“Pattidana di Bulan Cheng Beng”

Oleh: Bhikkhu Aggacitto

Festival Qingming atau Cheng Beng merupakan salah satu ritual tahunan yang dilakukan khususnya bagi kalangan etnis Tionghoa untuk bersembahyang dan ziarah kubur kepara mendiang baik leluhur maupun orang tua yang sudah meninggal. Ritual budaya ini memang sudah meleket pada ini sisi kehidupan etnis Tionghoa, hari Cheng Beng biasa juga dikenal dan dinamai; hari semua arwah, festival bersih terang, festival ziarah kuburan, hari menyapu kuburan, hari peringatan musim semi. Setiam musim ini tiba maka sudah pasti para sanak keluarga yang berada diluar daerah akan mudik ke kampung halamannya. Dalam pandangan filosofi yang mendasari kebiasaan ini masih tetap dilakukan karena adanya wujud bakti kepada para mendiang yang sudah meninggal. Meskipun budaya ini bukanlah ajaran yang diwariskan oleh Buddha, namun dapat maksud dan tujuan yang melandasi seseorang tetap melakukan adalah masuk dalam kategori ajaran Buddha yang sudah seyogianya harus dilakukan. Menurut dhamma para sanak keluarga yang saat ini masih hidup memiliki hubungan kuat, ada keterkaitan yang disebut “hubungan karma/ kamma bandhu”. Oleh sebab itulah yang masih hidup dengan yang sudah meninggal bukan berarti berakhir pula hubungan karma tersebut, namun kondisi ini akan selalu mengikat. Segala sesuatu yg berkondisi tentu pada awalnya mempunyai suatu sebab dan akibat, tak terkecuali dengan kita. Semua makhluk yg terlahir didunia ini pada dasarnya pastilah ada hubungan dan ada kaitannya dengan makhluk lain, kita bisa lahir dan ada didalam dunia ini tentu semuanya karena adanya jasa orang tua, leluhur dan sanak saudara kita. Tanpa ada mereka mungkin kita tidak akan pernah bisa berada didalam dunia ini, tanpa mereka kita tidakan apa-apa, tanpa mereka kita bukan siapa - siapa. Orang tua ibarat Buddha, Deva, Brahma dan guru pertama bagi anak-anaknya. Orang tua disebut juga sebagai Buddha, Deva dan Brahma karena mereka meneladani ketidak terbatasannya dialam hal cinta kasih dan kasih sayang terhadap anak-anaknya. Jadi mereka merupakan salah satu makhluk yg mulia yg mempunyai “Jasa Besar” didalam kehidupan kita saat ini. Karena ada didikan dan bimbingan merekalah akhirnya kita bisa merasakan hidup yg indah saat ini.

Pattidana (Pelimpahan Jasa)

Didalam Buddhasasana, sebagian umat yang telah menyakini Tiratana mungkin kita sudah mengetahui apa maksud dan tujuan dari Pattidana. Pattidana atau pelimpahan jasa adalah suatu tindakan atau ungkapan sebagaimana salah satu bentuk wujud dari rasa bakti dan hormat (Katannukatavedi) kepada orang-orang yg telah meninggal, yg mempunyai hubungan dengan kita, orang-orang yang telah berjasa dalam hidup kita. Didalam Manggala Sutta telah dijelaskan (Pujã ca Pujaniyana Eta Mangalamuttama; Menghormat kepada yg patut yg dihormati adalah berkah utama) didalam salah satu Sutta bagian dari Tipitaka juga ada diceritakan ketika Sang Buddha melakukan perjalanan dan sewaktu ditengah perjalanan beliau berhenti sejenak melihat setumpukan tengkorang manusia, setelah itu Sang Buddha Benamaskara didepan tumpukan tulang tersebut. Pattidana adalah suatu tindakan atau ungkapan rasa bakti dan hormat kepada orang tua, para leluhur dan kepada sanaksaudara yang telah meninggal dunia. Mengapa Pattidana perlu dilakukan?, Pattidana dilakukan karena adanya satu hal yang dapat menjadi pengharapan agar orang yang telah meninggal tersebut mengetahui serta merasakan perbuatan baik yang telah kita lakukan dan dengan tujuan agar mereka ikut serta merasakan kebahagiaan (bermuditacitta) atas perbuatan kebajikan yang sudah kita lakukan sehingga dengan cara demikian kita akan membantu memberikan sebuah kondisi yang baik, kondisi yang membahagiakan didalam diri mereka. Namun perlu diketahui sebelum seseorang melakukan pelimpahan jasa, seyogiyannya terlebih dahulu ia harus melakukan suatu tindakan nyata dalam berkebajikan, barulah kemudian dari jasa kebajikan tersebut di limpahkan dan di kabarkan kepada mereka, “semoga kebajikan yang saya lakukan ini dapat dirasakan dan dinikmati oleh leluhur, keluarga dan semua makhluk yang memiliki hubungan karma dimanapun mereka berada”. Pattidana sendiri hanya bisa diterima bagi mereka yg masih terlahir dialam Apaya (Alam Menderita) yaitu para Paradattupajivika Peta (yang terlahir menjadi setan kelaparan).

