Oleh: Ifwanul Hakim
Semasa orang Eropa masih menjadi penjajah, semua penduduk Nusantara dan Semenanjung Malaya mereka sebut sebagai Bangsa Melayu. Kawasan itu kini lebih populer dikenal sebagai Asia Tenggara. Mencakup Indonesia, Malaysia, Thailand, Singapura, Brunai Darussalam dan Filipina. Bersama puak Melayu di kawasan ini berkembang pula berbagai kesenian, termasuk musik.
Musik bagi masyarakat Melayu bukanlah hanya sekedar kreasi artistik. Tidak juga sekedar hiburan atau bersantai, tetapi musik itu bersatu dengan berbagai aspek kebudayaan. Dia bersatu juga didalam sistem kepercayaan. Bersatu juga didalam struktur sosial, bahkan didalam aktivitas perekonomian suku bangsa itu (T. Luckman Sinar Basyarsyah II, 2002)
Mulanya, musik Melayu hanya terdiri dari alat musik ritmik (tepukan tangan atau rebana) dan vokal (senandung) saja. Dimainkan untuk mengiringi upacara ritual (animisme) seperti ritual mengusir ‘puako’, tolak bala, atau memanggil ikan.
Barulah kemudian berkembang kepada alat musik tiup seperti sarune dan seruling. Alat musik gesek seperti rebab serta tambahan seperti gong, gendang ronggeng dan ceracap. Musik Melayu mulai bermain-main di wilayah Istana Kerajaan. Mengiringi teater tradisional seperti Makyong dan Menora.
Akulturasi
Kawasan Melayu (Asia Tenggara) berada pada jalur lalu-lintas dagang yakni Selat Malaka dan Laut Cina Selatan. Masyarakat Melayu banyak mendapat pengaruh bangsa-bangsa lain seperti Cina, Siam, Arab, India, Persia dan Portugis. Begitupun dalam ihwal musik. Proses akulturasi (percampuran budaya) musikal menjadi hal yang tak terhindarkan.
Oleh bangsa Arab, Melayu diperkenalkan pada alat musik Gambus serta tangga nada Arabes (Maqam). Ditangan orang Melayu kehadirannya dikreasikan menjadi zapin, hadrah, marhaban serta qasidah. Tangan dingin Ahmad Baqi berhasil meleburkan dua elemen musik ini (Arab dan Melayu). Menjadi bentuk komposisi baru. Komponis asal Sumatera Utara ini kemudian mendapat gelar Doctor Honoris Causa. Berkat karya-karya musik ‘Irama Melayu Padang Pasir ’ yang dia ciptakan.
Portugis ‘menyumbangkan’ akordion dan biola. Kedua instrumen ini menjadi ‘Populer’ dalam ansambel musik Melayu hingga hari ini. Dua alat musik yang kerap dianggap instrumen khas Melayu. Di tangan Melayu, Akordion tidak lagi bernuansa polka, Biola juga tiada bernada sonata. Dia justru mengalun dalam cengkok dan grenek, bergaya Melayu.
Kehadiran akordion dan biola membawa cerita baru dalam khazanah musik Melayu. Para seniman Melayu kemudian berlomba menciptakan komposisi Musik dalam ensembel ‘baru’ ini. Baik dalam bentuk musik tarian maupun format lagu. Di Deli dan Serdang banyak tercipta musik tarian. Mak Inang Pulau Kampai, Mak Inang Kayangan dan Tanjung Katung. Paling dikenal ialah Lagu Dua Pulau Sari atau Serampang XII.
Selanjutnya para pencipta lagu ‘Pop Melayu’ juga tak ketinggalan. Di Indonesia, Husein Bawafie mencipta lagu ‘Seroja’. Mashabi menulis sekaligus menyanyikan lagu ‘Untuk Bungamu’ dan ‘Renungkanlah’. Said Effendy berjaya dengan lagu-lagu Melayu seperti ‘Fatwa Pujangga’, ‘Bahtera Laju’ serta ‘Timang-Timang.’
