Kehati-hatian Mengelola Keuangan Negara

Oleh: Bhakti Dharma MT. Keuangan negara merupakan modal penting dalam melanjutkan berbagai program pembangunan dan menda­nai sejumlah pengeluaran rutin negara. Oleh karenanya, dibutuhkan kehati-hatian dalam rangka pengelolaan keuangan ne­gara itu sendiri. Sebab jika tidak bijak da­lam mengelolanya, akan sangat ber­potensi melahirkan persoalan besar dalam rangka memenuhi kebutuhan negara.

Biasanya, ketika keuangan negara se­dang menipis, maka berbagai upaya selalu di­lakukan. Misalnya dengan menggenjot pe­nerimaan pajak atau bahkan dengan me­nambah utang luar negeri. Adapun ma­salah utang luar negeri selama ini begitu sering mendapat sorotan karena dianggap pemerintah terlalu gampang dalam menambah utang.

Utang yang banyak tentu akan sangat rentan melahirkan problem dalam rangka mengatasi pembayarannya. Oleh sebab itu, semaksimal mungkin selalu dihindari untuk melakukan atau menambah utang. Ketika utang semakin membesar, sama artinya pemerintah mewariskan masalah pada generasi penerus bangsa kita. Karena bagaimanapun juga, utang haruslah di bayar. Ketika pemerintah saat ini tidak mampu membayarnya, maka hal tersebut akan menjadi beban bagi pemerintahan be­rikutnya dan begitu seterusnya. Di si­nilah pentingnya dihindari upaya m­e­ngu­tang dalam rangka membelanjai kebutuhan negara.

Selain itu, selama ini kebijakan me­ngu­tang sering dianggap sebagai jalan pin­tas. Pemerintah dianggap tidak mak­simal dalam rangka memanfaatkan segala po­tensi bangsa yang ada, sehingga ter­kesan hanya mengandalkan utang semata. Be­lakangan diketahui bahwa ternyata In­donesia tercatat sebagai salah satu negara de­ngan rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) paling rendah di dunia. Saat ini, rasio utang pemerintah mencapai 27,6% terhadap PDB dengan nilai Rp 3.196,61 triliun. Negara-negara berkembang lain umum­nya punya rasio utang jauh lebih besar.

Memang punya rasio utang yang relatif kecil terhadap PDB, di satu sisi, memang menguntungkan. Apalagi defisit APBN kita rendah, cuma 2,15% terhadap PDB, se­hingga Indonesia tergolong sebagai negara dengan defisit anggaran di bawah rata-rata negara berkembang dan negara ber­pendapatan rendah. Utang kecil de­ngan defisit APBN rendah lebih menja­min suatu negara menjaga kesinambu­ngan fiskal dan moneternya. Terlebih bagi Indonesia yang menerapkan rezim devisa be­bas dan kerap diamuk gejolak kurs. Na­mun, rasio utang yang kecil dengan de­fisit APBN yang rendah, di sisi lain, juga merepotkan. Karena utang dan de­fisit APBN minim, anggaran yang ter­sedia untuk menyelenggarakan pe­me­rin­tahan menjadi terbatas.

Tak Berjalan Maksimal

Akibatnya, program-program pemba­ngu­nan nasional tak bisa dijalankan se­cara maksimal. APBN sulit menjadi me­sin pertumbuhan ekonomi. Angka ke­mis­­kinan dan pengangguran susah di­pang­­kas. Rasio utang yang kecil dengan de­­fisit APBN yang rendah juga akan me­maksa pemerintah bekerja keras me­ningkatkan penerimaan negara, terutama dari pajak. Pemerintah pun, mau tidak mau mesti mengoptimalkan pengeluaran negara untuk program-program pemba­ngun­an yang selektif. Kondisi ini menun­tut tersedianya aparat penyelenggara negara yang bersih dan mampu menerap­kan tata kelola yang baik (good governan­ce). Indonesia sesungguhnya punya dua pilihan.

Pertama, mempertahankan rasio utang dan defisit APBN tetap rendah. Konse­kuensinya, pembangunan berjalan datar-datar saja, namun kesinambungan fiskal dan moneter terjaga. Pilihan kedua, meningkatkan rasio utang dan defisit APBN hingga batas maksimal yang ditoleransi undangundang (UU).

