Seni Kontekstual

Oleh: Heru Maryono. Perbedaan itu penting. Inilah da­sar kehidupan. Lihat saja ikatan pernika­han. Haki­kinya, mempersa­tu­kan perbe­daan jenis kelamin. Me­lang­gar ketentuan, dikatakan peri­la­ku me­nyimpang.

Tidak terkecuali perbedaan usia. Wanita cenderung memi­lih pria lebih de­wasa. Pertim­bangannya sebagai ibu kan­dung. Keutuhan rumah tang­ga disertai kemapanan finansial, akan menjamin kelancaran da­lam mem­besarkan anak, hing­ga dewasa.

Kata Alma Mater, artinya ju­ga ‘Ibu Kandung’. Dalam pe­nyeleng­ga­raan Wisuda me­lepas lulusannya, da­pat diana­logikan ‘Persalinan Mela­hir­­kan Alumni’. Bila laki-laki di­se­but Alumnus. Perempuan disebut Alum­na.

Dalam acara tersebut terlihat, peserta mengenakan Toga. Surut ke belakang, me­ninjau sejarah. Toga merupa­kan Busana Kebesaran Ke­kai­­sa­ran Romawi atau Roman Clo­thing. Usianya sudah ribu­an tahun. Ini sama artinya, memanfaatkan se­suatu seba­gai pasangan, usianya jauh lebih tua.

Kelengkapan busananya menge­na­kan Sepatu Sandal Romawi atau di­sebut Soleae. Faktanya, Soleae telah diting­galkan dalam Wisuda. Bisa di­bayangkan. Bila ada Wisu­da­wan mengenakan sepatu san­dal. Pan­dangan sinis dise­matkan. Di­sertai cibiran, bah­kan teguran. Tidak etis. Ar­tinya, hanya yang cocok de­ngan situasi jaman bisa di­te­rima.

Toga menjadi bukti nilai ke­aba­dian Artifak Budaya Ro­mawi. Demi­ki­an pula, Patung Bangsa Romawi atau Roman Sculpture dari rumpun Ro­man Art (Karya Senirupa Bangsa Ro­ma­wi). Umumnya berupa pa­tung figu­ratif. Meliputi He­ad, Bust, Figure, Equestrian dan Quadriga.

Head adalah Patung Kepa­la. Bust untuk menyebut Pa­tung Kepala Dada. Figure di­artikan Patung Selu­ruh Tubuh. Kata lainnya Pedestrian. Ar­ti­nya bertumpu pada kaki atau pe­jalan kaki.

Equestrian adalah Patung Pe­nung­gang Kuda. Quadriga menam­pil­kan Patung Pengen­dara Chariot atau Kereta (Ku­da) Perang. Kelazi­man Patung Quadriga ditempatkan di atas ger­bang. Namanya pun dise­but Gate Quadriga.

Mirip Gate Quadriga. Di Pa­dang Bulan, Medan, dijum­pai “Gerbang Kuda Jingkrak”, bertuliskan “Citra Garden”. Serupa gerbang real-estate “Citra Indah City” dari sesa­ma rumpun Citra Land di Bo­gor. Dije­las­­kan dalam situs­nya. Gerbang Ku­da Jingkrak te­rinspirasi Gate Quad­riga “Brandenburg” di Jerman.

Penjelasan di atas mengan­dung arti. Ada sesuatu yang di­tinggalkan, yak­ni Chariot yang ditarik kuda. Tidak ber­beda dengan penanggalan So­leae dalam Wisuda.

Seperti Gerbang Kuda Jing­krak bertuliskan “Citra Garden”. Din­ding Gate Quadriga lazimnya dipa­hat­kan tulisan. Karakter hurufnya te­tap lestari dan diberi nama Times New Roman.

Keabadian huruf tersebut terlihat pada penulisan skripsi sebagai syarat kelulusan mem­peroleh gelar sarjana. Dalam aturannya, wajib mengguna­kan huruf Times New Roman. Ini pe­tunjuk. Roman Clothing berdam­pi­ngan dengan Times New Roman. Dapat dikatakan, keduanya men­dam­pingi Alma Mater dalam me­la­hir­kan Alum­ni.

Keabadian yang hingga ki­ni masih dikerjakan, dijumpai pada Wall Painting (Lukisan Din­ding). Lukisan ini juga pe­ninggalan Roman Art. Salah sa­tu peninggalannya berjudul “Hercules and Telephos”. Terdapat di Her­culaneum. Se­rapan­nya dijumpai pada pe­nyelenggaraan Pameran Tung­­gal di Galeri Senirupa, Uni­med, menam­pil­kan karya Franky Pandana. Acara ber­lang­sung tanggal 11 hingga 21 Maret 2016.

Franky mengaktualisasi­kan de­ngan cara karyanya lang­sung di­ker­jakan pada din­ding-dinding sketsel (panel atau partisi). Ditempuh de­ngan jalan menerakan goresan pen­­sil pada dinding.

Selain Roman Art, serapan­nya juga tertuju pada unsur se­nirupa lainnya. Terlihat pada karya yang divi­sua­li­sasikan pa­da kertas, lang­sung di­tem­pel pada dinding sketsel. De­miki­an halnya yang berbingkai kar­ton mau­pun karya pada triplek. Tidak luput, juga langsung di­tempel.

