Jendela Kamar Rah

Oleh: Haura Alsa

Tidak ada yang berubah. Tidak ada yang kurang. Bahkan bunyi derit jendela kayu yang bergeser sedikit sebab angin mendorong goyang dan warna dinding kamar pun masih tetap serupa lalu, biru; biru yang muda lugu. 

Tidak ada yang berubah. Tidak ada yang kurang. Selain senja yang gemulai pulang dan angin yang terus berusaha menerobos jendela setengah terbuka lalu lembut menyelisik kedalaman kamar. Hanya saja, sebab jarak, tak sampai menyentuh sepasang kaki gusar yang dibalut kaus kaki; yang Tuannya duduk di kursi kayu berjarak lima meter dari jendela. Angin yang tak cukup kencang. Meski di luar sepertinya akan tumpah hujan.

Tidak ada yang berubah. Tidak ada yang kurang. Selain rona kamar ini yang semakin petang. Dijemput waktu-waktu yang lengang. Ditinggal Tuannya berbulan-bulan untuk menuntaskan pendidikan, menyebrang pulau; di kota orang pun, tetap sengaja membikin kamar yang diusahakan serupa mungkin, meski seusaha mati-matian pun tetap akan ada yang berbeda.   

Ya, berbeda. Sebab pada malam-malam gigil atau senja-senja menjingga ataupun ketika nyenyaknya terlelap di siang, tidak ada lagi yang mengganggu untuk merubuh rindu. 

Dia, tak tahan lagi menatap jendela yang dari tadi dipandanginya; nanar. Hatinya tak tahan bergidik gusar. Marah. Ingin buncah. Pada kecerobohan perasaannya sendiri yang sejak dulu dan entah kapan memutuskan pergi. 

***

Di luar hitam berkawin dengan kelam melahirkan malam. Dipendarkan dengan sepotong bulan yang menggantung dan bintang-bintang yang menjumlah gunung. 

“Kenapa menangis, Rah…?”, tiba-tiba ada suara tulus panik dari balik jendela. 

Tidak ada jawaban, lantas dia tak jera bertanya lagi. “Rah…kena..apa….?”

Yang ditanya masih saja belum merasa perlu menjawab. Masih berjongkok tepat dua meter dari jendela dengan memegang kepala disertai sedu sedan dan sesenggukan. Rautnya masih merajuk, hanya saja sudah kapok menangis lama, lelah. 

Pun sama ibunya yang di luar kamar telah lelah menggedor-gedor pintu yang tadi dibanting Rah sebelum masuk kamar dengan kesal.  

“Sebelum potong rambut, hiks..hiks.. aku udah bilang sama ibu jangan lewat telinga. Tapi tukang salonnya budek tuh. Hiks.. hiks.. !” Akhirnya ada juga pengaduan pertama meski disampaikan masih tetap dengan rautnya yang merajuk.

“Aku malu besok mau sekolah. Hiks..hiks.. Aku pasti nanti diejeki kayak laki-laki! Hiks..hiks..”, kalimat pengaduan kedua disampaikan dengan tangan yang menghapus sisa-sisa air mata.

“Mana..aku mau lihat….” Katanya memandang Rah lurus sambil tangannya memegang jerjak-jerjak besi jendela kamar Rah.

“Nggak kayak anak laki-laki kok. Rambutku nggak segitu pendeknya.” 

***

“Rah.. Rah…” ada suara tangan yang mengetuk-ngetuk tak sabaran jerjak besi jendela kamar Rah. Merusuhi lelap nyenyak tidur siangnya.

“Ada apa? Ini kesepuluh kalinya dalam bulan ini kau mengganggu tidur siang putri jelita.”

“Aku lulus SMA 1, Rah.. Kau juga lulus.. Aku nggak nyangka kau masih bisa tidur siang padahal siang ini pengumuman online.”

Rah mendekap mulutnya. Perasaan buncah senangnya masih berada di dada. Lalu sedetik. Dua detik. Lima detik. 

