“Dhamma Pelindung Dunia”

Oleh: Y.M. Bhikkhu Thanavaro Thera, B.A., M.Ed.

Namo tassa bhagavato arahato sammasambuddhassa 
Dveme, Bhikkhave, Dhamma Sukka Lokam Palenti. Katame dve? Hiri ca ottappañca.
Para bhikkhu, dua hal ini baik secara moral  sebagai pelindung dunia.
Apakah yang dua hal itu? Malu berbuat jahat dan Takut akan akibat dari perbuatan jahat.
(Cariya Sutta-Anguttara Nikaya)

DALAM praktik Buddhisme di­bagi menjadi tiga tingkatan; sila (mo­ralitas), samadhi (konsentrasi), dan panna ( Kebijaksanaan). Masing-ma­sing tingkatan tersebut merupakan pondasi untuk tingkatan lainnya: mo­ral yang baik memfasilitasi terca­pai­nya konsentrasi yang baik, dan piki­ran yang terkonsentrasi memfa­sil­itasi tercapainya kebijaksanaan yang ter­bebaskan. Dasar dari seluruh praktik Buddhisme merupakan pe­laksanaan tiga tingkatan tersebut. Lima sila (moralitas dasar) seorang Buddhis me­rupakan acuan penting untuk men­jaga kemurnian perilaku seso­rang.

Hidup di era ketika kita selalu diprovokasi melalui setiap kesempa­tan yang ada untuk menyimpang dari norma dan kebenaran moral, dan ketika berada pada titik ke-tidak-tenang-an sosial, kesulitan ekonomi, dan konflik politik yang memicu ber­kobarnya emosi diri, kebutuhan ter­hadap perlindungan tambahan men­jadi suatu keharusan: melindungi diri, melindungi dunia ini.

Buddha mengutarakan dua kuali­tas mental sebagai dasar perlindu­ngan terhadap moralitas, hal tersebut merupakan pelindung keduanya ya­itu individu dan masyarakat sebagai satu kesatuan. Kedua kualitas ini dikenal sebagai hiri dan otappa dalam bahasa pali. Hiri adalah perasaan ma­lu dari dalam diri terhadap pelang­garan nilai moral, rasa malu untuk berbuat hal- hal yg tidak baik; ottappa adalah rasa takut terhadap akibat dari pelanggaran norma moralitas, pera­saan takut akan hasil dari akibat per­buatan yg tidak baik. Sang Buddha me­nyebut kedua hal ini sebagai pe­lindung dunia.

Beliau memberikan predikat ini karena, selama kedua hal ini tertanam di dalam hati setiap manusia, standar moral di dunia ini akan terjaga, akan tetapi ketika pengaruh hiri dan ottappa berkurang, dunia manusia akan jatuh ke dalam jurang di mana tidak adanya perasaan malu akan perbuatan yang tidak baik, dan penuh kekerasan, menjadi tidak dapat dibedakan antara manusia de­ngan binatang. Hiri, perasaan malu, merujuk secara internal di dalam diri kita; perasaan ini berakar pada harga diri dan menyebabkan kita  tidak ber­buat jahat atas perasaan kehormatan diri. Otappa, rasa takut akan akibat dari melakukan perbuatan jahat, berorientasi secara eksternal. Hal ini merupakan kesadaran moral yang memperingatkan kita akan konse­kuensi buruk setiap bertindak di luar nilai- nilai moralitas; disalahkan dan hukuman dari pihak lain, buah karma buruk yang menyakitkan, hambatan terhadap hasrat untuk mencapai pem­bebasan dari penderitaan. Acari­ya Buddhagosa mengilustrasikan per­bedaan antara keduanya seperti, se­batang besi dengan salah satu ujung diolesi kotoran dan ujung lainnya di­panaskan hingga menyala: hiri dapat dijelaskan seperti seseorang yang merasa jijik untuk menyentuh batang besi dengan ujung yang terolesi ko­toran, ottappa dijelaskan seperti seso­rang yang takut untuk menyentuh ujung besi lainnya yang panas dan me­rah menyala.

Di zaman sekarang ini, di saat terdapat hal-hal yang membawa ke­pada kehidupan duniawi pada semua nilai, konsep perasaan malu dan takut berbuat salah dianggap ketinggalan zaman, barang peninggalan dari ketatnya norma moral di zaman dulu ketika kekuatan magis dan dogma membatasi hak-hak kita untuk meng­ekspresikan diri. Namun penekanan Sang Buddha akan pentingnya hiri dan ottappa didasari oleh suatu pan­dangan mendalam ke dalam potensi-potensi yang berbeda pada karakter manusia.

