Oleh: Tarmizy Harva
Steve McCurry seorang jurnalis foto asal Amerika pada Tahun 1984 memotret di sebuah kamp pengungsi di dekat Peshawar, Pakistan dan membuat karya sangat fenomenal yang lalu dikenal dengan foto“afghan girl”.
Perjalanan panjang McCurry bersama National Geographic “In Search of the Afghan Girl” menelusuri Afganistan untuk menemukan gadis kecil yang difotonya itu mengajarkan banyak hal kepada banyak fotografer. Kegigihan dan keputus-asaan McCurry dating silih berganti dalam proses pencarian sang gadis kecil itu.
Saat harapan McCurry memudar, seorang ahli forensik di FBI membantu dengan Iridian technologies memindai selaput pelangi di mata gadis cilik untuk dicocokan dengan mata wanita yang ditemukannya 17 tahun kemudian di sebuah desa dekat Tora Bora di timur Afganistan. Saat ditemukan“afghan girl” yang ternyata benama Sharbat Gula telah memiliki tiga anak.
Bulan April lalu Paolo Viglione seorang foto grafer asal Italia menulis di blognya (Paolo Viglione sempat menghapus artikel asli itu karena kuatir dianggap menyerang McCurry, lalu 23 April 2016 dia memposting ulang artikel tersebut untuk meluruskan) tentang “keanehan” setelah melihat pameran foto Steve McCurry di Venaria Reale, Turin, Italia.
Cetakan foto di atas material selebar dua meter membuat mata Paolo Viglione menemukan jejak “kasar” yang ditinggalkan olah digital pada salah satu foto yang diambil McCurry di Kuba. Paolo Vigleone menemukan sedikit sisa cloning dari sebuah tiang rambu lalulintas di antara seorang pejalan kaki di depan lengkungan sebuah gedung. Sentuhan olah digital pada foto dengan “semangat berlebihan” untuk membuat foto yang “sangat sempurna” terkadang meninggalkan jejak “keteledoran”.
Lalu dua foto lain milik McCurry meninggalkan jejak “kecurangan”, pada foto anak-anak yang bermain bola di genangan air dengan adanya pengurangan subjek dari delapan (satu tidak utuh) menjadi enam anak. Kemudian menghilangkan satu lengan seorang anak (yang tidak utuh) di sisi kanan bidang gambar (karena demi “kesempurnaan” memang sebaiknya tangan itu dihilangkan(?).
Foto lainnya adalah seorang penarik beca mendorong becanya di tengah hujan deras dengan genangan air yang hamper menutup seluruh permukaan jalan yang dilaluinya. Pada foto asli (pembanding) ada empat penumpang yang berada di atas beca (kanopi beca terbuka). Pada foto yang dipamerkan di Turin itu menjadi dua penumpang dengan menghilangkan beca lainnya, manusia dan beberapa elemen yang menjadi latar belakang di dalam foto tersebut.
Foto ini malah membuat keanehan dalam benak kita, kenapa dua penumpang duduk di sisi pojok beca (yang bukan pada tempatnya dan ini tentu membuat penumpang tidak nyaman dan bias hilang keseimbangan)?, lalu, mengapa penarik beca tidak mengayuh pedal dari atas sadel tetapi menarik dan mendorong seakan sarat beban? Kemudian beberapa foto foto asli (pembanding) segera dihapus dari situs McCurry.
Artikel Paolo Viglione ini mendapat banyak komentar diblognya bahkan menyebar dan menjadi pembicaraan di jejaring lain. Lantas apa yang harus dipermasalahkan?
Olah Digital dan Standar Etika
Semua foto grafer menggunakan perangkat lunak pasca pengambilan foto termasuk jurnalis foto, sekurangnya untuk membuat teks pada foto dan/atau me-resizenya. Foto dalam kontek sadvertising, sah-sah saja menggunakan olah digital sampai “jungkir balik” untuk membuat orang “terkesima”.
Lalu bagaimana bila olah digital yang “berlebih” ini masuk dalam ruang jurnalistik? Sebatas apa olah digital diperbolehkan? Dalam ranah jurnalistik manipulasi foto adalah hal yang tabu dan biasa berakhir dengan sanksi berat (bila “ketahuan”). Lalu dimana batasannya? National Press Photo graphers Association di Amerika Serikat membatasi bahwa editing harus tetap mempertahankan integritas konten foto dan konteks. Tidak mengubah atau menambah gambar yang bias menyesatkan yang melihat foto tersebut.
Indonesia yang telah memiliki organisasi spesifik di bidang ini sebaiknya memiliki regulasi tentang batasan yang boleh dan tidak dalam olah digital demi “kemajuan yang beretika” dalam dunia foto jurnalistik nasional.
