Tentang Satuan Pendidikan Kerja Sama

Oleh: Supri Harahap.

Dittjen Dikdasmen Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan beberapa kali telah menyelenggarakan sosialisasi keberadaan Satuan Pendidikan Kerja Sama di tanah air. Dinas Kabupaten/Kota yang memiliki eks Sekolah Internasional tersebut diundang. Di Kota Medan sendiri saat ini ada empat SPK yakni Medan Independent School (MIS) yang merupakan lembaga pendidikan Amerika. Kemudian ada Sampoerna Academy (sebelumnya Singapore Piaget Academy), Prime One School dan Singapore Indonesia School (SIS). Berikut ini catatan dari pertemuan Workshop Pembinaan SPK yang dilakukan Ditjen Dikdasmen baru-baru ini di deJava Hotel Bandung yang saya ikuti.

Semenjak tahun 60-an keberadaan pendidikan dan pengajaran asing telah ada di tanah air. Hal itu diatur dalam Undang-undang nomor 48/1960 tentang pengawasan pendidikan dan pengajaran asing. Undang-undang tersebut masih memiliki aturan turunan yakni SK Bersama Tiga Menteri tentang keberadaan sekolah perwakilan diplomatik, sekolah gabungan perwakilan diplomatik dan sekolah internasional. SK tersebut masih diperkuat dengan SK Mendikbud nomor 0184/0/1975 tentang Pedoman Pelaksanaan Pendirian dan Penyelenggaraan Sekolah Perwakilan Diplomatik, Sekolah Gabungan Perwakilan Diplomatik dan Sekolah Internasional. Pada waktu itu telah ada 34 sekolah internasional dengan izin tanpa batas waktu.

Kemudian, pada tahun 1989 terbit Undang-undang nomor 2 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang juga mengatur diakuinya eksistensi perguruan swasta dengan salah satu ciri khas yakni berperedikat Internasional. Masa izin sekolah berlaku 5 tahun untuk 18 sekolah Internasional tapi awalnya mengaku sebagai sekolah nasional plus. Hanya saja UU ini tidak diikuti PP (Peraturan Pemerintah) dan Permendikbud sebagai aturan lebih khusus.

Selanjutnya, terbit Surat Keputusan Dirjen Dikdasmen pada tahun 2000 tentang uji coba masuknya peserta WNI di sekolah internasional menggunakan Kurikulum IB di 7 sekolah dari 34 sekolah Internasional yang mempunyai izin tanpa batas waktu. Peraturan yang terakhir ini berdampak terhadap banyaknya sekolah yang mengajukan izin pendirian. Sekolah-sekolah ini mengajukan permohonan izin pendirian kepada Dirjen Dikdasmen. Dirjen Dikdasmen kemudian melaporkan kepada Mendiknas. Pada 20 Oktober 2008 keluar disposisi Mendiknas yang isinya memberikan izin sementara selama 2 tahun kepada 57 sekolah di luar yang mendapat izin tak terbatas dan izin 5 tahun.

Pasal 77 Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas mencabut UU No. 48 tahun 1960 tentang Pengawasan Pendidikan dan Pengajaran Asing. Seterusnya, Permendiknas No. 18 tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Pendidikan oleh Lembaga Pendidikan Asing di Indonesia dengan mengacu Rancangan PP tentang Penyelenggaraan dan Pengelolaan Pendidikan. Di sini sudah ada penegasan tidak dikenal lagi adanya sekolah internasional.

Dengan tidak diperkenankannya lagi sekolah internasional maka ada opsi yang dapat dipilih sebagai alternatif pengganti antara lain: menjadi sekolah standar atau kategori mandiri. Atau bisa menjadi satuan pendidikan berbasis keunggulan lokal. Ketiga, bisa menjadi satuan pendidikan bertaraf internasional (SBI). Tapi SBI kemudian telah diputus oleh Mahkamah Konstitusi tidak bisa beroperasi menyusul gugatan masyarakat. Kelima, bisa menjadi satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh perwakilan negara asing atau satuan pendidikan kerja sama (SPK).

Masalah yang dihadapi SPK antara lain sulitnya menggabungkan sekolah nasional dan asing karena sekolah asing harus terakreditasi di negara asalnya tetapi juga harus diakreditasi secara nasional. Selain itu, kemungkinan mengatur manajemen terutama komposisi investasi dan pengelolaan tidaklah semudah sekolah reguler biasa. Pada PP 17/2010, SPK boleh menerapkan sistem kurikulum asing namun di sisi lain menjadi kontradiktif dengan standar nasional pendidikan (SNP), juga tidak sinkron dengan sistem akreditasi nasional. Biasanya yayasan pengelola sekolah internasional itu adalah yayasan nasional sehingga sulit untuk dialihkan menjadi yayasan perwakilan negara asing.

