Penggunaan Trotoar Juga Parah

Oleh: Sulaiman Zuhdi Manik.

Daffa Farros Oktoviarto (9 tahun) men­jadi satu topik berita media massa na­sional pertengahan April 2016. Daffa sudah sebulan menghadang pe­ngendara motor yang meng­guna­kan tro­toar di Semarang, Jawa Tengah. Ak­sinya mendapat banyak apresiasi dari ma­syarakat, termasuk Wali Kota Sema­rang. Alasan Daffa, trotoar khusus untuk pe­jalan kaki, bukan untuk sepeda motor.

Daffa, anak yang tulus hati, bukan orang pertama yang menggugat hak pe­jalan kaki atas trotoar. Ada kelompok ma­syarakat lain yang sudah lama meng­ha­dang, mengingatkan, bersitegang dan terkadang sampai memarahi pengendera sepeda motor yang menggunakan trotoar (www.detik.com). 

Trotoar sebagai Hak Pejalan Kaki

Pasal 131 ayat (1) Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ) menya­ta­kan bahwa pejalan kaki berhak atas ke­tersediaan fasilitas pendukung yang be­rupa trotoar, tempat penye­berangan, dan fasilitas lain.

Pasal 45 ayat (1) UU LLAJ menya­ta­kan trotoar merupakan fasilitas pendu­kung penyelenggaran lalu lintas dan ang­kutan jalan diantara fasilitas lain seperti la­jur sepeda, tempat penyeberangan pe­jalan kaki, halte, dan/atau fasilitas khu­sus bagi penyandang cacat dan ma­nusia usia lanjut, yang diseleng­ga­rakan oleh pihak pemerintah yang bergantung pada jenis jalan tempat trotoar itu dibangun. Jika di jalan Kota maka penyediaannya d­ilakukan oleh pemerintah kota.

Berdasarkan pasal 45 ayat (1) di atas, tro­tar merupakan perlengkapan jalan yang berada di jalan dan luar badan jalan dan hal ini dipertegaskan pada pasal 25 ayat (1) huruf h UU LLAJ. Sementara pa­­sal 28 ayat (2) mengatur bahwa setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang mengakibatkan gangguan pada fung­si perlengkapan jalan.

Trotoar mutlak sebagai hak pejalan kaki, yang dibangun sejajar atau lebih ting­gi dari permukaan jalan. Pengadaan tro­toar mempertimbangkan volume pe­jalan kaki, frekuensi kecelakaan antara pe­jalan kaki dengan kenderaan atau per­mintaan masyarakat.

UU LLAJ menyatakan pejalan kaki ada­lah setiap orang yang berjalan di ruang lalu lintas jalan yaitu prasarana yang diperuntukkan bagi gerak pindah ken­daraan, orang, dan/atau barang yang be­rupa jalan dan fasilitas pendukung.

Dalam www.wikipedia.org disebut­kan, pejalan kaki berada pada posisi lemah jika bercampur dengan kenda­raan, mereka akan memperlambat arus lalu lintas. Tujuan utama menejemen lalu lintas adalah beru­saha memisahkan pe­jalan kaki dari arus kendaraan bermo­tor, tanpa menimbulkan gangguan yang be­sar terhadap aksesibilitas dengan pem­bangunan trotoar.

Menurut Iswanto (2006), trotoar me­ru­pakan wadah atau ruang untuk kegia­tan pe­jalan kaki melakukan aktivi­tas dan un­tuk memberikan pelayanan ke­pada pe­jalan kaki sehingga dapat me­ning­katkan k­e­lancaran, keamanan, dan ke­nyamanan bagi pejalan kaki. Trotoar juga dapat memicu interaksi sosial antar ma­syara­kat apabila berfungsi sebagai suatu ruang publik.

Trotoar di Medan Crowded

Sebagaimana alasan Daffa dan para aktivis di Koalisi Pejalan Kaki, tindakan tersebut dilakukan untuk mengembali­kan fungsi trotoar sebagai tempat lalu lintas pejalan kaki. Pengendera sepeda motor, pedagang dan pihak-pihak peng­guna trotoar diingatkan untuk mematuhi hu­kum. Pada aspek lain, aksi tersebut se­sungguhnya juga merupakan koreksi bagi aparat berwenang dan telah diberi­kan mandat untuk segera dan selalu me­ne­gakkan hukum,  mewujudkan pe­ra­turan menjadi kenyataan dan dirasakan man­faatnya oleh pejalan kaki.