Beliau melihat bahwa jalan pem­bebasan bukanlah sesuatu yang mu­dah dicapai pada zaman sekarang, dan bahwa jika kita membuka kapa­sitas pikiran terhadap kebijaksanaan, kemurnian, dan kedamaian, maka kita harus menjaga pikiran, ucapan, dan tindakan kita di bawah penjagaan yang ketat dan cermat.

Proyeksi dari pencapaian diri, yang  Sang Buddha nyatakan sebagai makna terhadap pembebasan dari penderitaan, kita  perlu untuk me­mantau secara detail pergerakan piki­ran, saat pikiran memicu pergerakan tubuh dan gerakan verbal, serta ketika pikiran tinggal di dalam diri ter­alihkan oleh hal-hal tertentu. Praktik kewaspadaan terhadap diri meru­pakan aspek dari perhatian benar (ap­pamada), yang Buddha nyatakan se­bagai jalan menuju Pembebasan. Pada praktik kewaspadaan terhadap diri, perasaan malu untuk berbuat ja­hat dan takut akan akibat dari perbu­atan jahat memegang peranan pen­ting. Perasaan malu berbuat jahat memicu kita untuk mengatasi mun­culnya bentuk pikiran jahat karena kita mengenali bahwa bentuk pikiran tersebut merupakan noda kotor ter­hadap karakter kita. Bentuk pikiran jahat tersebut menghilang dari ke­muliaan karakter dalam diri, disesu­aikan dengan praktik Dhamma, aja­ran para ariya atau yang luhur, yang bersinar terang seperti bunga teratai di tengah danau dunia.

Takut akan akibat dari perbuatan jahat membuat kita menghindari pikiran dan per­buatan yang menyimpang dari nilai moral, karena kita mengenali benih-benih tersebut sebagai benih-benih yang akan menghasilkan buah karma buruk, buah yang dipastikan me­miliki rasa pahit.

Dengan memupuk kualitas moral malu berbuat jahat dan takut akan akibat dari perbuatan jahat dalam diri, kita tidak hanya mempercepat per­kembangan kita menuju pembe­ba­san, namun juga berkontribusi dalam melindugi dunia ini. Seperti yang te­lah dijelaskan di atas, mengenai hu­bungan antara semua mahluk hidup yang sangat rumit, memunculkan pe­rasaan malu berbuat jahat dan takut akan akibat dari perbuatan  jahat se­bagai pelindung-dalam diri kita, men­jadikan diri kita juga sebagai pelin­dung dunia ini. Sebagai akar dari mo­ra­litas, kedua kualitas ini menjaga keberhasilan jalan menuju pembe­basan yang diajarkan Sang Buddha; sebagai pelindung diri dalam ber­pe­rilaku, dan pada saat yang sama juga menjaga harkat dan martabat umat manusia.

Tidak sulit kita temukan contoh-contoh yang terjadi di masyarakat, yang diberitakan di media. Dimana seseorang yang karena tidak memi­liki rasa malu untuk berbuat jahat dan takut akan akibat dari perbuatan ja­hat­nya, melakukan tindak kriminal yang merugikan orang lain; kasus- kasus pembunuhan, kasus- pencu­rian, pemerkosaan, penipuan, nar­koba, dan kasus-kasus yang lainnya.

Tentu seseorang yang sudah tidak memiliki hiri dan ottappa tidak akan memperhatikan norma-norma yang berlaku di masyarakat. Tidak merasa malu akan perbuatannya yang tercela dan tidak takut akan akibat dari perbuatannya. Yang pada akhirnya orang-orang seperti ini hanya akan menjadi sampah masyarakat.

Hiri dan Ottappa sangatlah pen­ting, karena dunia akan damai, ten­teram, dan sejahtera tergantung pada dua hal ini. Mulia atau hinanya sese­orang juga tergantung pada perbuat­annya.  Seseorang tidak rendah kare­na kelahirannya, demikianpula kela­hirannya tidak membuat seseorang jadi mulia. Perbuatannyalah yang membuat seseorang menjadi rendah, demikian pula sebaliknya perbu­atannyalah yang membuat seseorang menjadi mulia.”

Maka oleh sebab itu kita sebagai insan yang merupakan bagian dari alam semesta ini, hendaknya senan­tiasa selalu memiliki rasa malu untuk berbuat jahat dan takut akan akibat dari perbuatan jahat. Demikianlah maka dunia ini akan aman, damai, tenteram, dan sejahtera.

Sabbe satta bhavantu sukhitatta.

  • Semoga semua makhluk hidup berbahagia.
()

Baca Juga

Rekomendasi