Paralayang, Destinasi Baru Wisata Sibolangit

Oleh: Rhinto Sustono

ANGIN semilir kadang berubah kencang, menyibakkan rambut siapa pun yang berada di puncak Bukit Perkentangan. Dari tempat itu, Bumi Perkemahan Pramuka Sibolangit, jajaran bangunan yang memadati Bandarbaru, serta ladang sayur dan buah terlihat indah memanjakan mata.

Bumi Sibolangit yang berbukit dan ber­jurang curam, sepertinya tidak pernah ke­habisan daya tarik untuk dikunjungi wisa­tawan maupun para petualang (pencita alam). Setelah pemandian alam Loknya, Telaga Dua Warna, Sampuran (air terjun) Putih, Negeri Suah, dan Taman Dewi, ma­sih ada satu lagi destinasi yang harus An­da dikunjungi.

Lokasinya berada di sisi kiri Ban­dar­ba­ru. Setelah melintasi beberapa ratus meter jalan beraspal yang mulai rapuh digerus air, sisanya adalah lintasan jalan berbatu yang licin, terjal dan curam. Sepeda motor tril (yang domodifikasi untuk medan berat) atau mobil bertransmisi ganda menjadi ken­daraan yang paling cocok untuk bisa sampai di Bukit Perkentangan.

Beberapa pohon cemara ukuran sedang disisakan di puncak bukit itu. Di bawah pepohonan inilah, biasanya digunakan para pencinta alam untuk mendirikan kemah. Sedangkan sisanya adalah hamparan yang tidak begitu luas, hanya beberapa ratus meter persegi saja.

Puncak bukit itu memang sebelumnya diratakan dengan alat berat. Rumput liar tumbuh mengelilingi di sisi pinggirnya. La­yak­nya kepala yang tidak berambut alias botak, Bukit Perkentangan dengan bebera­pa pepohonan itu pun kemudian dikenal dengan sebutan Bukit Botak.

“Memang sengaja kita ratakan untuk lo­kasi ‘take off’ paralayang,” ungkap Kadis Kebu­dayaan dan Pariwisata Deliserdang H Faisal Arif Nasution kepada Analisa di sela gelaran Deliserdang International Event 2016. Kegiatan itu berlangsung dua hari, 21 – 22 Mei lalu.

Paralayang

Even yang dilaksanakan untuk men­dong­krak kunjungan wisatawan lokal mau­pun wisatawan manca negara (wisman) itu, diramaikan dengan eksebisi paradigling, sepeda santai, dan sepakbola 7 pemain per tim (S7 Soccer). Saat galadinner, juga di­per­kenalkan sejumlah objek wisata Deli­ser­dang kepada partisipan dari sejumlah dae­rah di Indonesia dan beberapa dari Malaysia.

Khusus paralayang yang hanya me­man­faatkan angin dan menyiasatinya dengan keterampilan teknik, penerbang (pilot) paralayang dapat menembus angkasa dan men­capai jarak tempuh tertentu. Yang me­narik, saat melayang dengan parasut itu tan­pa menggunakan mesin apa pun. Hem­busan anginlah yang dimanfaatkan.

Cuaca pagi itu sangat bersahabat. Hanya sedikit persiapan, membentang parasut, mengaitkan harness, mengeratkan ikatan tali sepatu dan sarung tangan, juga helmet, serta menyematkan radio HT, belasan peserta pun siap melayang. Mereka yang berasal dari Jawa Barat, Jakarta, Sumatera Barat, Sumut, dan lainnya itu bukan untuk berkompetisi. Sebab gelaran tersebut memang hanya untuk tujuan rekreasi.

Pilot Paralayang Indonesia yang juga aktor film, Bucek Depp, mengatur antrean para peserta melalui HT-nya. Sebentar me­lirik penunjuk arah angin di sisinya sambil mengamati alat windmeter, Bucek pun mengomandoi setiap pilot untuk terbang.

Menegangkan bagi yang pertama meli­hat, tapi tidak untuk pilot yang memang sudah dibekali teknis skil. Kesempatan per­tama diberikan kepada pilot yang memang sudah lebih dulu bersiap. Dari posisinya yang akan take off dengan menghadap lan­das­an, dipastikan dia adalah pilot pemula. Teknik take off ini dikenal dengan istilah alpin.

Beberapa pilot lainnya yang lebih profe­sional, memulai take off dengan reverse (membelakangi landasan). Menariknya lagi, para profesional ini tidak mau cepat-ce­pat sampai di lokasi pendaratan. Me­manfaatkan henbusan angin, mereka ter­bang bebas melambung ke angkasa. Sedikit menarik brake untuk mengatur arah, sayap parasut pun melayang dengan posisi jikjak dan baru diturunkan saat menepi ke lokasi pendaratan dengan kaki.

Destinasi Baru

Olahraga ekstrim ini sebenarnya bukan hal baru bagi wisatawan yang datang ke Sumut. Bukit Beta di kawasan Danau Toba, sebelumnya juga pernah beberapa kali dijadikan spot paralayang. Namun untuk Bukit Botak, memang menjadi destinasi baru.

Disinggung resiko yang bisa menimpa pilot, selaku managing director even itu, Bucek menjawab, “Menegangkan pasti, me­nyeramkan sih tidak. Kalau risiko pasti ada, tapi nggak lebih berbahaya dari kita naik ojek.”

Saat terbang, 100 persen kendali pilot. Makanya pilot dibekali ilmu, selain tentu saja niat. Untuk jadi pilot paralayang tidak bisa sehari jadi. Minimal 40 kali terbang, dapat penugasan. Supaya bisa dapat lisensi, harus bisa terbang 10 km.

Untuk bisa menikmati olahraga yang me­nantang andrenalin ini, memang mem­bu­tuhkan biaya yang tidak sedikit. Cara menyiasatinya, bisa ikut ke klub. “Dia bisa dibiayai untuk terbang,” tambah Faisal Nasution.

Sebagai destinasi baru, sasaran kunjungan wisatawan ke lokasi itu bukan hanya para pilot paralayang. Setidaknya pengunjung datang untuk menyaksikan. Khusus bagi wisman, destinasi tersebut sangat menantang untuk dijajal. Apalagi lokasinya tidak terlalu jauh dan bisa ditempuh dalam waktu 1,5 jam dari Medan.

Menjelang siang, langit di atas mulai menghitam. Rimbunan hutan dan gugusan Bukit Barisan di sisi belakang Bukit Botak itu pun mulai ditutupi kabut putih. Semua peserta sudah mendarat di landing, kru pun turun menyusuri jalan cadas yang membelah pinggang bukit itu.

***

()

Baca Juga

Rekomendasi