Dalam konteks Kota Medan, berita ten­tang aksi tulus Daffa di Semarang, ki­ranya menjadi titik awal pemerintah Kota dan masyarakat untuk secara ber­sama-sama melihat kembali apakah tro­toar yang ada telah dan selalu diperguna­kan untuk lalu lintas pejalan kaki, atau sebaliknya, pejalan kaki terpaksa harus menggunakan badan jalan karena trotoar selalu menjadi tempat buka lapak para pedagang kaki lima, tempat parkir kenderaan bermotor, tempat berbagai ma­cam merek produk dipasarkan, tem­pat para pedagang menumpuk dan men­jual dagangannya, hingga tempat para pe­nguasa dan istri-istri mereka yang ter­gabung dalam PKK memamerkan nafsu tingginya terhadap pot bunga uku­ran besar, dimana kemudian, pot dan ta­na­man bunga di dalamnya justru menu­tup hak pejalan kaki atas trotoar.

Di persimpangan Ring Road-jalan Amal, Medan Sunggal misalnya, taman bu­nga yang dibangun secara total me­nutup lalu lintas aman pejalan kaki. Aki­bat pot permanen tersebut pejalan kaki harus turun ke bahu jalan. Trotoar di luar kantor pemerintah atau perusahaan, keadaannya juga crowded. Selain men­jadi tempat buka lapak pedagang, pera­wa­tannya nyaris tanpa hati. Pejalan kaki, bila tak ekstra hati-hati akan terprosok atau tersandung, apalagi jika lampu pe­ne­rangan jalan tidak ada atau mati.

Sat­pol PP, harus kita akui sudah be­kerja menertibkan para perenggut hak pe­jalan kaki tersebut. Kitapun turut ber­duka terhadap petugas yang cedera atau mengalami benturan di setiap penerti­ban. Apalagi, seperti diakui seorang pe­jabat di Satpol PP Kota Medan yang pernah saya ajak diskusi pada Musren­bang Kota Me­dan, ada pihak-pihak ter­tentu yang se­ring menghambat proses pe­nertiban di la­pangan. Selain bekerja ke­ras menga­man­kan para pelanggar, me­re­kapun berha­da­pan lagi dengan orang-orang yang me­miliki kepentingan dari ada­nya bisnis di trotoar atau bahu jalan tersebut.

Kota Medan sendiri, belum me­miliki sis­tem alternatif untuk me­ng­alihkan pe­jalan kaki agar jauh dari sisi jalan. Di be­be­rapa ka­wasan pasar tradisionil, pusat per­belanjaan atau keramaian, pagar pem­batas jalan yang dibangun pe­merintah tidak sedikit berumur pen­dek. Pagar besi pem­batas jalan mudah di lobangi, se­hingga tidak ada jalan di area pasar tradisionil di Medan yang tidak selalu macet. Pejalan kaki memperlambat arus lalu lintas, pedagang senantiasa me­maksa menggelar dagangan di trotoar dan pengendera motor men­jadikan trotoar atau badan ja­lan sebagai area parkir.

Nyaris belum ada penertiban yang benar-benar menjadi kenya­taan. Hari ini bersih, besok mulai lagi dan lusa semakin ramai. Iro­nisnya, bahkan petugas yang ber­jaga ada yang dikadali. Lihatlah di Pasar Sei Sikambing B atau di Pa­sar Sukaramai misalnya, ada atau tidak petugas yang berjaga, peda­gang masih menjarah jalan dan trotoar sebagai tempat berjualan. Apalagi para pedagang selalu ber­ki­lah, mereka membayar retribusi harian dan uang keamanan. Kacau.

Harus diakui, di Kota Medan, kesadaran tertib berlalu lintas se­bagai problem besar. Etika, mora­litas maupun ketaatan berlalu lin­tas masih sering dikalahkan oleh sikap memburu dan meman­faat­kan setiap jengkal lahan kosong, tidak perduli lahan kosong tersebut un­tuk siapa, jika ada kesempatan kita masih berebut memanfaat­kannya. Macet dan buru-buru dijadikan ala­san. Area penyebe­rangan di pe­rempatan jalan, masih dijejali pe­ngendara yang semua ingin di depan. Pejalan kaki justru diang­gap penghalang laju kenderaan. Mereka sering dimarahi menggu­nakan klakson. Penyebrang jalan harus selalu deg-degkan dengan laju kenderaan yang mengham­pi­rinya.