Tempelannya mengingat­kan pada tek­nik melukis Paint­ed Collage da­lam Da­daisme. Perwujudannya be­rupa kom­bi­nasi sapuan cat dan tem­pe­l­an. Dalam karya Franky, pa­duan ta­rikan garis atau drawing pada din­ding dan tempelan atau collage. Bisa dikatakan, perwujudannya merupa­kan kolabo­rasi serapan Roman Art dan Da­dais­me.

Kecuali karya pada kanvas. Seca­ra konvensional digan­tung di din­ding. Itu pun meng­ikutsertakan bo­neka yang juga digantung sebagai karya.

Pemanfaatan boneka seba­gai karya seni, identik peman­faatan obyek menjadi karya se­ni. Dadaisme menye­but pengambilalihan ini Ane­xa­ti­on. Dalam Seni Kontemporer di­sebut Appropriation. Arti­nya me­min­jam.

Dalam buku “Visual Culture”, Wal­ker menyebut Quotation. Artinya me­madukan dua karya atau lebih. Da­lam film diberikan contoh “Inde­pen­­dence Day”. Hasil kombi­nasi Star Wars, Allien serta Top Gun.

Anexation, Appropriation atau pun Quotation karya Franky, terlihat pada serapan Roman Art dan Da­daisme. Tam­bahan kronologi seja­rah­­nya, diperoleh perhitungan wak­tu sebagai berikut. Roman Art telah be­rusia ribuan tahun. Dadaisme mun­cul Awal Abad XX. Penyatuan­nya lebur da­lam Di­men­si Anakronis­me.

Dimensi tersebut menga­bai­kan kro­nologi. Dalam buku “Nalar da­lam Sejarah” (Reason in History), He­gel menye­but Refleksi Sejarah Prag­ma­tis. Artinya, mempercepat ce­rita masa lalu ke dalam kehi­dupan masa kini.

Franky hanya mengguna­kan satu judul untuk kese­luruhan karyanya. Hal ini juga mengingatkan pada Dadais­me. Sekalipun penyelengga­ra­an pameran bersama, keber­samaan karya yang dipamer­kan dipandang sebagai totali­tas satu karya.

Pilihan judulnya I Was Here. Pa­danannya, Aku di Si­ni. Pernya­taan­nya menunjuk­kan sifat proxemic atau kese­arahan. Artinya, refleksinya ju­ga melekat pada sifat Alma Mater tempat penyelenggara­an pameran.

Terlihat pada kesamaan po­la. Dilibatkan dalam aktua­litas seka­rang. Roman Clothing dilibatkan dalam Wisuda dan Roman Art serta Dada­isme dilibatkan dalam karya Franky.

Kapasitas ini menempat­kan ka­rya­nya sebagai Seni Kon­tekstual. Se­makin nyata konteksnya, karena ke­duanya memiliki ikatan reciprocal atau hubungan timbal-balik. Pe­nyeleng­garaan Wisuda da­pat menje­las­kan konsep yang terkandung dalam karya Fran­ky. Sebaliknya, ka­rya Franky dapat menjelaskan Di­men­si Anakronisme dalam penye­leng­­garaan Wisuda.

Pola resiprositas juga ber­sifat Dia­lektika Kontrapolar. Artinya, me­mi­liki ikatan dalam pertentangan dua ku­tub. Seper­ti Kutub Utara dan Ku­tub Sela­tan. Keberadaannya menjadi ba­­gian wilayah permukaan bu­mi ber­sama dengan wilayah yang lain.

Seni Kontemporer mem­per­kenal­kan istilah Kombinasi Oposisi Biner. Dalam subyek­tivitas kewarga­nega­raan, pola­risa­sinya menjadi lokal dan manca negara. Seperti halnya, Toga dari manca negara dan Upacara Wisuda sebagai ak­tivitas lokal.

Satu hal yang luar biasa. Mu­sik (yang dikatakan) Tradi­sional Melayu juga melibatkan alat musik manca ne­gara dari berbagai wilayah. Meli­puti biola, akordion, gambus dan gendang.

Kombinasi ini lazim disebut World Music. Sepadan dengan istilah Mu­sik Dunia. Pilihan (menggunakan alat musik du­nia) ini bagaikan ke­harusan, bi­la merujuk kata “Mening­gal Dunia”. Seperti ada perintah. “Sebelum me­ning­gal dunia, ber­buatlah mendunia”.

Intinya, Dimensi Anakro­nis­me me­letakkan landasan­nya pada se­ja­rah. Se­gala sesu­atu yang ada di masa lalu di­korelasikan dengan kebutuhan se­karang. Selanjutnya dikon­tem­plasi­kan ke masa depan men­jadi sesuatu yang bisa mem­beri manfaat.

Serapan dalam Musik Me­la­yu, karya Franky maupun pe­manfaatan Toga dalam Wisu­da, semua menun­juk­kan ciri yang sama. Walaupun materi­al­nya berbeda, tetapi memiliki per­samaan dalam Dimensi Ana­kro­nisme. Secara konteks­tual juga se­jalan dengan Kon­sep Revitalisasi. Me­ngem­bang­kan pola tradisional dari ma­sa lalu untuk disesuaikan de­ngan kebutuhan sekarang.

Penulis: dosen senirupa Unimed

()

Baca Juga

Rekomendasi