Tinjauan Buku
Oleh: Ris Pasha. Tiap daerah memiliki keunikan tersendiri dalam sejarah kuno-nya. Tak terlepas Sulawese Selatan. Parakang adalah ilmu hitam. tepatnya ilmu siluman yang membutuhkan tumbal.
Banyak jenis tumbal. Ada tumbalnya bayi merah atau anak sendiri. Dalam Novel Nastisha, penulisnya mengisahkan lain lagi. Tumbal yang dibutuhkan adalah empat orang perempuan. Dua orang sudah menikah dan dua orng lagimasih perawan.
pada Maret 1998, ketika Indonesia mengalami krisis ekonomi, kekacauan terjadi di Sulawesi. Seoang putri Bangsawan Makassar bernama Natisha, kabur bersama Rangga. Sehari menjelang perkawinannya dengan Daeng Tutu, kekasihnya.
Rangka adalah seorang penganut parangkang. Ilmu kuno yang mampu membuat penganutnya kaya raya. Awet muda serta kebal segala jenis senjata. Akibat guna-guna, Natisha terpikat untuk pergi dari calon suaminya. Demi kesempurnaan ilmunya, Rangka harus mempersembahkan empat perempuan. Dua pernah melahirkan dan dua lagi masih perawan.
Tabiat masing-masing persembahan harus selaras dengan empat sifat unsur alam sesuai ritual yang dijalaninya. Air, Tanah, Api dan Angin. Nastisha yang lincah bakal dijadikan persembahan terakhir. manusia yang beralih rupa menjadi binatang. Menyanyikan kidung-kidung purba,telah menyhambut tetes-tetes darah darah perawan natisha.
Sebelum terjadi, melalui secarik pesan yang ditemukan di loteng rumah Rangka. Tutu berusaha memecahkan kode-kode rahasia di dalamkitab kuno tentang ilmu parakang. Tutu melakukannya demi melawan Rakang.
Di racik khazanah tradisi, disajikan dalam narasi-narasi tak terperi. Novel yang mampu menghipnotis pembacanya, untuk menyusuri lorongh-lorong gelap nusantara. Siap pula novel ini memerangah pembacanya. Betapa cinta dan angkara murka begitu tipis bedanya.
Ranga dan Daeng Tutu adalah teman sejak kecil. Bukan hanya terman, juga mereka saudara sesusuan. Ketika Daeng Tutu masikh kecil, ibunya meninggal. Tutu harus menyusu pada ibu rangka yang seusia dengannya. Sejak kecil pula, Rangka selalu menjadi lawan Rangka. Sifat Rangka yang suka sirik dan tak mau mengalah, mengakibatkan mereka jarang akur. Justru sikap Tutu yang suka mengalah, membuat Rangka makin suka berbuat curang.
Natisha anak seorang bangsawan di Makassar. Tepatnya sebuah wilayah kecil,Jeneponto. Ketika masih SMA, mereka berkelahi, karean Tutu jatuh cinta pada Natisha dan mendapat balasan pula. Rangka juga mencintai Natisha, namun tak berani mengungkapkan isi hatinya. Ketika Tutu dan Natisha sudah menjalin kisah cinta, kecemburuan Rangka makin menjadi-jadi. Mereka berkelahi dan kemenangan di pihak Tutu. Walau mereka sama-sama belajar ilmu bela diri silat, Tutu mampu lebih menguasai dirinya ketimbang Rangka.
Dengan berbagai fitnah, Tutu ditangkap Polisi. Dituduh membunuh teman sekampung, pada hal hal itu tak pernah terjadi. Ayah Tutu dan kakeknya, serta Natisha sendiri yang menjamin, kalau Tutu tak bersalah.
Ayah Tutu sangat menyanginya. Sjeak kematian Ibu Tutu, sang ayah tak lagi berlayar. Padahal laut adalah kehidupannya, sebagai nakhoda kapal kecil. Dia mengalih profesi menjadi petani.
Tamat SMA,Tutu memilih menjadi dokter dan dia masukke Fakultas kedokteran. Rangka memilih menjadi politisi. Kelicikannya memang membuatnya pantas jadi politisi. Politik pulalah membuat ayah dan keluarga Natisha tak menyukai keluarga Tutu. Terlebih saat ayah Tutu mencet pagar rumahnya menjadi warna hijau. Padahal tak sedikitpun dia berpikir kalau dia adalah anggota partai Hijau. Karaeng Liwang ayah Natisha berada di posisi partai kuning.
