KONSEP bangunan dengan menggabungkan unsur budaya temporer dan moderen bisa dilihat di beberapa gedung tinggi di dunia. Konsep ini dinamakan neofuturistik. Neofuturistik merupakan turunan dari aliran post modern, yang kurang lebih bermakna sama. Bedanya, neofuturistik lebih mengandalkan rancangan desain bangunan yang melampaui beberapa tahun ke depan.
Misalnya, Menara Tokyo dan Tokyo Skytree. Menara Tokyo terletak di Taman Shiba, Tokyo, Jepang. Tinggi keseluruhan Tokyo Tower mencapai 332,6 meter dan berdasarkan peraturan keselamatan penerbangan harus dicat oranye internasional dengan warna putih di bagian lain. Menara ini berfungsi sebagai menara antena pemancar televisi analog, TV lokal digital, dan radio FM.
Pada tahap rancangan, di antara 40 model yang diajukan, desainer memilih satu yang dianggap paling minim tantangan strukturalnya. Desain kakinya dibentuk mirip tripod karena dianggap bermanfaat untuk stabilitas komponen di dalamnya meskipun dibangun di areal yang sempit.
Menurut pandangan Akademisi Universitas Syiah Kuala Provinsi Aceh, Masdar Jamaluddin, ST, sebenarnya, ide awal neofuturistik berkaitan dengan konsep futurism, yakni konsep artistik dan pergerakan sosial. Obyek pertama dari ide ini berasal dari seniman Italia, Filippo Marinetti di awal abad 20 (akhir 1900-an). “Neofuturistik menekankan pada imaji tatanan kota di masa depan. Layaknya tergambar di film science fiction ‘Star Trek’. Gambarannya jauh melampaui era kehidupan masa kini atau biasa dikenal dengan istilah ‘utopia’, gambaran ideal tentang masa depan,” ujarnya pada Analisa.
Penambahan kata ‘neo’ biasanya merujuk pada upaya membawa konsep masa depan tersebut berorientasi here and now.
Filosofi Zen dan Sintho
Konsep desain kedua menara ini dapat dikatakan mewakili neofuturistik, sebab merupakan hasil pertemuan teknologi (yang memang diandalkan Jepang) dan nilai budaya setempat. Dilihat dari segi warna yang cenderung bernuansa muda, putih, dan abu-abu. Tren warna ini mewakili filosofi keheningan, kesederhanaan, dan ketenangan,yang diadopsi dari aliran kepercayaan Zen dan Sintho Buddha. Tak hanya menara, filosofi demikian juga dapat dilihat pada tatanan taman, ikebana (seni merangkai bunga), dan batu alam di sana.
“Walau terbilang moderen, masih bisa terbaca ruh budaya Jepang di karya arsitektur kontemporer. Jadi kelebihannya, mereka tidak sekadar menyalin konsep geometri Barat,” tutur Masdar.
Ia menambahkan, hampir 80 persen unsur budaya Jepang memenuhi desain. Namun begitu, dengan neofuturistik, keberagaman desain relatif lebih tinggi. Konsep neofuturistik sejatinya menolak modernisasi, sebab berdasarakan pandangan modernisasi: hanya ada satu hal yang dianggap benar, yakni geometri murni tanpa ada ornamen. Namun dengan neofuturistik, sah saja mengaplikasikan ornamen dari produk budaya di masa lalu dalam sebuah geometri. Dari segi bentuk, menghadirkan model yang susah dibayangkan karena ‘melompat’ zaman. “Intinya, semangat neofuturistik adalah semangat keberagaman,” ungkapnya.
Aplikasi di Indonesia
Untuk penerapan konsep arsitek ini di Indonesia, Masdar belum bisa memastikan tepatnya produk arsitektur mana yang mewakili. Hal ini disebabkan perbedaan pandangan beberapa pengamat arsitektur di Indonesia mengenai konsep neofuturistik dan post modern. Tapi, paling tidak, menurutnya, ketika bicara pertemuan karya futuristik dan kultural, ia menyebutkan beberapa contoh karya.
Pertama, Wisma Dharmala Sakti di Jakarta Pusat dan Gedung Rektorat di Komplek Universitas Indonesia wilayah Depok. Biarpun memiliki defenisi yang beragam, inti dari aplikasi bangunan-bangunan tersebut adalah bagaimana masyarakat punya pandangan yang kaya untuk melihat dari berbagai sisi.
Kembali menyinggung kriteria unik konsep neofuturistik, Masdar menambahkan, kini geometri modern berbeda, tidak lagi bidang datar, melainkan berupa kurva dan paraboloid. Ini merupakan hasil cerminan dari kondisi alam yang sesungguhnya tidak pernah memiliki geometri sempurna, contohnya bentuk Planet Bumi sendiri, tidak bulat sempurna.
Hal ini juga menggiring Arsitek kelahiran Irak, Zaha Hadid dalam berkarya. Dikatakan Masdar, tak seperti produk-produk desain lain yang modelnya mewakili kriteria tertentu, seperti ciri khas gedung olahraga, rumah sakit, atau gedung pada umumnya, karya Hadid hampir tidak dapat ditebak, dikarenakan keluwesan konsep ini. Beberapa karya Hadid semasa hidupnya di antaranya Museum Transportasi Glasgow di Skotlandia, Opera House di Guangzhou, Tiongkok, dan Heydar Alivey Center di Azerbaijan.
(dewanty ajeng wiradita/bs)