Solusi Itu Bernama Master Meter

Oleh: Zulnaidi

Sistem master meter yang dibawa USAID-IUWASH menjadi solusi terbaik dalam memberikan akses air bersih kepada warga di Ketapang, Kecamatan Sibolga, Provinsi Sumatera Utara. Kini, program tersebut sudah direplikasi ke kawasan sejenis lainnya oleh pemerintah kota. Warga yang sejak puluhan tahun sulit mengakses air bersih, kini sudah terlayani dengan masuknya air PDAM Tirta Nauli ke setiap rumah.

Ismawati Tampubolon berjalan ke kamar mandi di belakang rumahnya di Gang Kelinci, Jalan Katapang, Kecamatan Sibolga, Sumatera Utara, dengan membawa setumpukan pakaian kotor. Dia kemudian mencuci pakaian dengan air di keran. Air keluar dengan derasnya. 

Perempuan berusia 60 tahun ini selalu menganggap momen membuka air keran dan melihat air mengalir deras di kamar mandinya adalah sebuah kemewahan. “Sekarang saya bisa mencuci pakaian di rumah saya sendiri. Sebelumnya, untuk mencuci, saya harus turun dari rumah, berjalan hingga ke jalan besar, lalu naik angkot atau becak motor untuk bisa mencuci pakaian di sungai yang jauhnya itu 30 kilometer dari rumah saya, “ jelasnya.

Rumah Ismawati sendiri teletak 50 meter di atas permukaan laut, jauh dari sumber air bersih. Kebanyakan warga di sana harus menggali sumur hingga kedalaman 18 meter untuk mendapatkan sumber air. Sementara air untuk kebutuhan dasar seperti minum dan memasak, warga harus turun bukit hingga 200-300 meter dari tempat tinggal mereka. 

Ismawati dan warga di sana harus membeli 25 liter air Rp 500 per jeriken. Untuk kebuthan keluarga Ismawati, paling tidak membeli sekitar 10-15 jeriken per hari. "Untuk mengepel dan cuci piring, kami membeli dua drum untuk menyimpan air hujan,” jelasnya.

Pengalaman yang sama juga diceritakan oleh Junita Boru tagalung, yang juga warga Ketapang. Dia ingat benar ketika rumahnya sudah kehabisan air, adik laki-lakinya yang sering mengunjungi rumahnya pun tidak mau pergi ke sungai untuk mandi, karena jauhnya letak sungai tersebut dari rumahnya.

“Sekarang mandi tidak perlu diirit lagi. Saya bisa mandi dengan nyaman dan membersihkan tubuh saya hingga bersih karena air banyak di rumah. Bahkan sekarang saya tidak ragu menawarkan diri menjadi tuan rumah bagi acara-acara yang diadakan oleh keluarga saya,” katanya tertawa lepas.

Akses

Kini dia bisa mengakses air langsung dari rumahnya melalui pipa-pipa yang dipasang oleh perusahaan air minum milik negara (PDAM) Tirta Nauli. Setiap bulan, Ibu dari dua anak ini hanya membayar antara Rp 20.000 - Rp25.000 untuk layanan ini - jauh lebih kecil dari yang dia habiskan di jalan dan ongkos untuk mengambil air ke sungai.

 “Kemerdekaan” mendapatkan air ini diperolehnya sejak ada program master meter dari USAID-IUWASH bersama PDAM masuk ke wilayahnya, sejak 2013 lalu. Bukan hanya Ismawati yang merasakannya tetapi hampir 150 rumah tangga di Ketapang sudah menikmatinya, setelah puluhan tahun mereka tinggal di sana.

Sistem meter komunal (master meter) dengan sistem perpipaan ditambah ground tank/reservoir oleh PDAM Tirta Nauli Sibolga, telah membantu warga Ketapang mendapatkan aliran air bersih langsung ke rumah-rumah. Oleh karena itu, sistem pengelolaan air bersih berbasis masyarakat dengan menggunakan sistem meter air komunal yang dilengkapi dengan sejumlah peralatan perpipaan yang disesuaikan dengan kondisi permukiman di Ketapang yang berbukit-bukit, diharapkan dapat menjadi solusi terbaik.

Sistem master meter terbukti menjawab tantangan lokasi, yang terletak di atas gunung atau daerah yang cukup tinggi sehingga tidak terjangkau oleh PDAM Tirta Nauli Sibolga melalui sistem perpipaan. PDAM Tirta Nauli Sibolga sendiri sempat melayani warga Ketapang dengan menggunakan mobil tangki air untuk mengisi hydrant umum setempat. Namun, itupun masih jauh untuk memenuhi kebutuhan masyarakat di kelurahan tersebut. Karena itu master meter menjadi solusi yang solutif kemudian.

