Oportunis dalam Beragama

Oleh: Islahuddin Panggabean. Dan apabila manusia ditimpa bahaya dia berdoa kepada Kami dalam keadaan ber­baring, duduk atau berdiri, tetapi setelah Kami hilangkan bahaya itu daripadanya, dia (kembali) melalui (jalannya yang sesat), seolah-olah dia tidak pernah berdoa kepada Kami untuk (menghilangkan) baha­ya yang telah menimpanya. Begitu­lah orang-orang yang me­lam­paui batas itu memandang baik apa yang selalu mereka kerjakan. (QS Yunus : 12)

Dalam Mafatih al-Gaib, Fakh­rud­din Ar- Razi menjelaskan bahwa dalam ayat ini diterangkan betapa rapuhnya manusia. Ayat ini meng­gambarkan bahwa orang-orang kafir atau orang yang suka berbuat dosa selalu berbohong dalam doa mereka. Setiap kali mereka tertimpa musibah atau kesusahan, maka mereka pura-pura mendekat kepada Allah Swt agar dibebaskan dari musibah dan kesusahan. Hal ini menunjukkan bahwa mereka tidak jujur dalam meminta pertolongan.

Betapa manusia adalah makhluk yang sedikit kesabarannya ketika terkena cobaan dan sedikit syukur­nya saat menemukan kenikmatan. Ketika tertimpa bahaya, ia berdoa dengan jungkir balik agar doanya dikabulkan dan diselamatkan dari bahaya. Kemudian ketika bahaya itu sudah hilang, maka ia tak ingat Allah Swt yang pernah menolong­nya. Semua itu disebabkan oleh lemahnya tabiat manusia dan besarnya pengaruh syahwat yang membuatnya lupa pada Allah Swt. Ayat ini diterangkan oleh Allah untuk mengingatkan manusia bahwa sikap oportunis dalam berdoa maupun beragama secara umum merupakan perbuatan tercela.

Dalam KBBI Oportunisme berarti paham yg semata-mata hendak mengambil keuntungan untuk diri sendiri dari kesempatan yang ada tanpa berpegang pada prinsip tertentu. Orang yang opor­tunis umumnya tiada punya prinsip selain yang menguntungkan diri sendiri. Oportunis dalam Beraga­ma ialah sebuah sikap beragama dengan kata lain taat kalau ada ’perlu’ saja. Taat untuk memenuhi keinginan tertentu saja dan bersifat temporer. Tatkala apa yang diingin­kan sudah tercapai, ketaatannya pun usai.

Sikap Oportunis dalam beraga­ma juga tergambar dalam surah Fushshilat ayat 50-51, ” Dan jika Kami merasakan kepadanya sesua­tu rahmat dari Kami sesudah dia ditimpa kesusahan, pastilah dia berkata: "Ini adalah hakku, dan aku tidak yakin bahwa hari Kiamat itu akan datang. Dan jika aku di­kembalikan kepada Tuhanku maka sesungguhnya aku akan mem­peroleh kebaikan pada sisi-Nya". Maka Kami benar-benar akan memberitakan kepada orang-orang kafir apa yang telah mereka kerja­kan dan akan Kami rasakan kepada mereka azab yang keras. Dan apabila Kami memberikan nikmat kepada manusia, ia berpa­ling dan menjauhkan diri; tetapi apabila ia ditimpa malapetaka, maka ia banyak berdoa.”

Prof Quraish Shihab tatkala menfasirkan ayat 51 mengatakan, Orang seperti itu tidak mau ber­syukur saat diberi kesenangan, bahkan malah menjauhi agama Kami. Sebaliknya, apabila ditimpa musibah, ia akan banyak berdoa. Sikap Oportunis dalam beragama sangat dicela dalam Islam. Dalam Islam, manusia yang berakal wajib bersyukur dalam keadaan sukses dan sehat serta bersabar saat keadaan gagal dan sakit.

Nabi bersabda, “Sungguh me­nga­gumkan (urusan) seorang muk­min itu, tidaklah Allah mem­beri keputusan kepadanya kecuali hal itu baik baginya. Jika dia ditimpa malapetaka (musibah), lalu ia bersabar maka hal itu baik baginya. Dan jika dia mendapat kesenangan lalu dia bersyukur, maka hal itu baik baginya. Dan keadaan seperti itu tidaklah diperuntukkan bagi seorang pun, kecuali bagi orang mukmin.”

Manusia wajib tetap berdoa dan mendekatkan diri pada Sang Pen­cipta dalam keadaan suka maupun duka. Sikap seperti itulah yang menjadikan doa-doanya dikabul­kan saat keadaan genting. Rasu­lullah Saw bersabda, ”Di antara rahasia Allah Swt adalah menga­bulkan doa ketika keadaan genting, maka bersyukurlah dalam keadaan normal.”

Secara alami, Semua manusia hakikatnya memerlukan perlindu­ngan dan pertolongan Tuhan. Tat­kala terancam bahaya, bahkan orang yang mengaku tidak beraga­ma (atheis) sekalipun spontan me­mo­hon perlindungan Tuhan. Fir’aun ketika hampir tenggelam di laut merah pun mengakui adanya Allah. Sebagaimana terekam dalam QS Yunus ayat 90.

Kejujuran dalam beragama kerap terlihat tatkala musibah yang dialami manusia telah lewat. Apa­kah ia tetap dekat dengan nilai-nilai agama? Atau ia malah justru melupakan siapa yang telah menye­lamatkan dan menolongnya dari kesulitan yang dihadapinya?

Imam Ar-Razi menjelaskan bagaimana terlepas dari sikap opor­tunis dalam beragama. Beliau ber­kata, ”Ketahuilah bahwa se­orang Mukmin dalam menghadapi musi­bah dan kesulitan hendaknya men­jaga beberapa hal Pertama, rela dengan takdir Allah Swt karena semua yang ditetapkan-Nya pasti mengandung hikmah. Harus tetap sabar dan tenang.

Kedua, hendaknya lebih sibuk berzikir kepada Allah Swt daripada berdoa (meminta pemenuhan kebutuhan). Hal ini sesuai hadis qudsi, ’Barangsiapa sibuk berzikir mengingat-Ku, Aku akan mem­berinya lebih banyak daripada ke­pa­da orang yang meminta.’ Sibuk berzikir berarti sibuk berinteraksi dengan Allah, sedangkan sibuk berarti sibuk dalam permintaan agar kebutuhannya terpenuhi. Keti­ga, ketika cobaan telah berlalu, terus­lah mengingat Allah Swt.” Semoga kita terhindar dari sifat oportunis dalam beragama. Wallahua’lam.

Penulis: Staff Pengajar SMK BBC

()

Baca Juga

Rekomendasi