“Serius, Ta? Kau serius, Ta?” 

“Iya, Rah..” Yang ditanya mengangguk-angguk dengan mata berbinar-binar dan senyum yang terkembang.

Lima menit kemudian. Angin siang membelai sepoi-sepoi, seolah ikut menyemarakkan berita gembira sepasang remaja yang di masing-masing dadanya sedang buncah rasa puas pun rasa tak sabaran akan duduk di sekolah menengah yang sedari dulu dicita-cita. 

Dan Rah seperti biasa duduk depan jendela dengan kursi kayu kegemarannya dan di luar lesehanlah juga Ta yang sejak dahulu kala tak pernah mengubah posisi duduknya; membelakangi jendela kamar (dan) Rah yang tingginya setengah meter. 

Rah memegang jerjak-jerjak besi jendela; yang setiap hari rajin dibersihkan Ta dengan kain lap yang sengaja dibawanya dari rumah.

“Kenapa harus kau yang membersihkan jerjak-jerjak besi itu, Ta?”, tanya Rah suatu hari.

“Tidak apa-apa, anggap saja ini bayaran sebab aku selalu diizinkan duduk di depan jendelamu, memandang bunga-bunga mekar di samping rumahmu yang kiri, memandang daun-daun hijau di depan sini yang disirami ayahmu setiap hari.” 

“Rah, nanti di SMA kau mau ikut ekskul apa?” Ta bertanya pada Rah (tetapi lebih kelihatan seperti bertanya pada angin yang sedang plesiran di sekitaran mereka).

“Belum tahu! Akan kujajaki satu-satu, akan kuselidiki satu-satu ekskul mana yang paling bisa membuat eksis. Ha.ha..” Rah menjawab dari belakangnya (pun sama seperti menjawab pada angin yang sedang plesiran di sekitaran mereka).

***

Senja yang kesekian..

“Rah, aku masih heran. Kenapa kau suka sekali dengan capung. Apa bagusnya? Kenapa tidak bisa menyukai kelinci, kucing atau binatang-binatang imut lainnya?”

“Ta, aku masih heran. Kenapa kau suka sekali bertanya tentang ini lagi. Kenapa tidak bisa bertanya hal-hal yang lain?”

“Eeh..maksudku.. Tidakkah ingin berusaha menyukai atau menyenangi, apa yang salah dari hewan berbulu? Kenapa harus menyenangi serangga apalagi yang seperti capung.”

“Ta, bukankah si pembuat helikopter menemukan alat terbang itu dari capung?”

“Ya, sudah sering kudengar itu darimu, Rah.”

“Aku geli pokoknya sama hewan berbulu. Sesederhana itu, Ta.”

“Berarti aku harus mencari kekasih yang tidak hanya bisa mengurus anak-anakku kelak, tetapi juga bisa membantu mengurus segala jenis hewan berbulu yang kupelihara.”   

Rah tergugu. Diam terperanjat. Entah kenapa. Tiba-tiba saja, ada yang pedih di hati Rah ketika Ta menghembus pelan syahdu kalimatnya barusan. Entah kenapa. Pertama kalinya Rah merasa pedih. Pedih sekali.

***

“Ta.. “

“Hmm?”

“Kau pernah…pernah…”

“Pernah apa, Ra?”

“Pernah suka pada seseorang?”

“Suka?”

“Iya, Ta. Pernah?”

“Pernah. Aku suka sekali pada kelinci hadiah dari ayah atas ulang tahunku tahun lalu. Bukankah kau sudah tahu? Aku sudah menceritakannya, bukan?” 

“Eh..Ta. Aku bilangkan tadi seseorang. Bukan seekor. Gimana sih?”

“Emm. Tidak pernah. Aku tidak tahu perasaan suka pada seseorang itu seperti apa.” Ta membalikkan kepalanya ke kanan. Mengangkat wajahnya sedikit ke atas tepat menatap gurat wajah Rah yang dibalik jerjak-jerjak besi. Rah salah tingkah lantas membuang wajah.