Dengan kehebatannya di partai kuning,membuat Karaeng Liwang yang memang bangsawan gampang mengatur polisi. Tutu ditangkap dan disiksa di kantor polisi. Dipaksa untuk mengakuwalau Tutu tak melakukan apa yang dituduhkan. Tutu akhirnya mengakui karena tak tahan disiksa.
Dari tahanan polisidengan jaminan ayah,kakek dan Natisha sendir, Tutu meminta lebih dahulu kekantor CMP melaporkan segalanya. Kemudian dia dirawat di rujmah sakitselama sebulan lebih. Ketika diakembali kesekolah dan naikke kelas tiga, polisi yang menyiksanya itu dipecat atasannya atas pengaduan Tutu.
Ketegangan demi ketegangan saat membaca novel ini, membawa pembaca berada pada masa orde baru. Bagaimana kejamnya politik saat itu, mampu mencelakakan orang dengan mudah dan gampang. Bahkan menghilangkan manusia.
Bujkan itu saja. Penulis novel ini Khrisna Pabichara, mampu membawa alam pikiran pembacanya jauh ke masa lampau. Kawin lari atau Silariang jika di Sulawesi, Mangalua kalau di tanah Batak, memang sebuah hal yang dianggap memalukan bahkan mempermalukan.
Novel ini selain mengungkap sejarah kelam Makassar nun jauh ke masa lampau, dia juga mengungkap antropologi sosialnya. Bagaimana keadaan demikian kuatnya, sebelum dan sesudah Islam masuk ke Makassar dan sekitarnya.
Gaya Khrisna Pabichara menulis juga patut diacungi jempol. Kalimat demi kalimat mengalir dengan deras. Alirnya sampai juga ke muara. Hanya saja terjadi pengulangan-pengulangan atas kejadian yang sudah dituliskan pada bab sebelumnya. Bukan hanya sekali, tapi berkali-kali.
Kita maklum, penulis mungkin ingin agar pembacanya jelas mengetahui apa yang diinginkan oleh buku ini. Lompatan-lompatan dari satu bab ke bab lain, bahkan dalam satu bab terjadi pula pelompatan dalam gaya penulisannya.
Khrisna Pabichara, pernah melahirkan buku Kumpulan Cerpennya berjudul Mengawini Ibu pada 2010. Disusul pula buku berjudul Sepatu Dahlan terbit pada 2012. Kumpulan puisi pertamanya berjudul Pohon Duka Tumbuh di Matamu, terbit tahun 2014.
Karya Sastra dalam Kelas Pragmatik
Oleh: Sisi Rosida. Banyak orang beranggapan karya sastra hanya untuk dinikmati, bukan untuk dimengerti. Untuk menikmati karya sastra, pembaca wajib memahami maksud dari suatu karya sastra itu sendiri. Berangkat dari apa yang disebut dengan sastra? Ungkapan pribadi manusia berupa ide/pemikiran dan perasaan dalam suatu gambaran konkret melalui alat bahasa.
Apa yang terkandung dalam karya sastra, tentu tidak terlepas dari pembacanya. Dalam ilmu pragmatik, pembaca tentu memiliki peran penting dalam suatu karya. Pragmatik merupakan kajian sastra yang berpusat pada pembaca dalam menerima, memahami, serta menikmati karya sastra.
Setiap karya sastra yang diproduksi pasti memiliki kelas-kelas tersendiri. Sesuai dengan tingkat pemahaman pembacanya.
Bentuk penerimaan karya sastra tergantung pada kelas masing-masing pembaca. Ada pembaca awam, dari kalangan akademisi, ada pembaca yang memahami sastra dan ada pula pembaca kritikus. Setiap pembaca mempunyai cara tersendiri dalam menerima karya sastra. Sastra akan terklasifikasi berdasarkan kelas pragmatignya. Hal ini tentu berdasarkan pembaca yang dituju.
Terlepas dari itu, mungkin sebagian pengarang lupa terhadap posisi karya sastra. Beberapa karya sastra justru lari dari pemaparan apa itu sastra. Tak jarang kita temukan karya sastra yang bersifat absrak; tidak tergambar maksud dan tujuannya. Memang, dalam proses kreatifnya, pengarang bebas berekspresi dalam membentuk suatu karya sastra. Resepsi sastra yang bebas pun akan lahir dari pemikiran tingkatan intelektualitas seseorang.
Lain lagi, jika sastra menentang suatu konvensi, yakni kebiasaan-kebiasaan yang dialami dan peranggapan dasar pembaca. Tak jarang suatu karya sastra melanggar kaidah-kaidah dalam prinsip kesusastraan.
