerajaan Hindu, di masa kejayaannya di Aceh.
Masyarakat lebih sering menyebutnya sebagai “Masjid ‘Tuha’ (tua) Indrapuri”. Sebelum dijadikan tempat ibadah bagi umat Islam, merupakan bagian dari tiga benteng dan candi pusat Kerajaan Hindu yakni Kerajaan Lamuri yang berdiri di Aceh. Adapun dua candi lainnya, Indrapurwa terletak di Kecamatan Peukan Bada dan Indrapatra di Malahayati, yang masih di kawasan Aceh Besar.
Awalnya, masjid ini dibangun pada masa Kerajaan Sultan Iskandar Muda, sekitar abad 19 Masehi atau tahun 1608 Masehi. Dulunya masih beratapkan daun rumbia, tidak seperti sekarang sudah dipasang seng.
Sarnadi (39), pengurus Masjid Indrapuri, kepada Analisa menyebutkannya, benteng dan candi itu, sebelum diubah jadi masjid, telah lama terbengkalai. Tepatnya setelah runtuhnya Kerajaan Hindu di kala itu. Saat dibangun jadi masjid, pondasi benteng masih tetap utuh, hanya bagian candi yang dipangkas. Lebar pondasi yang mengelilingi masjid itu sekitar 1 meter lebih, dengan luas bangunan yakni 18,80 meter persegi dan berada di lahan seluas 33.875 meter persegi.
“Bahan material pondasi di antaranya batu, batu kapur (tanah liat), lalu dicampur kuning telur dan daun panjo (jenis pohon kapas), supaya lebih merekat dan kuat,” jelas pria yang juga aktif di Juru Pelihara Peninggalan Purbakala di Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Aceh.
Dia juga mengatakan masjid dengan pondasi tinggi dan berkolong-kolong itu sudah pernah dipugar supaya terlihat lebih rapi dan indah.
Bangunan Utama
Secara keseluruhan bangunan utamanya berkonstruksi kayu dan ukiran. Sejak dibangun, hingga kini, bangunan masjid terlihat kokoh. Hanya beberapa batang kayu saja yang diganti seiring berjalannya waktu. Sebanyak 36 tiang penyangga untuk menopang atap dengan berbagai ukuran, itu berbahan kayu batang pohon nangka, yang merupakan kayu dari hutan Aceh. Lantai tempat melakukan salat, sudah dipasangi keramik, tepatnya pada lantai ke empat candi. Dulu, menurut beberapa sumber, di bawah lantai tersebut, ada lantai lagi. Sedangkan lantai bagian luar yang mengelilingi ruang lingkup masjid sekarang, dibuat dengan paving blok dan semen.
Di depan pintu masuk masjid, disediakan sebuah tempat wudhu berbentuk bak berukuran sekitar 1,5 x 3 meter. Sehingga, setelah melepaskan alas kaki dari tempat wudhu itu, jemaah bisa langsung masuk ke dalam masjid. Di samping kanan bangunan utama juga berdiri sebuah menara berkontruksikan kayu.
Masjid yang berada di sekitar 25 kilometer arah Timur Kota Banda Aceh itu, tepatnya ada di Pusat Pasar Indrapuri. Tapi, kalau dilihat dari jarak jauh, persis seperti bangunan candi, dengan bentuk persegi empat dan atapnya tiga tingkat mengerucut ke atas serta memiliki celah-celah udara. Tingginya diperkirakan hampir 12 meter.
Dituturkan Sarnadi lagi, bentuk bangunan masjid yang mengerucut seperti itu memang merupakan ciri arsitektur kuno di masa lalu. “Karena, kalau kita lihat rata-rata masjid peninggalan zaman dulu, khususnya yang ada di Aceh, bentuknya memang seperti itu,” ujarnya
Asal Mula Candi
Asal mula berdirinya benteng dan candi berawal dari ketika Kerajaan Lamuri didatangi gerombolan bajak laut asal Cina. Gerombolan tersebut dipimpin seorang wanita bernama ‘Putroe’ Neng (Putri Neng). Kedatangan ‘Ratu bajak laut’ itu disebut ingin menjadikan Kerajaan Lamuri sebagai negeri taklukan. Namun, Raja Lamuri saat itu menolak mentah-mentah keinginan ‘Putroe’ Neng. Sehingga terjadilah perang. Tentara kerajaan kalah saat menghadapi bajak laut yang sudah berpengalaman.
Dalam keadaan kritis itu, Kerajaan Lamuri mendapat tawaran bantuan dari Teungku Abdullah Lampeuneuen dan Meurah Johan. Dengan senang hati Raja Lamuri menerima tawaran tersebut. Dengan kekuatannya, akhirnya gerombolan bajak laut itu mampu dikalahkan. Sebagai ungkapan terima kasih, Raja sukarela menganut agama Islam, begitupun dengan semua rakyatnya. Setelah itu, kekuasaannya resmi menjadi Kerajaan Islam pada 1205 M. Teungku Abdullah Lampeuneuen pun memberi gelar Raja tersebut sebagai ‘Sultan Alaiddin Johansyah Dhilullah Fil’alam’.
Saat itu, candi-candi tak terurus karena rakyat tidak lagi beragama Hindu. Namun, tidak ada yang berani mengusiknya. Dua candi lainnya, Indrapatra dan Indrapurwa runtuh akibat tak terurus. Sedangkan Candi Indrapuri, kala itu masih kokoh sehingga rakyat mengusulkan kepada Sultan agar candi itu dimanfaatkan sebagai masjid. Di masa Sultan Iskandar Muda, bangunan itu berhasil diubah jadi masjid, walaupun bentuknya tak seperti bentuk rumah ibadah umat Islam pada umumnya.
Masjid Indrapuri, juga menjadi saksi bisu sejarah penting pada masa penjajahan Belanda, saat agresi militernya kedua tahun 1874. Belanda saat itu menguasai Istana Dalam Kerajaan Aceh Darussalam di Banda Aceh. Kala itu, Tuanku Alaidin Muhammad Daud Syah yang masih belia dilantik sebagai Sultan Kerajaan Aceh di Masjid Indrapuri pada tahun 1878. Menggantikan Sultan Alaidin Mahmud Syah (1870-1874), karena sudah meninggal. Sultan Muhammad Daud Syah sendiri merupakan Sultan Aceh terakhir.
Dari seluruh informasi sejarah tersebut, Sarnadi mengatakan bangunan religi ini salah satu warisannya, yang menjadi cagar budaya. Masyarakat setempat pun masih mendirikan salat berjamaah lima waktu. Masjid kuno itu juga sudah menjadi tempat wisata religi.
“Banyak wisatawan yang datang ke masjid ini. Bukan hanya warga lokal, tapi warga negara asing (WNA), salah satunya Malaysia. Setiap wisatawan yang datang,mereka, merasa kagum saat melihat bangunannya,” pungkasnya.