Oleh: James P. Pardede.
Akses informasi saat ini semakin dimudahkan dengan teknologi internet dan smartphone yang ada di dalam genggaman kita. Media dalam jaringan (daring), yang akrab disebut media digital atau media online semakin leading dengan informasi terkini. Kejadian hari ini bisa langsung publish di media online dan tersebar luas di media sosial. Sementara media cetak baru akan memberitakan kejadian hari ini esok hari.
Makin derasnya arus jurnalisme digital ternyata memberi dampak terhadap media cetak. Setelah Majalah Penthouse tutup beberapa waktu lalu, media cetak asing lainnya yang berbasis di London, Inggris, “The Independent”, juga akan tutup dan menghentikan edisi cetaknya.
Koran harian The Independent serta tabloid mingguan, Independent on Sunday, sudah akan menghentikan edisi cetak mereka. Edisi cetak terakhir koran harian The Independent diterbitkan 26 Maret dan tabloid Independent on Sunday, juga merilis edisi cetak terakhirnya pada 20 Maret 2016.
Untuk seterusnya, dua pemilik media tersebut, Alexander dan Evgeny Lebedev, akan “mewariskan” The Independent ke edisi online “The i” di website yang sudah di-branded ulang, “indy100.com,” yang sudah dibeli Johnston Press seharga 24 juta poundsterling (Rp468 miliar).
Koran harian yang diterbitkan sejak 1986 itu mampu bertahan selama 30 tahun dan akhirnya ditutup. Dengan penutupan salah satu koran cetak yang populer di Inggris Raya itu, setidaknya 150 karyawan terancam kehilangan pekerjaan mereka. Sebagian dari mereka dikatakan dapat dipindahkan ke salah satu media di negara itu, Johnston Press.
Tidak hanya media cetak di London, di Amerika pun sudah banyak media cetak yang tumbang. Ada yang memilih tutup total dan ada juga yang beralih ke media online. Koran The New York Times misalnya, guna membantu biaya operasionalnya, koran ini ikut tumbuh bersama media online dengan menerbitkan berita disaluran online www.nytimes.com.
Jika The New York Times masih bertahan dengan edisi cetaknya, sejumlah media tua di Amerika sama sekali tutup secara utuh dan beralih beroperasi secara online murni. Mulai dari Surat kabar Tribune Co. Dimana surat kabar Tribune mengalami masalah keuangan bahkan mengajukan perlindungan pailit pada awal Desember 2008. Akibat menurunnya pemasukan iklan untuk edisi cetak, Tribune memilih untuk fokus di berita online.
Ada juga Majalah Newsweek yang setelah 80 tahun menyebarkan berita di Amerika Serikat, Newsweek mengakhiri edisi cetaknya pada pengujung akhir tahun 2012. Pihak Newsweek memilih untuk terbit dalam format online, Newsweek Global, pada 2013. Perpindahan format disebabkan kurangnya pemasukan iklan.
Majalah Reader’s Digest, perjuangan perusahaan RDA Holding selama 91 tahun untuk menyebarkan berita melalui majalah Reader’s Digest akhirnya harus berakhir pada pertengahan Februari 2013 lalu. Reader’s Digest memilih untuk melayani pembacanya melalui edisi online.
Rocky Mountain News salah satu media tua di Amerika, pada tanggal 27 Februari 2009, surat kabar yang berdiri pada tahun 1859 ini resmi ditutup karena berbagai sebab. Sebelumnya, pada tahun 2008, E.W. Scripps & Co, pemilik harian ini, memilih untuk menjualnya. Akan tetapi, karena tidak ada yang membeli, Scripps memilih menutupnya.
Surat kabar terkemuka di Amerika The Washington Post juga mengalami nasib yang sama dengan The New York Time. Jika The New York Time mampu bertahan dengan menyewakan ruang di gedungnya, The Washington Post harus mengumumkan bahwa pihaknya telah dijual karena masalah finansial.
