Nomor, Nomer, Nombor

Oleh: Hari Murti, S. Sos

MANAKAH yang baku atau benar, nomor, nomer, atau nombor?  Kata yang baku atau benar adalah nomor. Sedangkan nomer, jika kita lihat pada kamus bahasa Indonesia versi offline, ada dipasang tanda tanya (?) di  belakang kata nomer  itu, lalu diikuti oleh  kata nomor. Sedangkan nombor, ketika dimasukkan kata ini ke dalam bidang tulis dan lalu tombol enter ditekan, jawabannya adalah “Tidak ditemukan kata ‘nombor’. Artinya, nombor  tidak ada dalam bahasa Indonesia sama sekali. 

Tapi, simpulan di atas itu saya buat berdasar kamus bahasa terbitan 12 tahun yang lalu, tahun 2003. Apakah masih sama kata yang baku, yaitu masih nomor dalam kamus bahasa Indonesia terbitan mutakhir, baiklah saya ajak Tuan/Puan berbagi informasi  ke saya dan pembaca. 

Kalau saya tidak salah, secara etimologis, kata nomor, nomer, atau nombor itu diserap dari bahasa Inggris, number. Mungkin karena kurangnya sosialisasi, mungkin juga karena kita kurang patuh pada kaidah dalam menyerap bahasa asing, atau justru mungkin  karena  ada temuan  terbaru yang logis dalam ranah bahasa Indonesia, saya malah berpikir  mungkin  sudah  ada perubahan.  Maksudnya, selama ini kita sebenarnya sudah menyebut sesuai dengan kamus, yaitu nomor. Namun, belakangan ini, sudah mulai sering terlihat di media massa cetak kata nomer dan nombor. Maka, muncul sedikit pertanyaan  di pikiran saya, bahwa sebagai media massa, apalagi media yang begitu mapan, tentu memiliki tim ahli bahasa sehingga mereka punya alasan yang logis ketika menggunakan nomer atau nombor itu. Apalagi, ketika saya cek lebih jauh tahun terbit kamus saya, tertera angka 2003. Bisa saja kamus bahasa Indonesia edisi terbaru, sebagaimana sifat bahasa yang dinamis, sudah berganti menjadi nomer atau nombor. Mau membeli kamus yang baru, saya melihat harga yang lumayan menguras saku saya. 

Saya mengamati seksama situasi psikologi sosial kita  dalam berkomunikasi belakangan ini. Salahsatu  hal yang saya lihat adalah bahwa dalam kita berkomunikasi via tulisan, lebih baik bernada membuka diskusi daripada memberikan informasi bernada pasti. Kalau komunikasi kita membuka ruang untuk terjadinya diskusi melalui tulisan, banyak yang akan menanggapi dengan  nada yang  tidak membuat kita jadi hipertensi. Tetapi, kalau kita memberikan informasi konklusif informatif seolah kebenarannya sudah pasti, harus siap di-bully. Malah, kadang berakhir dengan hubungan yang kurang harmonis. Mengapa begitu? Karena sekarang ini informasi itu begitu mudahnya didapat. Pengetahuan  bukan lagi bergantung kepada sekolah yang tinggi, tetapi apakah kita peduli dan  cepat mengakses mesin pencari. Pendeknya, semua orang bukan hanya lebih pintar sekarang, juga siap beradu  argumentasi. Lihatlah di teve, orang yang tamatan sekolahnya tidak tinggi pun bisa mengalahkan pengetahuan sarjana yang kurang mengakses internet. Maka dari itu, belakangan ini dalam menulis tinjauan bahasa, saya lebih suka membuka ruang diskusi daripada memberikan informasi yang kesannya seolah sudah pasti. 

Oleh karena itu, mengenai nomor, nomer, atau nombor yang benar, tulisan ini adalah ruang diskusi. Lelah sudah kita berdebat adu argumentasi. Bagi saya yang sarjana komunikasi massa, media massa adalah sarana integrasi sosial, bukan lagi media adu kepintaran dengan tegang urat leher mengeluarkan perbendaharaan ilmu dan teor-teori yang dimiliki. Bahasa itu soal konsensus sosial, bukan? Maka, sangat tidak produktif jika kesan yang terbangun dari sebuah tulisan tentang  bahasa adalah penulis seolah penuh dengan otoritas. Mari kita rawat bahasa Indonesia ini dengan diskusi. Baku-bully  sudah mulai memasuki akhir-akhir masanya. ***

Penulis adalah Pamong Bahasa Sumatera Utara tahun 2014 oleh Badan Bahasa

()

Baca Juga

Rekomendasi