Oleh: Alda Muhsi.
Beginilah kerasnya kehidupan, pagi hingga malam tak boleh lelah demi mengejar uang. Siapa lengah akan terperosok dalam ambang kematian. Hidup itu kejam, apa lagi jika hanya berdiam. Mau tidak mau memang mestinya hidup untuk mencari sesuatu yang berarti. Kalau tidak akan menyesal di kemudian hari. Kehidupan dan penyesalan laiknya binatang buas, sama-sama menakutkan, dan bisa menerkam siapa saja di mana saja. Namun, segalanya harus dilewati, sebab sudah ditakdirkan Tuhan.
Aku bekerja 12 jam sehari. Mulai jam 8 pagi hingga jam 8 malam. Tujuan hidupku sebenarnya bukan semata-mata uang, melainkan kebahagiaan yang hakiki. Tapi bagaimana bisa mencapai puncak kebahagiaan tersebut, bila dalam melewati kejamnya hidup tanpa uang. Itu sama saja bohong, maka dari itulah aku dengan tekun mencari uang, untuk memenuhi nafkah batin agar dapat meraih tujuan hidup.
Setiap hari perjalanan panjang harus kutempuh untuk bekerja. Jarak dari rumah ke tempat kerjaan kira-kira mencapai 40 kilometer. Aku bekerja di sebuah pabrik kertas di mana aku yang pertama datang dan aku juga yang terakhir pulang. Ya, aku adalah juru kunci. Pembuka dan penutup pabrik.
Pekerjaan itu memberikan banyak pengalaman bagiku. Tak hanya dalam bidangnya, aku juga berpengalaman dalam berhubungan dengan orang banyak. Aku juga lebih mengerti tentang persaingan bisnis. Mulai dari tikung-menikung sampai pula pada kasus tikam-menikam.
Terkadang aku berpikir bahwa segala yang kukerjakan adalah sia-sia. Bagaimana tidak, aku hidup sebatang kara. Gaji yang kupunya entah harus kubawa ke mana. Keluargaku meninggal setahun silam saat melakukan perjalanan ke kampung halaman untuk menemui nenekku. Mobil yang mereka kendarai ditabrak dari belakang oleh truk trailer, dan mereka mati di tempat.
Rasa sesal sempat menggelayuti jiwaku, mengapa nyawa ayah, ibu, dan adik perempuanku harus melayang dengan cara yang tragis. Dan mengapa pula harus ada janji yang belum kupenuhi lantas mereka telah pergi meninggalkanku untuk selamanya? Ya, aku berjanji untuk memberi mereka seorang cucu yang lucu setelah umurku 25 tahun. Namun sayang, pada umur 23 tahun mereka telah pergi dan tak mungkin kembali.
Sejak kejadian itu aku pun enggan untuk mencintai wanita. Hatiku masih belum bisa menerima kepergian mereka. Kini 24 tahun aku masih belum mempunyai calon. Oh ayah, oh ibu, oh adikku mengapakah begitu cepat kalian meninggalkanku?
Sekarang aku bekerja 12 jam dan tak tahu untuk apa. Seakan hidupku sudah tak berarti. Aku gagal dalam hidup. Aku hancur. Percuma saja aku mengumpulkan banyak uang, tapi nyatanya aku tak bahagia. Aku salah besar! Kupikir dengan uang yang banyak aku bisa dengan mudah meraih kebahagiaan, tapi ternyata tidak. Oh Tuhan mengapa tidak Kau cabut juga nyawaku.
Sebenarnya aku ingin menenangkan pikiran, melepaskan penat. Aku ingin cuti atau sekalian saja mengundurkan diri. Tapi lagi-lagi yang terpikir adalah mau ke mana aku setelah melepas pekerjaan itu.
Tak jarang aku iri melihat muda-mudi yang berpacaran di atas arteri. Bergandeng tangan menyaksikan pemandangan rumah-rumah yang dipenuhi lampu jalan. Walau memang tak begitu indah, tapi kebersamaan dua hati yang saling beradu cinta itulah yang membuat segalanya sangat indah.
Terdapat pula kanal yang mengalir dengan elok tepat di bawah arteri tersebut. Mungkin itulah yang mereka lihat setiap waktu. Walau kadang mengeluarkan bau yang entah, tapi tak pula menyurutkan gelombang asmara di hati mereka.
Setiap hari kulewati arteri yang panjangnya 700 meter itu, dan sepanjang itu jugalah orang-orang berpacaran, bersenda gurau, bergandengan di atas kereta yang telah diparkirkan. Ah, benar! Aku sangat iri menyaksikannya. Hatiku selalu bergetar seakan melontarkan kata tanya: kapan?
Aku selalu diburu rasa resah. Dihantui rasa gelisah. Belum lagi bisa kutata hati untuk mengikhlaskan kepergian keluargaku, sudah harus kurasa pula kecamuk hati yang merindukan seorang wanita ketika kulewati arteri itu. Keinginan itu mulai timbul ketika rasa sepi telah menyatu dalam darah. Rasanya aku tak ingin melewatinya, tapi tak ada jalan lain, karena itulah satu-satunya jalan yang ada.
