Oleh: Azmi TS
KEBAYA sejenis pakaian yang banyak dikenakan kaum hawa mulai abad ke 15. Sudah lama dikenal. Tepatnya pada lingkungan keluarga Majapahit terutama permaisurinya berbusana kebaya. Selain untuk menutupi tubuh sekaligus melindungi diri dari cuaca tropis, kebaya termasuk pakaian berstatus. Kebaya juga digunakan nyonya Belanda sekitar abad 19, untuk menyesuaikan dengan iklim tropis Indonesia.
Kata kebaya berasal dari “abaya” dalam ejaan bahasa Arab artinya “pakaian”. Para perempuan Muslimah diwajibkan untuk menutup auratnya, terkecuali bagaian wajah dan telapak kaki. Kini kebaya tak hanya dikenal kalangan keluarga kerajaan di Jawa saja, Sumatera, Sulawesi dan Nusa Tenggara Timur juga ada. Hanya saja bentuk dan variasinya sudah mengikuti corak etnik setempat, yang tentunya menambah keindahan tersendiri.
Kebaya ditetapkan sebagai busana resmi nasional Indonesia, ditandai sejak para istri Soekarno dan Soeharto memakainya pada acara kenegaraan. Kebaya terus berkembang, hingga dalam acara adat pesta perkawinan. Busana ini ikut menyemarakkan suasana acaranya. Kebaya juga terlihat mempesona para mahasiswa yang lulus pendidikan tinggi, barisan prosesi penuh dengan mode busana itu.
Tokoh wanita yang terkenal Kartini, terlihat anggun saat memakai kebaya dan sanggulnya dalam berbagai kesempatan. Kebaya modern terkesan lebih fleksibel artinya busana yang lazim di acara resmi, kini sudah berubah. Tampilan yang distigmakan mengekang aktivitas gerak wanita. Kini lebih merdeka dalam acara santai sekalipun.
Desainer busana kebaya cukup elegan bisa mengubah kebaya dengan sentuhan seni bordir, payet, mute dan kristal. Begitu pula ketika Iriana sebagai ibu negara saat ini, mengenakan kebaya saat mendampingi presiden Jokowi melawat ke luar negeri. Kebaya sebagai simbol identitas kaum feminisme juga selalu menarik perhatian perupa seperti Basuki Abdullah, M. Tamdjidin, dan Rustamadji.
Kebaya terlihat yang dikenakan wanita itu tak hanya anggun, tapi terselip juga nuansa eksotis. Basuki yang dikenal suka melukiskan kecantikan paras wanita, membuat aura tersendiri. Terkadang kebaya itu dikemas dengan lekuk tubuh, lingkar pinggul menawan dan juga jarik, hingga membalut kaki.
Lukisan M. Tamdjidin tampil dengan wajah rupawan wanita berkebaya mengundang decak kagum, sehingga penasaran. Jenjang torso itu menguatkan sosok wanita yang tidak hanya feminis. Juga mengurai jarik (kain panjang) menjuntai ke arah lekukan tumit. Berbeda dengan Hasim, lebih suka melukiskan wanita berkebaya berlebihan.
Dia melukiskan sosok wanita sedang memanen padi di sawah, hal ini tentu unik yang bisa menafsirkan simbol lainnya. Keindahan wanita berkebaya juga memancing minat pelukis wanita Josephine Linggar dan Lesli Goh. Karya lukisannya terkesan bersahaja tapi bisa menegaskan seni sisi lain ragam kebaya Encim (sebutan China).
Kecintaannya dengan budaya Indonesia tak perlu diragukan lagi, sama halnya dengan lukisan Leslie Goh (Singapura) dengan kebaya Balinya. Sosok wanita yang mengusung sesajiannya mengingatkan cerita tentang “Nyai”. Kisah wanita Tionghoa yang kawin dengan pria pribumi, mengingatkan era Rafles (Belanda) yang pernah berkuasa tahun 1817.
Koleksi istana negara era Soekarno sempat menghiasi dinding itu dengan lukisan wanita berkebaya. Begitulah jejak kebaya di Indonesia tak hanya berjaya tapi sempat juga tergerus saat Jepang berkuasa. Situasi politik Jepang memang membatasi kreativitas bangsa Indonesia, hingga ke nadir terendah saat itu.
Di balik itu semua terbukti, kebaya masih bisa dilihat dari keindahan, feminisme dan juga politik. Lukisan Rustamadji, Soedarso dan Dullah juga dapat dikategorikan tokoh yang sering dikaitkan dengan simbol keindahan feminisme kebaya. Busana yang menyiratkan keindahan berpakaian ala Indonesia, kebaya juga bisa mempererat talisilaturahim.
Pakaian yang tak hanya melindungi tubuh, juga menutup aurat kaum hawa yang mengangkat harkat dan martabatnya. Banyak perupa yang melukiskan tentang keindahan wanita berkebaya, sosok Basuki Abdullah memang pas melakoninya. Dia memang selalu melukiskan wanita cantik, akan lebih anggun lagi ketika sedang mengenakannya.
Kelebihan itu tak dimiliki pelukis selain beliau, tapi ada sisi lainnya yang masing-masing dapat ditafsirkan. Momen melihat keelokan wanita berbusana lewat kebaya, selalu dihadirkan di bulan April ini sekaligus mengenang Kartini. Kebaya juga terlihat serasi bila dikenakan untuk anak-anak pelajar saat acara hari besar dan perpisahan di sekolahnya. Para orang tua tentu merasakan suka cita melihat anak-anaknya sudah menginjak dewasa tentunya.