Menurut Siswanto (2008:96) Ada sastrawan yang mengambil sikap kedua. Dia memanfaatkan konvensi yang sudah ada dalam pembaca untuk dipermainkan. Bahkan, menentang konvensi dan menyodorkan sesuatu yang baru. Sesuatu yang lain dari apa yang telah dikenal oleh pembaca.
Lebih jauhnya, jika karya sastra memiliki konvensi yang menyimpang. Tingkat keabstrakannya menjadi lebih tinggi dan rumit. Hal ini tentu menimbulkan sekat bagi karya sastra dan pembacanya. Sastra akan memisahkan diri dari segi pragmatik. Fungsi sastra seolah menghilang dari perannya.
Seperti yang kita ketahui, minat baca yang rendah, justru menjadi kendala dalam pengembangan sastra. Ditambah lagi, karya sastra yang non-universal. Menjadikan masyarat berfikir dua kali, untuk mencintai bahkan membaca karya sastra, seperti cerpen dan novel. Pada kenyataannya hal itu tidak bisa dipungkiri. Pembaca sebagai penikmat, justru berangkat dari peranggapan yang sama.
Sastrawan yang mengambil sikap konvensi (kebiasaan), berangkat dari peranggapan yang sama dengan pembaca. Tetap setia untuk menghasilkan karya sastra dengan konvensi dalam benak pembacanya. (Siswanto, 2008:94).
Dari peranggapan yang sama inilah terbangunnya informasi secara “given”, berlandaskan pengalaman umum. Pembaca sebagai “penerima” dengan berbagai penafsiran, berdasarkan pengalaman dan pengetahuan yang dimilikinya. Inilah yang menjadi hubungan “interaksi” secara tidak langsung, antara sastrawan dan pembaca.
Apabila dikaji lebih dalam, terdapat ikatan-ikatan yang bersifat mutlak antara sastrawan dan pembaca. Dapat ditinjau dari segi psikis, spiritual dan sosiologis. Serta hubungan emosional, mengungkap hal-hal tersebunyi di dalamnya. Karya sastra diterima dan menunjukkan perannya bagi masyarakat.
Dalam menulis karya sastranya, penulis tidak dapat mengabaikan masyarakat pembaca yang dituju. Bahasa yang dipakai dan isi, merupakan hal yang harus mempertimbangkan. Memang, dalam berkarya penulis tidak sepenuhnya bergantung pada patron atau publiknya. Justru penulislah yang menciptakan ruang publiknya.
Sering seorang penulis menentukan lebih dulu, siapakah calon pembaca yang dituju. Misalnya, pada novel “Para Priyayi” karya Umar Kayam ditujukan pada pembaca yang yang berpengetahuan Budaya Jawa. Demikian juga, pada novel “Kitab Omong Kosong” karya Seno Gumira Ajidarma untuk masyarakat yang memiliki pengetahuan tentang cerita wayang. Juga pada Novel “Perempuan di Titik Nol” karya Nawa El-Saadawi, untuk pembaca yang tahu tentang psikologi.
Hal ini membuat sastra bersifat ekslusif. Ditinjau dari segi pembaca, dipentingkan adanya reaksi dan penerimaan terhadap karya sastra tertentu. Resepsi sastra berkaitan dengan bagaimana pembaca memberi makna dan penafsiran, terhadap karya sastra yang akan dibacanya. Pembaca menimbulkan reaksi terhadapnya. Baik reaksi konstruktif (apabila dianggap membangun) ataupun destruktif (apabila dianggap bertentangan dengan prisip dirinya).
Reaksi dari pembaca juga dapat bersifat aktif, yaitu bagaimana dia dapat merealisasikannya. Dapat juga bersifat pasif, yaitu bagaimana dia dapat memahami karya itu. Oleh karena itu, resepsi sastra mempunyai lapangan yang luas dengan berbagai kemungkinan.
Sebagai pembuktian, perlu diperhatikan keadaan sosial-budaya masyarakatnya. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan latar belakang sosial budaya masyarakat, mempengaruhi pembaca dalam menanggapi karya sastra tertentu. Tetap memiliki peranggapan dan kebiasaan yang sama dalam suatu bangsa.
Sejatinya, lahirnya suatu karya sastra tentu tidak terlepas dari kepiawaian penulis dalam mengesplorasi idenya. Penulis bebas menyampaikan gagasan kreatif dalam sastra. Tidak terlepas dari kaidah-kaidah sastra. Sastra yang bersifat abstrak akan menjauhkan diri dari pembacanya. Sebaliknya sastra universal akan menjadi pondasi dari konvensi peranggapan berdasarkan pengalaman. Karenanya tingkat apresiasi sastra dari aspek pragmatik akan bertambah sesuai dengan kelas intepretasinya.