Museum Langkat

Eks Gedung Kerapatan Kolonial

Oleh: Syafitri Tambunan

KESULTANAN Langkat, hancur saat revolusi sosial tahun 1947. Ma­sa itu, benda-benda Kesultanan Langkat habis dijarah dan beberapa ba­ngu­nan dibakar. Untuk menyelamatkan sisa bangunan yang masih utuh, maka tahun 1977, bangunan ber­ku­bah dengan arsitektur Eropa  ini di­usul­kan sebagai museum, tapi gagal. Na­mun, akhirnya, tahun 1978 dirawat lagi, dijadikan kantor pembantu bupati di masa Syam­sul Arifin. Setelah tidak menjabat, bangunan kerapatan ini terbengkalai lagi.

Staf Kantor Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Langkat/Museum Daerah Langkat, M. Sis., bercerita, dirinya beserta rombongan budaya Indonesia baru kembali dari Malaysia. Melihat Malaysia, yang masih menjaga bangunan berse­jarah. Mereka pun punya ide yang sama agar eks bangunan pengadilan/kerapatan dirancangkan sebagi museum. “Drs. Tengku Zainuddin A.K. punya ide membuat bangunan ini menjadi museum. Sebab, ini sendiri adalah aset museum, sama seperti di Malaysia, Istana Lama Seri Menanti, kok dijadikan museum. Mereka (Ma­laysia) menjawab bahwa bangunan itu adalah kontennya museum yakni peninggalan bersejarah.

Museum Langkat, lanjutnya, punya dua bukti sejarah, yakni Kentong Babussalam (dalam Galeri Babusalam) dan bangunan museum itu sendiri. “Tahun 2006, barulah (Museum Langkat) dires­mi­­kan oleh Syamsul Arifin (bupati saat itu) sebagai Museum Daerah Kabupaten Langkat,” ucapnya.

Melihat maket foto dan bukti-bukti lain, bangu­nan ini bernilai sejarah panjang. “Bukti sejarah ada di gedung ini. Dulunya, di masa kerajaan, bangu­nan ini dibuat jadi kantor kerapa­ tan/penga­dilan negeri/pengadilan kerajaan Ma­kanya letaknya dekat dengan penjara (100 meter dari gedung). Dibuat di masa Kerajaan Sultan ke 2 Sultan Abdul Aziz (1927-sebelum merdeka),” ucapnya.

Gedung ini dibangun tahun 1905, tiga tahun pascaselesainya Masjid Azizi Langkat (1902) makanya bentuknya hampir sama. “Kalau melihat struktur batu, sama dengan Masjid Azizi. Dinding tetap pakai batu. Bentuk kubahnya juga diambil dari Arsitektur Turki, ma­kanya sama kalau dilihat. Pascamasa kemerdekaan, gedung ini terlantar bahkan tahun 1943 pernah terbakar makanya juga dikenal sebagai ‘gedung hitam’ karena bagian atasnya hangus. Sekitar tahun 2008-2010, barulah dibuat kubah luarnya. Kubahnya itu baru, tapi ornamen dulunya memang sudah ada,” katanya.

Sempat diusulkan menjadi Museum Amir Hamzah, namun gagal, maka ditutuplah bangunan ini. Beberapa tahun, terjadi pengeboman, gedung ini hangus, kemudian terbengkalai dan tidak terurus. Bentuk tetap dari dulu, kecuali penam­bahan open stage. Tahun 1977, diajukan jadi Museum Amir Hamzah, namun gagal karena ketidaan barang peninggalan (Amir Hamzah),” bebernya.

Eks gedung kerapatan ini diresmikan pasca melihat bangunan sejarah di Malaysia. “Di sana (Malaysia) enak, setiap tanah tanpa hak milik, hak negara semua, jadi sekaya-kayanya, tidak bisa atas nama. Itulah, kami contoh cara di sana yang membuat museum dari bangu­nan sejarah itu sendiri,” akunya.

Aset sejarah, harus jadi identitas. “Tapi pemerintah minta income (pendapatan), makanya terbengkalai, seakan jadi bisnis, hanya melihat pengunjung, bukan identitas sejarah. Kurangnya perhatian, bukan hanya di Tanjung Pura Langkat ini, tanya seluruh museum di Indonesia, sama nasib kita,” ungkapnya.

Makanya, dia bersama Putri Handayani (staf pariwisata) berharap besar pada ajuan anggaran renovasi. "Rehab besar baru diajukan untuk realisasi dana APBD tahun 2017. “Masih dibuat proposal oleh tim Banggar kantor pariwisata. Setelah itu, kita ajukan catnya, yang menurut dewan cagar budaya nasional, tidak bisa meng­gunakan yang kimia kalau untuk gedung-gedung sejarah. Sebab, akan merusak bangunan lama,” ungkapnya.

Selain itu, pavling block lantai luar sekeliling. Harapannya, ‘muka’ museum ini lebih cerah. Kalau sekadar penam­pilan dicantikkan, sementara di dalam tidak terurus, ya agak sulit juga. Seka­rang, jaga malam tidak ada, di sini, kamilah kepala, anggota, ketua, tukang sapu dan lainnya. Jika ada pekerja untuk kebersihan, pasti fokus.

Rencananya ini akan rehab besar, yang lapuk mau diganti, keamanan ditingkat­kan. “Kunci hanya satu, kalau ada yang berharga, mungkin sudah habis. Waktu pagar direhab dulu, bahkan besi (sebelum direhab), tinggal 2 lagi mau lepas. Alhamdulillah, direhab, tapi kita tidak tahu besi seadanya itu kualitasnya. Dulu, kawatnya tebal besar, sekarang seadanya,” ujarnya.

()

Baca Juga

Rekomendasi