***
Siang itu ada kejadian yang tak terduga di pabrik. Terjadi kecelakaan pada salah seorang pegawai pemotong kertas. Ia terpaksa harus merelakan jari telunjuk dan jari tengahnya hilang. Kedua jarinya terpotong oleh mesin pemotong. Darahnya memuncrat dengan hebat. Ia pun segera dilarikan ke klinik terdekat.
Setelah ia diobati aku segera mendatanginya.
“Kenapa bisa terjadi, Pak?”, tanyaku luruh.
“Iya, Mas, lagi banyak pikiran aja. Jadinya kurang konsentrasi.” Jawabnya menahan sakit.
“Kalau saya boleh tahu masalah apa, Pak?” tanyaku lagi kepada bapak yang kira-kira berumur 50 tahun itu.
“Hmm... anak saya, Mas. Kemarin waktu pulang sekolah, ketika ia hendak menyeberang jalan, tiba-tiba sebuah mobil dengan laju yang sangat kencang menabraknya.” Jawabnya sedih.
“Terus, anak bapak itu di mana sekarang?”
Bapak tersebut menggeleng-gelengkan kepalanya beberapa saat. Lalu menjawab dengan mata berkaca-kaca yang hampir pula menetes airnya.
“Kaki dan tangannya patah, Mas. Sampai saat ini ia masih terbaring lemah di rumah sakit.”
“Ia adalah anak saya satu-satunya. Ia adalah harapan saya dan istri saya. Tapi lihatlah, harapan itu kini seperti melayang-layang di atas jurang. Tinggal menunggu hancurnya saja.” Sambungnya.
“Pak, Anda tidak boleh bicara seperti itu....”
“Ya, tapi lihat saja, bisa apa anak dengan kaki dan tangan yang patah sebelah.” Potongnya.
Aku hanya tertegun. Diam saja. Aku sangat paham perasaan hatinya, tak jauh beda ketika keluargaku yang dipanggil Tuhan setahun lalu.
“Tapi saya sadar bahwa inilah rencana Tuhan, mau tidak mau harus dihadapi. Setelah ini saya juga akan mengundurkan diri dari pabrik. Saya hanya ingin memberikan seluruh waktu untuk anak dan istri. Terlebih kepada anak saya yang pasti sangat membutuhkan dorongan dari saya.”
Aku hanya mengangguk saja. Mencoba menyelami kesedihannya. Tanpa berkata-kata seketika mataku pun ikut berkaca-kaca.
“Mas, selagi kau masih muda, kau harus selalu berhati-hati dalam hidup ini. Di dalam segala bidang. Dan yang terpenting kau harus hati-hati dengan nyawa. Jangan sekali-kali berani bermain-main dengan nyawa. Karena memang hidup itu untuk berjuang.”
“Iya, Pak, saya mengerti.”
Aku terpukul mendengar nasihat itu. Maafkan aku Tuhan yang sudah beberapa kali meminta untuk mati sebab kesepian dalam menjalani hidup ini. Berikan aku kekuatan untuk menjalani kehidupan yang kejam ini, Tuhan.
***
Di perjalanan pulang selalu terngiang kata-kata Pak Wagiman tadi. “Kau harus selalu berhati-hati dalam hidup ini... yang tepenting kau harus hati-hati dengan nyawa... dan janganlah sekali-kali berani bermain-main dengan nyawa....”
Ah, makin penat saja kurasakan dalam pikiranku. Seolah aku tak tahan untuk menyimpan segalanya. Seakan mau pecah dan terpancar keluar segala isinya.
Malam itu entah kenapa jalanan pun tampak ricuh, kendaraan besar mondar-mandir dengan kecepatan tinggi, sepeda motor ugal-ugalan, ditambah lagi lengking suara klakson yang sahut menyahut, segalanya membuat pikiranku semakin tertekan.
Akhirnya aku tiba di arteri, berharap keteduhan akan kudapati dari pasangan yang sedang berpacaran menghabiskan malam. Berharap ada yang sedang menghitung bintang. Aku berjalan pelan-pelan untuk menikmati kegembiraan mereka yang disampaikan semilir angin, tapi tiba-tiba di depanku kejadian yang mencengangkan terjadi, sepasang kekasih yang hendak menepi ditabrak oleh trailer, yang beroda lebih dari 8, berkecepatan tinggi. Keras sekali bunyi benturan itu terdengar, kedua korban terkapar, sepeda motor hancur berantakan. Orang-orang dengan cepat berkerumun dan segera menyelamatkan mereka. Malam menjadi pecah. Teriakan-teriakan, makian, serta penyesalan bercampur menjadi satu.
Aku terperanjat pada kata-kata Pak Wagiman siang tadi, sayup-sayup ia masih terngiang di telingaku. “Kau harus selalu berhati-hati dalam hidup ini... yang tepenting kau harus hati-hati dengan nyawa... dan janganlah sekali-kali berani bermain-main dengan nyawa....”
Tiba-tiba mobil berbak terbuka melintas di depanku, di belakangnya tertulis, “Awas Mas, Hati-hati!”
Medan, September 2015