Memperingati Hari Pendidikan Nasional

Merealisasikan Tujuan Pendidikan Nasional

Oleh: Fajar Anugrah Tumanggor

Situasi pendidikan nasional saat se­ka­rang ini belum menujukkan intensitas pe­ningkatan ke arah yang lebih baik. Se­bagaimana kita ketahui dalam Un­dang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 ten­­tang Sistem Pendidikan Nasional me­ne­gaskan bahwasanya tujuan pendidi­kan nasional adalah mengembangkan po­tensi peserta didik agar menjadi ma­nusia yang beriman dan bertakwa kepada Tu­han Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demo­kra­tis serta bertanggung jawab.

Adalah benar bahwasanya, tujuan pen­­didikan nasional kita adalah penge­ja­wantahan dari apa yang ada dan ter­maktub dalam UUD ’45 kita yang ber­bunyi “mencerdaskan kehidupan bang­sa”. Kalimat mencerdaskan disini me­nu­rut saya merupakan akar masalah pen­didikan yang belum sepenuhnya didapat anak bangsa ini sekalian. Atas da­sar ini­lah kemudian pemerintah men­cip­takan tujuan pendidikan nasional se­perti yang sudah saya katakan diatas tadi demi mewujudkan cita-cita yang ada di Un­dang-Undang Dasar 1945 tadi.

Pencanangan tujuan pendidikan na­sional tersebut lahir dengan melihat per­timbangan bahwasanya negara saat ini masih memiliki sejumlah perma­salahan bun­cit yang perlu mendapat penanganan se­rius dengan melahirkan solusi yang so­lutif. Pasalnya, kinerja pemerintah da­lam upaya merealisasikan tujuan pen­didikan nasional tersebut belum se­pe­nuh­nya berjalan dengan baik.

Ragam Masalah

Ada beberapa hal yang perlu menda­patkan perhatian pemerintah dewasa ini terkait upaya merealisasikan tujuan pendidikan nasional tersebut. Pertama, dunia pendidikan masih menjadi komo­diti mahal di Indonesia. Hanya pihak yang memiliki kemampuan finansial lebih yang mampu mengenyam pendidi­kan hingga kursi perguruan tinggi.

Kesenjangan sosial menjadi persoalan di negeri ini. Hal tersebut yang menye­bab­­kan tingkat pendidikan antar satu pro­vinsi dan provinsi lain begitu tidak se­banding. Perbandingan ini dapat kita lihat di Pulau Jawa, seperti DKI Jakarta, Jawa Barat dan Yogyakarta sangat tidak sebanding dengan yang ada wilayah Timur (seperti Papua, NTT, dan Maluku) dengan masih ditemukannya beragam kesulitan-kesu­litan dalam mengakses pendidikan. Padahal peran generasi muda dalam hal ini amat penting. Maju dan mundurnya pemikiran generasi muda, tentu sedikit banyaknya dipengaruhi oleh peranan pendidikan yang dilaluinya.

Belum lagi persoalan nasib guru yang ha­nya berlabel “guru tanpa tanda jasa”. Ter­kait hal ini masih sering ditemukan di dae­rah guru-guru yang belum menda­pat­kan gaji, bekerja tanpa pamrih dan ujung-ujungnya banyak yang berhenti. Ini seharusnya menjadi persoalan yang mendapat respons cepat dari pemerintah.

Vitalnya peran guru, terkhusus di daerah-daerah yang terpencil dan terluar adalah menjadi prioritas yang perlu dicarikan solusinya oleh pemerintah kita guna memajukan pendidikan nasional.

Belum lama ini juga, anak-anak se­kolah menengah atas dan menyusul se­kolah menengah pertama sudah dan akan me­laksanakan UN. Dalam hal UN ini, ma­salah yang sering sekali muncul adalah iklim UN tersebut tidak mencer­min­kan ke­jujuran.

Kendati UN tidak menjadi penentu ke­lulusan saat sekarang ini, akan tetapi perlu kiranya para anak didik, sekolah dan kementerian memperhatikan keber­lang­­sungan UN tersebut demi mencip­takan iklim kejujuran. Pasalnya selama ini, masih banyak ditemukan para anak didik dan bahkan yang menginisiasi se­kolah sendiri tidak jujur dalam men­ja­lankan UN dengan maraknya bocoran ja­waban soal yang diberikan. Ini bukan hanya akan melahirkan generasi prag­ma­tis, pada akhirnya tujuan pendi­dikan na­sional tersebut tidak akan tercapai.