Dalam hal ini mungkin banyak yg berasumsi dan beranggapan, bukannya setiap makhluk  itu memiliki, mewarisi, terlahir, terlindung dan berhubungan dengan kammanya sendiri, lantas untuk apa melakukan Pattidana?. Melakukan Pattidana sebenarnya tidak ada ruginya, justru malah sebaliknya melakukan Pattidana akan menambah nilai pahala dari kebajikan yang telah dilakukan. Proses pelimpahan jasa kebajikan yang kita lakukan dapat di ibaratkan seperti “Ketika kita mempunyai sebuah lilin kemudian lilin tersebut kita nyalakan dan setelah itu kita sulutkan lilin tersebut ke lilin yang lain, apakah cahaya penerangan lilin tadi berkuran? Tentu tidak berkurang, bukan? Justru lilin tersebut akan bertambah memberikan keuntungan yg sangat besar bagi lilin yg lainnya. Jadi maksud Pattidana ini sama halnya dengan sebuah nyala api lilin yang tak akan pernah berkurang cayahanya meskipun sudah dibagi kelilin-lilin yang lainnya, demikian juga dengan kebajikan yang telah kita lakukan kemudian kita llimpahkan kepada leluhur, sanak keluarga dan semua makhluk pun tidak akan mengurangi jasa kebajikan yang sudah dilakukan, kebajikan itu akan selalu tetap, tidak akan berkurang justru akan semakin bertambah. 

Karena pengertiannya adalah kita hanya mengabarkan, menyampaikan, dan berbagi kebahagiaan, supaya mereka juga ikut turut merasakan kebahagiaan seperti apa yang kita rasakan, dan supaya mereka turut bermuditacitta dengan tindakan baik kita, sehingga ketika mereka dalam kondisi berbahagia akan sangat membantu memicu kesadaran baik dan kepuasan batiniah didalam dirinya serta akan mendorong pada semua kebajikan-kebajikan yang pernah mereka lakukan semasa hidupnya didunia, dengan begitu akan membantu mereka untuk dapat terlahir kembali dialam-alam yg lebih baik. contoh sederhana dalam hal ini yaitu “Ketika seorang anak yang pergi menuntut ilmu dikota lain/ luar negri memberitakan  kabar kelulusannya kepada orangtuanya di kota kelahirannya. Mendengar kabar gembira ini, ayah dan ibunya tentunya akan merasakan kebahagiaan. Padahal apabila di renungkan, si anak yang lulus tetapi mengapa orang tuanya juga merasakan kebahagiaan? Inilah yang disebut pikiran ikut berbahagia (mudita citta) atau ikut bergembira atas kebahagiaan yang dirasakan oleh orang lain. Mudita citta adalah termasuk melakukan salah satu karma baik lewat pikiran. Oleh karena itu, kondisi demikian inilah yang dimunculkan oleh seorang umat Buddha apabila melimpahkan jasa kebaikan yang dilakukannya” 

Pattidana dilakukan sebenarnya bukan hanya pada saat ini atau diera Modren saja melainkan dizaman kehidupan Sang Buddha, Pattidana memang sudah dilakukan. Salah satunya adalah seorang Raja Magadha yaitu Raja Bimbisara, yang melakukan pelimpahan jasa ketika para sanak saudarannya yang telah meninggal meminta pertolongan dan bantuan. Kemudian Raja Bimbisara menanyakan peristiwa yg dialaminya dan Sang Buddha pun menyarankan agar Raja Bimbisara melakukan kebajikan serta kemudian melimpahkannya. Sinngkat cerita, Sesudah melakukan hak itu para sanak keluarganya merealisasi kebahagiaan dan terlahir dialam yang bahagia.

”Seperti air mengalir dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah, demikian pula hendaknya jasa yang dipersembahkan (oleh kerabat dan keluarga) di alam manusia ini dapat ikut dinikmati oleh para arwah (peta). Seperti air dari sungai besar mengalir mengisi lautan, demikian pula dengan jasa-jasa ini dapat ikut dinikmati oleh para peta” (Tirokudda Sutta, Khuddakapatha). 

Semoga renungan ini akan memberikan manfaat dalam memanfaatkan momen Cheng Beng, kepada sanak keluarga dan leluhurnya. Semoga semua makhluk turur berbahagia. Sadhu…

()

Baca Juga

Rekomendasi