Berdasarkan UU No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU APBN 2016, batas rasio utang adalah 60% terhadap PDB, sedangkan defisit APBN tak boleh melebihi 3% dari PDB. Jika ra­sio utang dan defisit APBN dinaikkan hingga batas maksimal, pemerintah dapat membiayai proyek-proyek pembangun­an secara masif dan agresif. Ekonomi akan tumbuh pesat.

Namun, ini pilihan penuh risiko. Jika pe­merintah gagal menerapkan good gover­nance, proyek-proyek pem­ba­ngun­an bakal terbengkalai. Pemerintah bisa default, tak mampu membayar utang. Dampak­nya, kepercayaan masya­ra­kat internasional akan luruh. Peringkat su­rat utang pemerintah, bahkan swasta, ba­kal anjlok. Indonesia tak lagi dianggap se­bagai tujuan investasi yang menarik. Ru­piah bisa terkapar. Menaikkan utang se­cara drastis saat para penyelenggara negara belum mampu melak­sa­na­kan good governance seperti sekarang ten­tu sangat riskan. Apalagi fundamental ekonomi kita belum kokoh.

Namun, terlalu naif jika kita dengan dalih menghindari risiko terus berpuas diri meski hasilnya pas-pasan. Jangan lupa, di negeri ini masih terdapat 7,56 juta penganggur terbuka dan 28,51 juta pen­duduk miskin. Jumlah mereka bisa te­rus membengkak. Pendapatan per ka­pita kita pun baru US$ 3.377, cuma se­perempat dari Malayasia dan seper­tu­juh belas dari Singapura.

Pilihan paling bijak adalah mengambil ja­­lan tengah. Pemerintah bisa menaikkan ra­­sio utang dan rasio defisit APBN ter­ha­dap PDB. Sudah saatnya pemerintah me­­ning­galkan paradigma lama bahwa ke­kua­tan fiskal sebuah negara semata-mata diukur dari rasio utang dan rasio de­fisit APBN terhadap PDB-nya. Sepan­jang digunakan untuk program-program pem­­bangunan yang produktif dan me­ning­kat­kan nilai tambah per­eko­no­mian na­sional, utang yang membesar dan de­fi­sit APBN yang melebar tidak di­ha­ram­kan.

Proporsional

Terlebih utang luar negeri dan dalam negeri pemerintah saat ini cukup propor­sional. Dalam mengambil jalan tengah, pemerintah hanya perlu menggunakan utang secara hati-hati dan terkelola baik, seraya mengawal proyekproyek yang dibiayainya dengan menerapkan good governance.

Agar tidak membebani rakyat dan du­nia usaha, proyek yang dibiayai utang pe­merintah harus betul-betul produktif bagi perekonomian dan menghasilkan pe­nerimaan nonpajak yang dapat lang­sung digunakan untuk membayar utang itu sendiri. Paling penting, jangan sampai utang pemerintah digunakan untuk mem­bayar subsidi yang tidak tepat sasaran atau mendanai proyek-proyek pemba­ngun­an yang tidak mendatangkan manfaat bagi rakyat banyak. Apalagi jika diguna­kan untuk gali lubang tutup lubang atau menambal sulam utang-utang sebe­lumnya.

Tentunya semua itu membutuhkan ke­hati-hatian dalam mengelola keuangan negara. Berbagai problem yang ada harus di­lihat sebagai bentuk peringatan dini da­lam rangka membangun sistem penge­lo­laan keuangan negara yang benar-benar ma­tang dan mapan. Tanpa adanya ber­bagai pertimbangan yang matang, maka bisa jadi akan berdampak buruk bagi masa depan keuangan negara.

Demi esksistensi negara kita, maka pe­merintah harus bekerja maksimal dan ber­pikir keras untuk menggali berbagai sum­ber keuangan negara serta mampu me­ngelola pengeluaran dengan baik. Pem­bangunan haruslah dijalankan secara terus menerus, namun jangan lupa untuk menjaga stabilitas keuangan negara agar tetap terjaga dengan baik. ***

Penulis adalah  peminat masalah politik dan social kemasyarakatan, aktif di KomPedan Medan

()

Baca Juga

Rekomendasi