Ketapang adalah kabupaten yang paling padat penduduknya di pesisir Sibolga. Penduduknya berjumlah 766 jiwa dengan luas area 71 ha, yang kebanyakan berprofesi sebagai petani dan nelayan. 

Kerjasama

Melalui program master meter PDAM dibangun pipa-pipa air sehingga terkoneksi dengan dua tank air pada setiap gang yang ada di Ketapang. Instalasi itu dibangun dengan biaya Rp 700 juta, hasil kerjasama antara PDAM dengan USAID-IUWASH.

Untuk mendapatkan koneksi air dari master mester ini hingga ke rumah, warga harus membayar instalasi jaringan pipa dengan investasi sekitar Rp 300.000. Setiap tangki dilengkapi dengan meter induk, yang terhubung ke keran di rumah penduduk. “Itu setara dengan pengeluaran bulanan untuk pembelian kaleng jeriken yang biasa kami beli,“ jelas Romauli Opusunggu, salah seorang warga Ketapang. 

Menurut Musfarayani, Spesialist Media IUWASH didampingi Urban Water Sanitation Specialist Ricky Pasha Barus dan City Coordinator IUWASH Sibolga, Teruna Jaya Tarigan di sela-sela kunjungan media ke Sibolga belum lama ini, sebelumnya sosialisasi keberadaan master meter mulai ditawarkan kepada masyarakat setempat. Pendekatan dilakukan melalui tokoh-tokoh kunci. Sosialisasi dilakukan bukan hanya menjelaskan apa itu master meter dan manfaatnya untuk warga tetapi juga, menjelaskan bahwa dalam pelayanan dan mekanisme perawatan master meter ini akan dilakukan oleh warga setempat. 

Untuk pengelolaan air yang dikelola warga, dibagi menjadi tiga kelompok sesuai dengan jumlah gang di Ketapang. Meskipun ratusan warga akan menggunakan air, PDAM hanya menggunakan nama-nama dari tiga kelompok tersebutuntuk pencatatan dan penagihannnya.

Setiap kelompok memilih ketua, bendahara, meter-recorder dan teknis. Pengelolaan masing-masing kelompok akan menerima pelatihan oleh IUWASH. Mereka dilatih bagaimana menanggapi keluhan, melacak nomor meter, memperbaiki pipa yang rusak, menyimpan catatan dan membuat kartu pembayaran.

Melacak

Ketua akan melacak data anggota dan mengumpulkan pembayaran untuk instalasi pipa. Pekerjaan baru ini, membuat mereka kadang menjadi target ancaman warga yang tidak sabaran. 

Semua anggota setuju untuk membayar Rp 5000 per bulan untuk pemeliharaan pipa, dengan biaya rata-rata sekitar sekitar Rp 100.000 - Rp 200.000 bulanan, dan untuk menutupi biaya tak terduga. Uang yang terkumpul dari warga dibayar transfer oleh pengurus langsung ke PDAM.

Manajemen (yang adalah warga) akan memeriksa meteran aliran air pada tanggal 10 setiap bulan, dan pelanggan akan membayar tagihannya antara tanggal 11 dan 20. "Rp 5000 dikenakan untuk keterlambatan pembayaran," Romauli. 

Setelah setahun pelaksanaan master meter, pelanggan semakin meningkat dari 130 menjadi 150 orang. Para pelanggan baru yang semula skeptis dengan program ini akan berjalan sukses, harus membayar lebih tinggi untuk pemasangan instalasi pipanya yaitu Rp 700.000.

Setelah berhasil di Ketapang, sistem serupa direplikasi di wilayah lain yang kasusnya mirip. Tepatnya di Aek Parambunan. Replikasi sistem pelayanan air bersih dengan skema master meter di Kelurahan Parombunan ini dibiayai Bank Sumut dengan biaya Rp 199.000.000 melalui program CSR (corporate social responsibility) mereka. Melalui sistem ini, master meter yang berlokasi sekitar 250 meter dari pipa distribusi PDAM Tirta Nauli ini melayanai 70 rumah tangga atau setara dengan 420 jiwa.

Seorang warga setempat, Donna Boru Sinaga (43) mengaku, sangat senang dengan sistem master meter. Dengan sistem itu, mereka kini sudah mendapatkan air bersih.

“Sekarang tak ke sumur lagi. Paling kalau mati airnya baru ke sumur. Dulu ke sumur mengambil air pakai ember dengan jauh 100 meter. Kami tinggal di sini 18 tahunan. Selama itu kami mengambil air ke sumur,” katanya.

