Oleh: Sari Ramadhani.
SIAPA yang tidak tahu Pasar Rawa Bening? Tak hanya penghobi batu cincin, orang awam dan banyak masyarakat Indonesia mengetahui pasar yang terletak di Jalan Bekasi Barat, Rawa Bunga, Jatinegara, Jakarta Timur. Pasar ini menjadi cerminan geliat dan eksistensi pusat gemstone terbesar di negeri ini.
Meskipun pada kenyataannya saat ini gemstone dapat dikatakan tak terlalu diminati lagi, namun Pasar Rawa Bening tak pernah sepi pengunjung. Ada saja transaksi jual beli yang berlangsung di sini. Pengunjungnya pun beragam. Tua, muda, lelaki, wanita, penghobi dan berbagai komunitas masyarakat berkumpul di tempat yang tak terlalu luas itu.
Lokasi Pasar Rawa Bening sangat strategis bagi para pengunjung, baik dari Bekasi sendiri, maupun dari luar Jakarta. Hal itu disebabkan pusat batu cincin tersebut berada tepat di depan Stasiun Jatinegara. Sebelumnya, pusat belanja batu cincin yang disebut Jatinegara Gems Centre (JGC) ini adalah pusat belanja pakaian.
Pada 1980an, para pedagang batu cincin akik di Rawa Bening hanya berdagang di sebagian lahan parkir pasar tersebut. Keadaan itu karena jumlah pedagang hanya berjumlah kira-kira 20an. Seiring berjalannya waktu, pada 1990an, keberadaan pedagang batu di Rawa Bening semakin berkembang dan pasar tersebut menjadi pusat penjualan batu terbesar di Indonesia.
Tempat ini banyak dikunjungi orang-orang dari luar kota. Ketua Asosiasi Pecinta Batu Sumatera Utara (APBPSU), Marojahan Batubara pun membenarkan kondisi tersebut. Katanya, pasar batu yang ada di Medan terinspirasi juga dari JGC itu, meskipun belum sebesar yang ada di Jakarta.
"Wah kalau penjualan batu di sana tidak pernah sepi. Orang-orang pecinta batu dari luar kota pun banyak berkumpul, ada yang dari luar kota berjualan di sana, ada yang hanya sekadar berkunjung, ada juga yang membeli. Apalagi masa kehebohan seperti kemarin itu, Rawa Bening seperti tak tidur," ujar pria paruh baya tersebut.
Saat ini, ada ratusan orang yang berkecimpung untuk mengadu nasib di JGC. Berbagai jenis, ukuran dan warna gemstone dihadirkan di sini. Bagi pecinta gemstone, tempat ini bagaikan surga yang dapat memanjakan mata, hati dan pikiran mereka.
Seniman poles atau penggosok batu cincin dengan mudah ditemukan di tempat ini. Para pedagang batu menjajakan begitu saja dagangan mereka di lantai dasar yang panas dan agak kumuh. Berbagai tipe dan latar belakang masyarakat berkumpul di sana, hanya untuk sekadar bersilaturahmi dan berbincang mengenai batu yang menjadi pusat perhatian mereka.
Pada 2010, tempat ini menjadi sorotan publik. Bermacam-macam batu permata yang ada di seluruh daerah di Nusantara berpusat di JGC Rawa Bening. Semua batu yang terkenal saat ini seperti Bacan, Garut Pancawarna, Sungai Dareh, Lumut Aceh, Kalimaya, dan batu-batu lainnya yang tidak dapat disebutkan satu persatu berserakan dan mudah ditemukan.
Tak hanya batu cincin, tempat ini juga menyediakan aksesoris pendukung dalam jumlah besar untuk batu cincin, seperti pengikat perak, alpaka, tembaga ataupun titanium. Mungkin untuk ukuran jumlah, pasar gemstone di daerah lain tidak dapat menyuplai seperti yang ada di JGC Rawa Bening.
Salah seorang wanita, Dariyah (31) yang sudah berjualan di JGC Rawa Bening selama tujuh tahun lebih, mengaku kehidupannya saat ini sebagian besar merupakan hasil mengadu nasib di Rawa Bening. Ia berdagang jauh sebelum masa kehebohan batu dua tahun belakangan.
Ia tak hanya berjualan batu cincin, namun juga menjajakan aksesoris wanita berhiaskan batu-batu indah, seperti bros untuk kerudung dan baju. Brosnya mayoritas dipadukan dengan Batu Fossil. Untuk satu buah peniti bros berhiaskan Batu Fossil dibanderol dengan harga Rp 40 ribu. Saat ini, yang termahal ia jual seharga Rp150 ribu.
"Saya sudah tujuh tahun berjualan di sini. Awalnya dulu hanya bantu-bantu kakak. Namun, setelah modal cukup, saya memberanikan membuka gerai untuk menjual sendiri batu dan aksesori berhiaskan batu akik," ujar wanita berkerudung dan berkulit sawo matang itu.
Batu yang ia jual ada yang asli dan ada yang sintetis. Omzetnya meledak saat masa kehebohan batu dua tahun belakangan ini. Ia sempat meraup penjualan sebesar Rp100 juta per hari saat batu menjadi benda yang paling dicari masyarakat Indonesia. Paling sedikit Idar mampu menghasilkan Rp 30 juta saat booming kemarin.
Namun, gemstone yang ia jual mengalami penurunan. Hal itu disebabkan pelemahan ekonomi secara global. Saat ini, Idar hanya mampu meraih omzet paling banyak Rp 5 juta dan paling sedikit Rp1 juta dalam sehari.
"Kalau dulu toko saya tak pernah sepi pembeli. Aksesori berhiaskan batu tersebut diminta oleh pelanggan dari luar Jakarta, seperti daerah Jawa, Aceh dan Medan. Sekarang sudah berbeda dan terasa sepinya. Namun tetap ada saja yang beli di toko saya," ceritanya sambil mengenang masa kejayaan batu dua tahun belakangan.
Wanita asli Jawa Tengah ini optimis usaha dagang batunya terus berjalan lancar. Karena ia yakin, selalu ada orang yang mencari batu, apalagi aksesoris untuk perempuan.
"Saya selalu optimis usaha ini dapat lebih maju. Supaya dapat menghidupi keluarga dan untuk melanjutkan menyekolahkan anak saya yang saat ini masih duduk di bangku SMP. Harapannya pemerintah lebih mendukung untuk inovasi dalam berjualan batu akik," tandas dari wanita yang memiliki suami pedagang sendal ini.