Bagaimana dengan media cetak di Indonesia ? Tanggal 7 November 2015 lalu, Harian Sinar Harapan menginformasikan bahwa terhitung mulai 1 Januari 2016, versi cetak harian itu akan berhenti terbit. Sebelumnya ada beberapa media cetak yang sudah tutup, yaitu Harian Bola, Soccer, Jurnal Nasional. Ada juga Majalah Tajuk, Prospek, Fortune.
Runtuhnya media cetak di Indonesia salah satu penyebabnya adalah dampak dari kehadiran media digital yang mampu menyediakan platform berita dan informasi yang lebih murah, mudah, dan lebih cepat bagi konsumen.
Selain karena makin berkurangnya pemasang iklan di media cetak, gencarnya media online yang menyajikan berbagai informasi aktual membuat pembaca media cetak beralih ke media online yang mudah diakses lewat smartphone atau komputer berjaringan internet.
Beralihnya pembaca setia media cetak juga dipengaruhi kondisi sekarang, dimana orang Indonesia lebih senang menonton televisi serta menyusuri internet dan media sosial ketimbang membaca koran atau majalah. Akibatnya, media cetak banyak yang terkena imbasnya mulai ditinggal pembaca, walaupun pada kenyataannya jurnalisme pemberitaan tetap bisa bertahan.
Berita dan informasi akan menemukan saluran baru untuk menjangkau dan meraih publik melalui panggung media yang berbeda mengikuti perkembangan teknologi. Jurnalisme digital tak memerlukan kertas yang menjadi keharusan media cetak agar bisa dikonsumsi publik. Tinggal tulis beberapa alinea dengan berpedoman pada 5 W + 1 H sebuah berita sudah bisa ditayangkan di media online.
Belajar dari pengalaman beberapa media, ketika media daring sudah mulai berkembang di Indonesia, beberapa media cetak langsung membuka portal berita dalam bentuk jurnalisme digital. Pada awalnya, banyak media yang menjadikan media online hanya sebagai tempat copy paste berita dari media cetak. Seiring waktu berjalan, media daring ini semakin dikenal dan berkembang. Iklan pun sudah mulai melirik media online.
Tak perlu heran kalau kantor berita Antara pun saat ini sudah memiliki media daring di hampir setiap daerah dengan sistem berjaringan dan sindikasi berita. Ada juga media online detik.com yang sudah menancapkan pondasinya puluhan tahun di dunia maya. Keuntungan yang diperoleh media online tak kalah dengan media cetak. Bahkan, kalau media cetak dan online dijalankan seiring akan saling mendukung dalam banyak hal.
Dengan makin berkembangnya jurnalisme digital yang murah dan terbuka semakin membuka peluang munculnya jurnalis baru dan entrepreneur anyar dengan modal kecil. Media online ini juga semakin riskan untuk dijadikan sebagai corong dan suara dari pemiliknya. Tak perlu heran kalau belakangan ini banyak media online yang isinya menjelek-jelekkan orang lain atau membuka aib seseorang dengan berbagai cara.
Dalam hal membaca media online saat ini kita juga perlu bijak dalam memilah-milah mana berita yang benar dan mana berita yang bermuatan ‘opini’ jurnalisnya. Media online semakin membuka ruang bagi siapa saja untuk menjadi jurnalis. Hanya saja, seleksi alam tetap berlaku.
Undang-undang yang mengatur tentang jalur media online ini juga sudah ada. Beberapa media online di Medan baru-baru ini terkena kasus pencemaran nama baik karena memuat berita yang tidak berimbang. Media online tetap harus mematuhi kode etik jurnalistik dalam setiap memproduksi beritanya. Jangan karena ingin cepat tayang, jurnalis dan editor mengesampingkan tata krama dan KEJ dalam pemberitaan.***
Penulis adalah tenaga pendidik dan peduli dengan masalah sosial.