***

Malam telah membawakan getar-getar hujan, sedang dia masih duduk di kursi kayu kegemarannya meredakan hujan di sepasang matanya, menyisa sesenggukan yang teramat dalam, masih berjarak lima meter dari jendela. Meski hujan di dadanya masih jauh lebih pedih deras ketimbang hujan di luar rumah. 

Dia membiarkan pintu jendela terbuka lebar membikin tari bersama angin, membiarkan angin membawa masuk air hujan yang berhasil menerobos jerjak-jerjak besi jendela menuju lantai kamar. 

Dia salah. Tentu ada yang berubah. Tentu ada yang kurang. Meski bukan derit jendela ataupun warna dinding kamarnya. Tapi sesuatu yang selalu betah dan singgah setiap malam sejak kepergiannya merantau kota, bukan hanya malam, tapi saban apapun yang akan mengingatkannya pada kenang yang selalu saja indah diingat dan menghasilkan tawa lantas lara.

Sesuatu itu. Rindu. Rindu yang berubah. Rindu yang kian menambah pada tiap-tiap harinya. Rindu yang tanpa ampun menyiksa kepala dan jiwanya. Rindu yang semakin dipapas semakin menguatkan napas. Rindu yang hanya kepada seseorang yang dulu setiap hari selalu menyinggahi jendela kamarnya, yang setiap hari menegur baik jerjak-jerjak besi jendela kamarnya dengan kain lap yang sengaja dibawa dari rumah. 

Rindu. Rindu yang kehilangan ujungnya. Sebab temu telah menjadi mustahil. Maksudnya, temu-temu yang seperti dulu lagi. Duduk berdua berkarib angin siang, duduk berdua menanti senja yang cepat sekali pulang, duduk berdua memeluk derap gulita malam. Duduk berdua dibatasi jerjak-jerjak besi jendela kamar.

Kenapa harus pernah kau hembus kalimat yang membikin pedih perih di hati yang mampu sekali melunturkan segala percaya diri? Aku selalu berusaha mengokohkan tekad untuk menemuimu, merasa perlu membincangkan tentang ‘kita berdua’ yang pantas dibicarakan. Tapi kalimatmu masih saja mengiang, mengoyak tiba-tiba harapan yang kubangun susah. 

Rasanya memang sulit sekali adat kita, jika akan membicarakan ‘kita’. Kau tahu? Aku masih saja bertanya-tanya pada Tuhan, kenapa harus sebegini jatuh pada laki-laki yang anak kandung dari abang ayahku sendiri. Aku masih saja bertanya pada Tuhan, kenapa kau harus terlahir sebagai sepupuku sendiri?

Aku keliru. Ya, aku keliru mungkin tentang ‘kita’. Aku tidak pantas membicangkan kita. Tentu saja kau lebih pantas mencari kekasih yang tidak geli sama sekali untuk bisa mengurus segala hewan berbulu yang kausenangi, serta kekasih yang bukan adik sepupumu sendiri.

Ya, aku keliru.

***

Minggu, 3 Maret 2002-19.22

“Aku malu besok mau sekolah. Hiks..hiks.. Aku pasti nanti diejeki kayak laki-laki! Hiks..hiks..” kalimat pengaduan kedua disampaikan dengan tangan yang menghapus sisa-sisa air mata.

“Mana..aku mau lihat….” Katanya memandang Rah lurus sambil tangannya memegang jerjak-jerjak besi jendela kamar Rah.

“Nggak kayak anak laki-laki kok. Rambutku nggak segitu pendeknya.” Rah masih tetap cantik kok.

Kamis, 31 Mei 2007-15.44

“Kenapa harus kau yang membersihkan jerjak-jerjak besi itu, Ta?” Tanya Rah suatu hari.