Yang tidak kalah hangatnya menjadi perbincangan beberapa waktu lalu ialah mengenai kurikulum 2013. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendik­bud) Anies Baswedan menyatakan, Ke­men­dikbud menghentikan kurikulum 20­13 di seluruh Indonesia. Kemendikbud me­ngambil keputusan ini berdasarkan fak­ta bahwa sebagian besar sekolah be­lum siap melaksanakan kurikulum 2013. Pemberhentian kurikulum 2013 tidak ber­arti menghapus kurikulum yang di­tetapkan oleh menteri sebelumnya, M.Nuh. Kurikulum 2013 akan diperbaiki dan dikembangkan melalui sekolah yang se­jak Juli 2013 lalu telah menerapkannya.

Kurikulum ini secara bertahap dan ter­batas dilakukan di 6.221 sekolah di 295 kabupaten atau kota. Sekolah tersebut terdiri atas 2.598 sekolah dasar, 1.437 se­kolah menengah pertama, 1.165 se­kolah menengah atas, dan 1.021 sekolah me­ne­ngah kejuruan. Pemerintah menye­but­kan, kurikulum ini dikaji sesuai de­ngan waktu dan konteks pendidikan di Indonesia. Tujuannya untuk mendapat­kan hasil terbaik bagi peserta didik.

Saya menilai kurikulum 2013 ini ada­lah omong kosong dan hanya mengha­bis­kan anggaran saja. Pertama, perma­sa­lahan terkait pergantian kurikulum ini ter­kesan dipaksakan, mengingat daerah-dae­rah belum siap karena masih belum me­madainya jumlah guru dan fasilitas pen­didikan yang ada di daerah-daerah.

Kedua, kurikulum ini tidak disertai nas­kah akademik, yang berisi pemikiran, kon­sep, tujuan, serta grand design pen­didikan nasional. Ketiga, kurikulum ini jus­tru melahirkan permasalahan baru yak­ni memaksa guru tidak membuat sila­bus dalam program pembelajaran, guru hanya dijadikan sebagai “tukang” dan bu­kan “arsitek pembelajaran”. Tapi kita pa­tut bersyukur karena kurikulum ini ti­dak jadi diterapkan, dan semoga saja ini bisa dikaji lagi demi perbaikan pen­didikan nasional kita.

Merealisasikan Tujuan Pendidikan Nasional

Sekelumit permasalahan yang sudah saya sebutkan diatas menuntut peme­rin­tah harus lebih bekerja keras dan cerdas dalam menangani permasalahan pen­di­dikan yang ada sekarang ini. Cita-cita dan tujuan pendidikan nasional yang telah dikuman­dangkan dalam UUD 45 dan UU. No 20 Tahun 2003 tadi adalah prio­ritas yang harus dijalankan peme­rintah. Pe­merintah tidak lagi boleh berpangku tangan melihat keadaan ini.

Tujuan pendidikan nasional yang su­dah saya sebutkan diatas menghendaki pe­merintah perlu membenahi beberapa hal ini. Pertama, skala prioritas program yang dapat mengentaskan persoalan ini, ar­tinya program-program dalam upaya me­ngentaskan persoalan ini dibuat sis­te­ma­tikanya, entah itu mengenai pem­be­rian pendidikan murah, penam­bahan dan pem­berian kesejahteraan guru, sistem pen­didikan, fasilitas, sarana/prasarana dan lain macamnya.

Kedua, menggalakkan pendidikan karakter berbasis keteladanan. Peme­rin­tah dalam hal ini harus mendorong para guru, kaum cerdik-pandai, dan seluruh ele­men masyarakat untuk memberikan te­ladan dalam mengembangkan pendi­di­kan karakter para anak didik. Di lain sisi pemerintah pun memberikan teladan yang dapat dicontoh oleh para generasi mu­da ini kedepannya.

Dengan demikian kita dapat mere­ali­sasikan tujuan pendidikan nasional yang be­gitu mulia itu. Atas dasar itu pula, kita akan melahirkan generasi-generasi muda yang siap menjadi inspirator, motivator, dan pemimpin yang akan melan­jutkan es­tafet kepemimpinan negeri ini dengan ber­sandar pada nilai-nilai Pancasila, ber­akhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, krea­tif, mandiri, demo­kratis serta bertang­gung jawab. Semoga ini bisa terealisasi.

Selamat Hari Pendidikan Nasional. Ma­julah pendidikan Indonesia. ***

Penulis adalah Pemerhati masalah Pendidikan, Pendiri Jemari Mahasiswa dan Mahasiswa Departemen Ilmu Politik stambuk 2014 FISIP USU.

()

Baca Juga

Rekomendasi