Melangkah lebih jauh, di Negeri jiran, Tan Sri P. Ramlee memainkan lagu-lagu ciptaannya lewat media film. Beberapa di antaranya seperti Azizah, Kalaulah Kaca Menjadi Intan dan Engkau Laksana Bulan. Berpuluh tahun kemudian, semangat itu diteruskan Pak Ngah dengan lagu-lagu ciptaannya. Laris-manis di pasar Asia lewat dendangan suara merdu Siti Nurhaliza.
Musik Melayu kembali digoda oleh budaya lain. Tahun 1958 musik India masuk ke Indonesia melalui film Bollywood. Para seniman Orkes Melayu tak kuasa menolak, namun juga tak hendak takluk.
Akhirnya mereka memilih berdamai dengan memadukan musik Melayu dan India. Menghasilkan genre baru bernama Dangdut. Dimulai oleh ‘Boneka India’ Ellya Khadam lalu ditegaskan oleh Rhoma Irama bersama Soneta Grup.
Seperti tak habis berkesudahan, akulturasi terus terjadi. Di Riau, Eri Bob menggagas musik Melayu (instrumental maupun musik vokal) ‘berwajah’ Jazz. Bersama grupnya Geliga dan Bujanggi, dia membalut kemolekan ‘tutur’ nada Melayu dalam progresi harmoni Jazz yang berani. Lenggok Melayu berpadupadan dengan Swing, Bebop, serta Fusion menghasilkan musik Melayu yang lebih ‘segar’.
Di Medan, Saiful Amri dan Laila Hasyim menyandingkan musik Melayu dengan rengget Karo. Mereka menyebutnya ‘Melayu Dua Dimensi’. Lagu ‘Pucuk Pisang’ sempat menjadi hits untuk beberapa waktu. Menambah perbendaharaan lagu Melayu di tanah Deli.
Selanjutnya pasar musik Melayu Sumatera Utara digebrak oleh seorang ‘Batak’ dari Tanjung Balai. Djalaut Hutabarat atau Wak Uteh mengenalkan musik Melayu gaya ‘baru’ bernama ‘Roncah’. Jika lagu Melayu ‘konvensional’ dicipta dengan lirik yang berpantun, berima, berumpama, Wak Uteh tidak demikian.
Dia hadir dengan lirik yang lugas, humoris. Jujur dalam menceritakan kehidupan sosial puak Melayu pesisir Sumatera Utara. Beberapa di antaranya seperti ‘Wak Uteh’. ‘Ikan Asin’, ‘Tutur Melayu’ atau ‘Hilang Bini Dari Kulambu’ menjadi nasehat sekaligus sindiran bagi dunia Melayu.
Secara musik, Wak Uteh tidaklah terlalu ‘Melayu’. Sebab dia memang bukan seorang Melayu. Wak Uteh membahasakan atau menyajikan musik Melayu itu dengan gaya ‘khas’ orang Melayu pesisir. Sederhana, tidak memaksakan diri menjadi ‘modern’. Wak Uteh menjadi inspirasi seniman Melayu khususnya di Sumatera Utara untuk menciptakan lagu bergaya serupa.
Tak bisa disangkal, musik Melayu dengan segala ciri dan kekhasannya adalah produk sinkritisme budaya musikal. Prosesnya terjadi melalui kontak dan interaksi budaya global, berlangsung lama dan masih terus berlanjut sampai saat ini. Proses revitalisasi atau pembaruan memang harus dilakukan terus menerus agar tidak terjadi kebosanan.
Musik melayu bagaimanapun bentuknya, sama-sama diperlukan. Saling mengisi dalam pelestarian dan pengembangan musik itu sendiri. Tinggal lagi, bagaimana agar khazanah musik Melayu memiliki isi dan berisi? Pelaku dan pemakai musik hendaklah mengacu pada musik melayu lama dalam mengarang atau menggubah musik baru.
Para seniman Melayu terdahulu telah menunjukkan sikapnya yang bijak dalam menghadapi perkembangan zaman. Setiap kebudayaan ‘asing’ yang datang diadopsi. Diolah, lalu diperlakukan dengan cara sendiri. Bukan sebaliknya, terbuai zaman hingga menepikan budaya sendiri. Hanyut terbawa arus.
Penulis; Sarjana Pendidikan Musik Unimed