Hal ini disampaikan SOS dalam rilisnya melalui PESADA (Sada Ahmo Assoc.) Medan, Dina Lumbantobing, Senin (9/5). Kekerasan terhadap Yuyun merupakan bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia HAM) sebagaimana yang ditentukan dalam Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia tahun 1948, UU RI No. 7 tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan. Yakni, pemerintah Indonesia mengutuk diskriminasi terhadap perempuan dalam segala bentuk termasuk kekerasan terhadap perempuan, dan bersepakat untuk menjalankan dengan segala cara yang tepat dan tanpa ditunda-tunda. Berusaha untuk menegakkan perlindungan hukum terhadap hak-hak perempuan atas dasar yang sama dengan kaum laki-laki dan untuk menjamin melalui pengadilan nasional yang kompeten dan badan-badan pemerintah lainnya, perlindungan kaum perempuan yang efektif terhadap tindakan diskriminasi apa pun.
Karena itu, peristiwa yang menimpa Yuyun, merupakan kasus kejahatan dan pelanggaran paling serius terhadap hak perempuan. Mulai dari pelanggaran terhadap 12 Jenis Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi terkhusus hak-hak, di antaranya hak untuk hidup, hak atas kemerdekaan dan keamanan, dan hak untuk bebas dari penganiayaan dan perlakuan buruk.
Dijelaskannya, Deklarasi Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan yang mengutuk kekerasan terhadap perempuan yang menyatakan Negara harus mengupayakan cara-cara yang sesuai dan tidak menunda-nunda kebijakan untuk menghapuskan kekerasan terhadap perempuan khususnya kekerasan seksual. "Dipertegas pula pada poin (d) yang menyatakan 'untuk menghukum dan menindak berbagai ketidakadilan yang dialami perempuan sebagai akibat dari kekerasan terhadapnya sebagaimana diatur oleh perundang-undangan nasional, ganti rugi yang efektif dan adil atas kerugian yang mereka derita," paparnya.
Penyelesaian hukum, lanjutnya, tidak menyelesaikan perkosaan dan kekerasan seksual. Hukuman-hukuman untuk pelaku kejahatan seksual (perkosaan) sering tidak memenuhi rasa keadilan perempuan. Setiap perkosaan terjadi, perempuan selalu dipersalahkan atas cara berpakaiannya, bukan menghujat tindakan kekerasan yang dilakukan pelaku perkosaan. "Perempuan punya hak atas tubuhnya untuk terhindar dari berbagai bentuk kekerasan seksual. Publik tidak boleh diam, anak kita harus aman berada di luar rumah untuk menuntut ilmu, berkreasi dan anak laki-laki kita harus didik menjadi laki-laki sejati yang hormat pada perempuan. Pemimpin harus diajari menjadi orang tua tauladan," katanya.
Karena itu, pihaknya, yang tergabung dalam Aksi Solidaritas untuk Perempuan Korban Kekerasan Seksual SOS 'Nyalakan Cahaya untuk Yuyun' menyampaikan beberapa tuntutan. "Pemerintah harus segera membentuk Tim Penanganan khusus pemulihan psikis dan sosial dan dampingan hukum untuk keluarga korban yang melibatkan para pihak. Pemerintah desa, kecamatan, kabupaten/Kota, Provinsi di Bengkulu harus menjamin keamanan dan perlindungan bagi keluarga, teman korban, saksi dan pendamping juga harus segera merancang dan menjalankan program pendidikan dan penyadaran tentang Hak Kesehatan Seksual & Reproduksi (HKSR) bagi perempuan, perempuan muda/remaja, laki-laki muda/remaja, suami/ayah sebagai program prioritas di sana. (rel/st)