Panyabungan, (Analisa). Tympanum Novem Films, kembali menggarap film baru untuk produksi ke sepuluh. Kali ini memilih judul “Marina” dengan rencana durasi sekitar 2 jam, lebih panjang dari film-film sebelumnya yang pernah diproduksi lembaga multimedia berbasis Mandailing Natal ini. Harapannya, selain plot cerita bisa lebih lentur, juga agar penonton lebih terhibur.
Saat wawancara dengan sutra dara film ini, Askolani Nasution, tentang pemilihan Rodang Tinapor di Desa Bonandolok, Kecamatan Siabu, Kab. Mandailing Natal (Madina), sebagai setting utama cerita ini dia menceritakan, bukan tanpa alasan memilih Rodang Tinapor. Rodang, rawa yang luasnya ribuan hektar memang memiliki banyak potensi, baik potensi sumber kehidupan penduduk, maupun potensi ekowisata.
Sejak masa kolonial, Rodang Tinapor sudah dikenal sebagai sumber ikan air tawar terpenting untuk kawasan Mandailing Natal. Rawa yang terbentuk karena pertemuan dua sungai besar, Sungai Batang Gadis dan Sungai Batang Angkola, memang membentuk perairan rawa yang amat luas.
Karena itu menjadi ekosistem yang sesuai untuk tempat perkembangbiakan ikan. Karena itu disebut Rodang “Tinapor”, tempat ikan menyemai telur.
Karena itu, selain menjadi areal persawahan bagi Desa Bonandolok, Simangambat, Hutapuli, Hutaraja, Huraba, dan Tanggabosi, di kawasan ini juga setiap harinya hidup puluhan keluarga yang hidup dari hasil mencari ikan. Berbagai alat penangkap ikan digunakan, mulai dari jaring, kail, lobu-lobu, pangilar, dan lain-lain.
Mereka naik perahu kayu, menyusuri sungai dan rawa sambil menangkap ikan tentu. Berbagai macam jenis ikan air tawar mudah diperoleh, mulai dari “capet”, “piri-piri”, “aruting”, “tingkalang”, “limbat”, “tunggu lubuk”, “inggit-inggit”, “ikan mas”, “alu tano”, dan lain-lain. Ikan tangkapan mereka yang setiap hari memenuhi kebutuhan pasar mulai dari Panyabungan hingga ke Padang Sidimpuan.
Tentu saja tak banyak yang tahu bahwa ada sebuah rawa besar di Mandailing Natal yang sejak zaman dahulu kala sudah mensuplai kebutuhan ikan di daerah sekitarnya. Dan tak banyak yang tahu bahwa ada puluhan keluarga yang turun-temurun hidup dari mencari ikan dengan perahu kayu seadanya.
Belum lagi potensi ekowisatanya. Rawa yang membentang, dengan sungai-sungai yang berkelok-kelok, plus perahu kayu yang hilir mudik, menjadi pemandangan yang eksotis. Anda akan melihat mata hari terbenam di balik bukit dengan lanskap pemandangan yang luas dan para petani pulang dengan perahu membawa hasil tangkapan atau hasil panen.
Bisa juga masuk lebih dalam menyusuri rawa, kawasan “Paya Kerek” dan “Tudung Bendi”, dengan kayu berkanopi luas, akar saling menyilang seperti bakau, dan perahu kayu melintas di bawahnya. Itu mengingatkan pada rawa-rawa khas Amazon, dengan ular dan buaya yang sesekali muncul tanpa mengganggu.
“Itu amat eksotis. Kasihan kalau potensi seperti itu tidak dikembangkan,” kata Askolani Nasution, penulis cerita film “Marina”.
Jangan hanya berpikir tentang wisata bahari, pegunungan, hutan tropis, wisata rawa juga dapat menawarkan pengalaman yang mengasikkan. “Karena itu kami setiap hari betah di sini bersama kru dan pemain. Bukan sekadar mengembangkan kreativitas seni, tetapi sekaligus menikmati ekosistemnya,” lanjutnya.
Film “Marina” dimainkan oleh anak-anak lokal yang setiap hari bergelut dengan kebiasaan di Rodang Tinapor. Mandi-mandi di sungai, membawa perahu, memancing, dan lain-lain. (adr)