Apalagi di Kota Medan lebar tro­tor yang ada belum seluruhnya mengacu kepada ketentuan yang ada. Trotoar kebanyakan menye­su­ai­kan dengan lebar parit atau sa­luran air. Hal ini semakin diper­sempit dengan adanya pemanfatan lain oleh pemerintah di trotoar se­perti menanam pohon, bunga atau tempat papan reklame. Trotoar belum menjadi tempat lalu lintas yang nyaman bagi setiap orang. Usia lanjut, penyandang disabilitas maupun anak-anak belum mera­sakan manfaat sesungguhnya dari trotoar dalam keseharian mereka. 

Pejalan kaki juga demikian, sa­tu sisi hak mereka atas trotoar telah dirampas. Pada pihak lain kendati di beberapa tempat pemerintah su­dah membangun jembatan penye­be­rangan, kenyataannya jembatan tersebut justru malah sebagai tem­pat pihak lain mengiklankan pro­duknya. Capek naik-turun jemba­tan penyeberangan dijadikan alibi untuk menerobos arus lalu lintas yang padat.

Kata kunci kita berlalu lintas ma­sih melihat ada atau tidak polisi. Kepatuhan hukum kita masih me­li­hat seragam dan lambang polisi. Ironisnya, bukan tak ada pula po­lisi itu sendiri ikut melanggar lalu lintas. Sikap teladan berlalu lintas merupakan bagian crowdednya jalan raya dan menjadi ancaman bagi setiap pejalan kaki.

Kepatuhan Bersama

Pilihan Daffa berpanas-panas dan bersitegang urat leher meng­ha­dang pelanggar trotoar, sesung­guhnya menjewer kuping kita se­mua untuk sadar dan mematuhi atu­ran berlalu lintas. Daffa yang masih berusia 9 tahun telah meng­ingatkan kita tentang arti penting mewujudkan kea­manan, kesela­ma­tan, ketertiban dan kelancaran berlalu lintas dan angkutan jalan.

Seperti kata Wali Kota Sema­rang, tugas tersebut semestinya di­emban Dinas Perhubungan mau­pun Unit Lalu Lintas di Kepoli­si­an. Aksi Daffa merupakan contoh nyata bahwa kita diingatkan, con­toh partisipasi masyarakat untuk bisa bergerak bersama (www. detik.com).

 Penyalahguna trotoar sering dianggap sebagai produk gagal pe­merintah menangani kaum urban dan miskin kota. Terbatasnya ru­ang dan daya saing menyebabkan mereka tumpah ke jalanan untuk menyambung hidup. Tentu bukan untuk membayar kredit mobil uang dari berjualan di trotoar itu. Tidak pula menabung untuk berwisata dan belanja ke luar ne­geri. Uang yang diperoleh itu ber­sifat dan untuk kebutuhan harian saja.

Akan tetapi, seperti dikatakan Wirjono Prodjodikoro (1971), se­mua orang (penduduk) dalam hu­bu­ngan ke­masyaraka­tan harus tun­duk pada peraturan-peraturan hu­kum yang berlaku. Artinya, setiap orang harus saling menghormati hak-hak orang lain, hak para pe­jalan kaki terhadap trotoar. Tidak diperkenankan adanya pelang­garan hak orang lain demi keuntu­ngan pribadi. Jadi, trotoar mutlak untuk arus lalu lintas pejalan kaki. 

Penegakan Hukum

Aristoteles dalam Politica me­ng­anggap negara yang baik adalah negara yang diperintah dengan konstitusi dan berkedaulatan hu­kum. Dalam konteks administrasi negara, Philipus M.Hadjon (1996) menyatakan penegakan hukum men­cakup pengawasan dan pene­ga­kan sanksi. Pengawasan sebagai usaha pencegahan untuk memak­sakan kepatuhan dan penerapan sanksi sebagai langkah represif memaksakan kepatuhan.

Pasal 274 dan pasal 275 UU LLAJ mengatur tentang sanksi bagi setiap orang yang melakukan perbuatan yang mengakibat­kan gang­guan pada fungsi perleng­ka­pan jalan dipidana dengan pidana penjara paling lama satu tahun atau denda paling banyak Rp. 24 juta.

Sedangkan bagi setiap orang yang merusak rambu lalu lintas, marka jalan, alat pemberi isyarat lalu lintas, fasilitas pejalan kaki, dan alat pengaman pengguna jalan sehingga tidak berfungsi dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun atau denda paling banyak Rp. 50 juta.**

Penulis bekerja di Yayasan Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA).

()

Baca Juga

Rekomendasi