“Tidak apa-apa, anggap saja ini bayaran sebab aku selalu diizinkan duduk di depan jendelamu, memandang bunga-bunga mekar di samping rumahmu yang kiri, memandang daun-daun hijau di depan sini yang disirami ayahmu setiap hari.” Dan memandang segurat wajah yang meminjam mimpi-mimpiku hampir setiap malam dan rasanya bak gulali.

Senin, 28 Juni 2010-18.25

“Aku geli pokoknya sama hewan berbulu. Sesederhana itu, Ta.”

“Berarti aku harus mencari kekasih yang tidak hanya bisa mengurus anak-anakku kelak, tapi juga bisa membantu mengurus segala jenis hewan berbulu yang kupelihara.”  Padahal aku berharap sekali itu kau, Rah. Itu sebab aku selalu bertanya, bisakah kau menyenangi kucing, kelinci ataupun hewan berbulu lainnya..

Selasa, 6 Juli 2010-19.45

“Eh..Ta. Aku bilangkan tadi seseorang. Bukan seekor. Gimana sih?”

“Emm. Tidak pernah. Aku tidak tahu perasaan suka pada seseorang itu seperti apa.” Ta membalikkan kepalanya ke kanan. Mengangkat wajahnya sedikit ke atas, tepat menatap gurat wajah Rah yang dibalik jerjak-jerjak besi. Rah salah tingkah lantas membuang wajah. Kau semakin cantik saja,Rah. Apa perasaanmu padaku? Pernahkah kau juga suka pada seseorang? Aku tidak berani bertanya kembali, aku sungguh tidak siap atas jawabanmu yang barang kali akan menyebut nama yang bukan milikku. Jawabanku barusan adalah kebohongan.

Rabu, 27 Agustus 2014 - 18.55

Hujan semarak di luar rumah. Ta membuang langkah. Terduduk di sudut kiri kasur dengan sesak-sesak dada. Menabah-nabahkan sukma yang telah banyak luka nganga sebab rindu belum juga ditunai jumpa. 

Diantara kita, aku tidak pernah tahu siapa yang sebenarnya keliru. Bukankah Tuhan tak mungkin salah menuliskan takdir bahkan sebelum kita lahir? Tidakkah pernah, sekali saja, kau menemukan tatap mataku yang memandangmu jauh lebih indah, bukan sebagai saudara yang selalu ingin baik menemani hari-hari.

Ah, iya. Aku yang keliru. Kau tentu tidak pernah punya rasa; seperti rasa yang mekar di jiwaku. Sekali lagi, memang aku yang (mungkin) keliru, perlakuanmu padaku tentu sebagaimana menurut adat kita, menyayangiku seperti mencintai abang kandungmu sendiri.

Barangkali, ada sesuatu yang tak pernah kau temui. Dan entah. Aku tidak pernah tahu, apakah harapan yang tertanam balam di sukmaku. Aku tidak pernah tahu, apa aku ingin kau pernah melihat atau tidak. Perihal nama kita yang pernah kugoret dengan pena di tepian jendela kamarmu, Rah. Yang bertuliskan; Tama (gambar hati) Amirah.  

-Epilog-

Sabtu, 28 Maret 2015-22.15

Dulu waktu kecil, aku harus menangis karena rambutku dipotong kependekan, menangisi hal-hal yang sepele. Sekarang ketika besar, berarti menangisi hal-hal yang berat. 

Aku sungguh tidak apa-apa, aku hanya ingin menangis ketika kau menelpon barusan. Sungguh kata bijak itu salah, tadi aku menangisi hal yang sepele. Aku selalu baik-baik saja di kota ini. Bagaimana Medan? Kota kita yang kau cintai amat dalam.

Ta membaca pesan singkat Rah yang masuk barusan, lantas juga membaca sandiwara yang benar-benar baru saja disadarinya. Iya, baru saja disadarinya, dia dan Rah saling menyayangi sebagai saudara adalah sandiwara. Sandiwara yang kini terbongkar nyala. Di dada dan kepalanya. Lantas adat? Ingin sekali dibakarnya padam dengan lebat api yang membara.

()

Baca Juga

Rekomendasi