Arah kebijakan

Arah kebijakan kerja sama SPK ini secara detail telah diatur pada PP 17/2010. Pasal-pasalnya secara eksplisit mengatur penyelenggaraan kerja sama bidang pendidikan ini antara lain harus terakreditasi atau diakui di negara asalnya. Lembaga pendidikan asing ini haruslah bekerja sama dengan lembaga pendidikan Indonesia. Syarat penyelenggaraannya antara lain: memperoleh izin dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, mengikuti standar nasional pendidikan (SNP), peserta didik WNI harus mengikuti Ujian Nasional serta sekolah mengikuti akreditasi dari Badan Akreditasi Nasional.

Syarat lain yang juga diatur seperti jumlah tenaga pendidik dan pendidik. Pendidik (guru) WNI minimal 30 persen dan tenaga kependidikannya 80 persen. Sedangkan sistem renumerasi menerapkan sistem berkeadilan. Aturan tersebut terkait dengan sistem penyelenggaraan.

Sistem pengelolaan yang dapat dilaksanakan antara lain dalam bentuk pertukaran pendidik dan tenaga kependidikan, pertukaran peserta didik, pemanfaatan sumber daya, penyelenggaraan program kembaran, program ekstrakurikuler dan bentuk kerja sama yang lain yang dianggap perlu.

Adapun bentuk kerja sama yang dilakukan adalah kerja sama Kemdikbud dengan kedutaan besar negara asing. Bisa pula antara Kemdikbud dengan LPA yang diakui di negera asalnya. SPK pada setaiap jenis dan jenjang dapat menggunakan lebih dari satu kurikulum internasional atau melakukan penggabungan antar kurikulum internasional yang digunakan. Sementara itu, penerapan kurikulum nasional di SPK dengan kewajiban sekurang-kurangnya pembelajaran mata pelajaran Pendidikan Agama, Pendidikan Kewarganegaraan, dan Bahasa Indonesia.

Mengenai akreditasi yang dijalankan adalah kerja sama LPA dengan BAN dengan prinsip bahwa penilaian akreditasi dilakukan oleh international curriculum privader dimana Kemdikbud mendampingi prosesnya dan menerima laporan. Instrumen akreditasi oleh international curriculum privader juga mengikutsertakan komponen akreditasi tambahan dari Kemdikbud. Evaluasi yang dilakukan international curriculum provider menjadi dasar penilaian akreditasi oleh BAN.

Mengenai perizinan, meski jumlah SPK sedikit dibandingkan sekolah reguler namun setelah adanya regulasi terbaru tentang sekolah eks internasional ini maka perihal perizinan menjadi lebih lengkap dan rinci. Sedikit tapi jelimet. Jika sebelumnya perizinan terpusat pemerintah pusat (Kemdikbud), sekarang mesti ada rekomendasi dari pemerintah daerah (Dinas Pendidikan) tempat SPK itu berada. Lebih jauh tentang SPK ini diatur dalam Permendikbud No. 31 tahun 2014 tentang Kerja Sana Penyelenggaraan dan Pengelolaan Pendidikan oleh Lembaga Pendidikan Asing dan Lembaga Pendidikan Indonesia. Peraturan ini diikuti aturan turunannya yang lebih teknis yakni Peraturan Dirjen Dikdasmen Kemdikbud No. 407/D/PP/2015 tentang Juknis Kerja Sama Penyelenggaraan dan Pengelolaan Pendidikan Dikdasmen oleh LPA dan LPI.

Pengawasan SPK meliputi pemantauan dan evaluasi, supervisi, pelaporan dan tindak lanjut pengawasan dilakukan Kemdikbud dan Dinas Pendidikan sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Cakupan pengawasan ditujukan pada administrasi dan teknis edukasi. Pemantauan dan evaluasi dilakukan secara teratur berkesinambungan untuk menilai efesiensi, efektifitas dan akuntabilitas. Pemantauan dan evaluasi juga dilakukan terhadap sistem pendidikan, meliputi: peserta didik, kurikulum, proses pembelajaran, pendidik, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, penilaian, pengelolaan dan pembiayaan.