Untuk menaikkan air ke atas, dari master meter menggunakan mesin pompa yang dihidupkan dengan energi listrik. “Kami pakai pulsa listrik untuk menghidupkan pompa. Kalau saya bayar sama pulsa listrik paling banyak Rp28 ribu per bulan. Jumlah ini tidak mahal bagi kami,” katanya.

Mengirit

Kini, katanya, dia, suami dan lima anaknya tidak lagi mandi ke sumur. “Terkadang, untuk mengirit, saya tetap mencyuci ke sumur. Tergantung saya sendiri penggunaannya. Biar bayar tak mahal,” katanya . 

Kabag Teknik PDAM Tirta Nauli, Ir Kabul Sumbawa, menjelaskan, kampung Donna Boru Sinaga dengan elevasi 50 meter. Jarak dari bawah ke pemukiman atas 160 meter. Dari master meter, ada dua tong dengan kapasitas masing-masing 3000 liter. 

“Tong itu bukan tong stok, tapi tong balancing. Bukan untuk menstok seluruh kebutuhan air dari jumlah KK yang ada di atas. Itu hanya untuk kebutuhan saat jam puncak pemakaian air, pagi dan sore hari. Apalagi kalau mati lampu, pompa tak hidup, air tak naik ke atas. Air dalam tong bisa dimanfaatkan,” jelasnya.

Dari PDAM, sebutnya, mereka mengenakan tarif air dengan klasifikasi rumah tangga satu (RT1) atau paling rendah. “Kita ada empat klasifikasi tarif rumah tangga, itu yang paling rendah. Mereka tidak disubsidi, tapi tarif yang terendah,” katanya.

Sedangkan tarif mereka dengan KSN tergantung kesepakatan warga. Bagaimana mereka bisa membayar tarif air, plus maintenance dan biaya listrik. “Jadi mereka lebih tinggi bayar dari harga PDAM,” jelasnya.

Selain itu, lanjutnya, adalagi replikasi baru dalam tahap pembangunan di Kelurahan Simare-mare untuk 30 KK. Replikasi yang dilakukan pemerintah kota.

Dia mengaku, dengan sistem master meter, Pemko Sibolga melalui PDAM dalam melayani air bersih ke lebih banyak warga. “Sampai saat ini, PDAM melayani 79 persen warga Sibolga. Yang 21 persen itu termasuk warga yang menjadi target master meter. Karena lokasi pemukiman di pinggir laut dan kawasan perbukitan yang secara teknis tak terlayani PDAM karena berbeda sistem dengan masyarakat biasa,” katanya.

Metode program master meter itu dari IUWASH. Setelah dikaji PDAM, ternyata lebih bagus dengan sistem master meter, daripada warga yang tinggal di elevasi tertentu itu konek satu per satu. “Kita mencoba membentuk masyarakat dalam satu komunitas tertentu bisa membuat organisasi yang bisa mengendalikan satu kegiatan yang dampaknya bukan hanya soal air minum tapi ada beberapa hal lain yang bisa mereka rembugkan,” katanya

Hal serupa dikatakan Dirut PDAM Tirta Nauli Sibolga, Marajohan Panjaitan. “Yang paling merasakan manfaat IUWASH ini adalah masyarakat kita. Kalau misalnya di Belawan, program IUWASH berjalan itu lumrah, karena lahannya datar atau landai. Tapi, di daerah kita, elevasi sampai 70 meter, bisa dilayani air bersihnya, berkat kerjasama dengan IUWASH. 

Selain itu, lanjutnya, manajemen PDAM juga peduli dengan sumber mata air. Walaupun beberapa sumber air bagi mereka ada di Kabupaten Tapanuli Tengah. “Setiap tahun kami terus mengadakan penghijauan untuk pelestarian hutan itu,” katanya.

Bahkan, Pemko Sibolga juga peduli dengan sumber air melalui pembuatan beberapa sumur resapan. Sumur resapan pemerintah setempat juga berusaha mempertahankan kandungan air di dalam tanah dengan membangun sumur-sumur resapan di Parombunan. 

Letaknya bervariasi, di sekolah, kawasan pembibitan dan ruang terbuka lainnya. “Ini penting untuk wilayah pesisir, agar saat hujan airnya tidak sia-sia,” kata Daud Daniel Hutapea dari Dinas Lingkungan Hidup, Kebersihan dan Pertamanan Kota Sibolga di Madrasah Aliyah Negeri Sibolga.

Daniel mengatakan pada 2015 ada 12 sumur resapan di Parombunan yang dibangun dengan dana APBD senilai Rp180 juta. Kepedulian Pemko Sibolga tidak saja pada sistem pelayanan yang kian dirasakan masyarakat, tapi juga sampai pada kepedulian menjaga sumber mata air.

()

Baca Juga

Rekomendasi