Langkah yang patut mendapatkan apresiasi di tanah air adalah ketentuan dalam lomba foto (tidak hanya sebatas lomba foto jurnalistik) dimana salah satu persyaratannya adalah foto hanya boleh “dioprek” sebatas edit minor. Edit minor biasanya sebatas croping, burning, dodging dan lainnya dalam batas wajar yang tidak sampai menambah atau mengurangi elemen di dalam foto.
Ketentuan ini adalah salah satu “batasan” paling sederhana terhadap apa yang boleh dan tidak dalam lomba fotografi dan ini juga berlaku dalam foto jurnalistik-pun masih banyak hal lain yang perlu untuk “ditegaskan”.
Hal yang dilakukan McCurry ini mengingatkan kita pada beberapa kasus sebelumnya seperti manipulasi foto yang dilakukan fotografer Los Angeles Times (LA Times) Brian Walsky. Pada Tahun Maret 2003 Walsky menggabungkan (kolase) dua foto yang menggambarkan warga Irak dan tentara Inggris didekat Basra,Irak. Saat kecurigaan terbukti, redaktur foto LA Times Colin Crawford memecat Walsky.
Adnan Hajj, seorang jurnalis foto lepas asal Libanon yang bekerja untuk kantor berita Reuters. Pada Agustus 2006 Adnan Hajj menggunakan photoshop untuk mengkloning dan menggelapkan asap dengan maksud mendramatisir gedung yang hancur terbakar oleh serangan udara Israel di pinggiran kota Beirut. Hal ini membuat Reuters menghentikan kerjasama dengan Adnan Hajj, menghapus seluruh file fotonya dalam bank data dan editor foto Reuters dipecat.
McCurry di dalam film dokumenter National Geographic “In Search of the Afghan Girl” mengajarkan dan menginspirasi kaum muda tentang semangat kebenaran seperti yang didengungkan Wilson Hicks, seorang foto wartawan Amerika yang berkontribusi besar terhadap kemajuan foto jurnalistik.
Dalam bukunya Words and Pictures (Literature of Photography), Hick menjelaskan satu dari tujuh elemen yang dipaparkan nya; …informasi yang disebar dalam foto jurnalistik adalah sebagaimana adanya, disajikan sejujur-jujurnya.
Foto adalah imaji yang terkonsep dimana pemotret menciptakan imaji melalui “proses” dan “menyimpan simbol” yang dibentuk dari elemen-elemen di dalam foto tersebut.
Elemen-elemen inipun akan mempunyai konotasi yang berbeda dari setiap yang melihat karena simbol yang dikodekan punya banyak intepretasi. Seharusnya hal yang kita anut saat membuat foto adalah bagaimana tanda dan symbol itu ada terkonsep sebelum rana terbuka, bukan menambah atau meniadakan setelahnya. Dan hal yang menjadi keharusan lainnya bagaimana kita menegaskan untuk “mengusung kejujuran” dalam setiap karya yang kita ciptakan.
“Keartisan” yang disandang jurnalis foto tenar terkadang membuat mereka lupa bahwa mereka telah menjadi panutan jutaan fotografer muda. Hingga “kesalahan” yang mereka sengaja dianggap bukanlah sebuah cela ataupun hal yang tabu. Tanpa sadar jutaan orang akan menganggap hal seperti ini adalah hal yang “benar” dan “boleh ditiru”.
Sayangnya ada anggapan dari beberapa jurnalis foto senior tanah air bahwa manipulasi foto diperkenankan selama kejadiannya memang ada dan manipulasi tidak mengubah fakta apa pun dan dengan catatan selama “kecurangan” itu tidak “terbongkar”. Dengan kata lain kalimat “silahkan bohong asal jangan ketahuan…” di atas sebaiknya kita rubah dengan mengkampanyekan “selalu jujur dalam ranah foto jurnalistik”.
Jika dalam jurnalistik untaian kata tak lagi dapat kita percaya, haruskah pemikiran pembaca kita bentuk dengan kecurigaan bahwa imaji yang sedang dilihat adalah “rekayasa”? Andai kata-kata yang dirangkai menjadi sebuah berita adalah tidak benar maka kita harus merenungkan hal ini ; mungkin sebelah sayap malaikat pembawa berita kebenaran telah hilang. Dan bila elemen-elemen di dalam foto kita anggap adalah kata-kata yang boleh kita atur sesuka hati berarti malaikat pembawa berita kebenaran di dunia jurnalistik telah mati.
Paolo Viglione ini seorang fotografer yang tak sehebat dan setenar Steve McCurry, akan tetapi Paolo telah mengingatkan kita kembali untuk apa sebenarnya keberadaan seorang jurnalis foto dan produk yang dihasilkannya- seperti apa yang ditegaskan Hick sebelumnya. Bukankan sebuah foto yang dibuat dengan kejujuran jauh lebih “bernilai” ketimbang foto yang dibuat dengan membenarkan segala cara?***
Penulis adalah Fotografer Reuters (2002-2014), Alumni Magister Ilmu Komunikasi UMSU