Unsur yang telibat dalam pemantauan dan evaluasi tersebut adalah Setjen Kemdikbud, Inspektorat Jenderal dan Ditjen Dikdasmen. Di daerah bisa melibatkan Dinas Pendidikan dan Dinas Tenaga Kerja Propinsi. Di kabupaten/kota melibatkan Dinas Pendidikan, Dinas Tenaga Kerja, dan Kantor Imigrasi. Pelaksanaan pemantauan dan evaluasi menggunakan instrumen yang disusun oleh Ditjen Dikdasmen Kemdikbud.

Sistem Penilaian

Penyelenggaraan UN seperti yang disinggung terlebih dahulu, SPK memiliki catatan-catatan. Pada Surat Edaran Dirjen Dikdasmen No. 02/D/SE/2016 tanggal 1 Maret 2016 tentang Penyelenggaraan UN pada SPK antara lain dinyatakan bahwa pembinaan SPK merupakan kewenangan Kemdikbud. Seterusnya juga dinyatakan bahwa pengawasan dalam pelaksanaan UN dilaksanakan oleh sekolah masing-masing dan berkoordinasi dengan Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota setempat. Serta, ijazah sebagai tanda kelulusan bagi SPK dikeluarkan oleh masing-masing SPK.

Tampaknya belum semua ketentuan dan aturan penilaian yang dipersyaratkan dalam UN terpenuhi SPK pada masa transisi ini. Adanya tagihan nilai semester 1, 2, 3, 4, dan 5 misalnya, ternyata kurikulum privader yang memakai IB misalnya tidak melaksanakan sistem ulangan umum semester. Kurikulum IB lebih menerapkan investigasi tugas kelompok (semacam proyek) yang prosedurnya lebih rinci dan durasinya tidak sama dengan sistem ulangan harian, ulangan tengah semester dan ualangan umum semester seperti yang kita kenal pada kurikulum nasional. Mereka menamakannya Unit of Inquiry.

Satu unit pembelajaran biasanya dimulai dengan pretest. Setelah itu, langsung terjun melakukan langkah-langkah kerja. Satu unit pembelajaran itu berkait berkelindan dengan banyak aspek, semacam pembelajaran tematik yang kita kenal. Semua proses dan prosedur yang dilalui siswa saat investigasi langsung akan dicatat oleh guru. Tim pembelajar melakukannya tidak saja di sekolah. Bisa harus pergi ke luar kota bahkan ke kota lain. Waktunya bisa seminggu. Bukan saja melakukan saja tetapi boleh jadi mendanai proyek. Siswa boleh minta dukungan dana dari keluarga. Ini gerakan CSR sederhana dari mereka. Dalam melakukan, tim tidak saja diawasi guru tetapi bisa bermitra dengan LSM dari luar yang turut membantu.

Pada ujung tahapan pembelajaran kembali ada finaltest. Oleh karena itu, penilaian lebih banyak direfleksikan dalam bentuk narasi (penjelasan) tentang apa yang dialami siswa, apa yang telah dikuasai dan dimana kekurangan yang ada. Pada Kurikulum 2013, hal itu diadopsi dengan penilaian berupa deskripsi capaian kompetensi inti, tetapi hampir semua guru kita berkeluh kesah tentang penilaian yang rumit tersebut. Ditambah pula orangtua siswa kita kebingungan karena kita tidak pernah menerapkan sistem penilaian yang komprehensip serupa itu.

Sistem penilaian seperti ini tetap juga mengenal nilai berupa angka. Nilai dalam bentuk angka merupakan akumulasi dari semua tahap dan prosedur yang telah dilakukan. Standarnya berada pada level angka 8. Ini bisa berubah sesuai kompleksitas langkah-langkah melakukan proyek tadi. Namun yang lebih penting daripada angka ini adalah penjelasan-penjelasan di tahapannya. Sistem penilaian seperti ini sangat dinamis. Ketika investigasi, siswa boleh menggunakan buku dan informasi dari internet bahkan bantuan pihak mitra.

Oleh akrena komleksitas penilaian serupa inilah maka ujian sekolah dan ijazah SPK kebijakannnya diserahkan kepada sekolah. Demikian sekilas tentang satuan pendidikan kerja sama yang keberadaannya mewarnai dalam pendidikan kita. Semoga bermanfaat.***

Penulis, Kepala Seksi Kurikulum dan Kesiswaan SMP Dinas Pendidikan Kota Medan.

()

Baca Juga

Rekomendasi